Hiwar

Ustadz Yuana Ryan Tresna: Ramadhan Bulan Perjuangan

Pengantar Redaksi:

Ramadhan adalah bulan perjuangan. Bukan hanya perjuangan melawan hawa nafsu, tetapi juga perjuangan menegakkan syariah Islam. Bagaimana realisasinya? Bagaimana pula kaitannya antara Ramadhan, ketakwaan—sebagai  hikmah dari shaum Ramadhan—dan  perjuangan menegakkan syariah Islam? Apakah perjuangan menegakkan syariah Islam juga berarti meniscayakan perjuangan menegakkan Khilafah?

Itulah di antara sejumlah pertanyaan Redaksi kepada Ustadz Yuana Ryan Tresna, Mudir Ma’had Khadimus Sunnah, Bandung, dalam rubrik Hiwar kali ini. Berikut hasil wawancaranya.

 

Ramadhan dikenal dengan bulan ketaatan. Bagaimana makna ketaatan hakiki itu, Ustadz?

Ketaatan hakiki adalah saat kita tunduk, patuh dan tidak ada keberatan sedikitpun dalam menjalankan seluruh ketetapan Allah SWT. Pada QS al-Baqarah ayat 183 dijelaskan bahwa hikmah kewajiban puasa tidak lain adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa. Apakah takwa itu? Kata “taqwa” berasal dari kata “waqa”. Artinya, melindungi, yakni melindungi diri dari murka dan azab Allah SWT. Caranya dengan menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.

Imam al-Raghib al-Asfahani di dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an  mendenifisikan: “Takwa adalah menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa. Hal itu dengan meninggalkan apa yang dilarang dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan.”

Imam al-Jurjani di dalam At-Ta’rifat juga mengatakan, “Taqwa adalah menjaga diri dari siksa Allah dengan cara menaati-Nya. Artinya, menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya.”

Jadi ketaatan hakiki itu adalah perwujudan dari takwa.

 

Bagaimana caranya agar mempunyai ketaatan yang hakiki itu?

Dengan pondasi keimanan yang kokoh. Iman ini akan melahirkan sikap pasrah. Berserah diri. Tidak ada keberatan sedikitpun dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Untuk mengetahui apakah kita termasuk orang yang memiliki ketaatan hakiki atau tidak, mari kita lihat bagaimana sikap kita terhadap berbagai perintah dan larangan Allah SWT. Misalnya, ketika Allah SWT memerintahkan kita berpuasa, kita mampu menaati dan mengamalkan kewajiban tersebut. Selanjutnya, bagaimana sikap dan ketaatan kita terhadap perintah Allah SWT yang lain? Seperti firman-Nya dalam QS al-Baqarah ayat 178 tentang hukum qishah. Bagaimana sikap kita terhadap hal itu? Apakah kita juga siap untuk menaatinya? Atau justru mengabaikannya dan tidak mempedulikan  kewajiban tersebut? Padahal hikmah dari kewajiban  menjalankan qishash juga sama dengan puasa, yaitu agar kita menjadi orang yang bertakwa. Silakan cek dalam QS al-Baqarah ayat 179.

 

Lalau bagaimana dimensi ketaatan itu, Ustadz? Apakah terbatas dalam konteks individu ataukah juga berlaku untuk masyarakat dan negara?

Tentu bukan hanya individu. Ketaatan juga harus mewujud dalam semua sisi kehidupan yang lain, yakni dalam kehidupan masyarakat dan negara. Hal itu diisyaratkan dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya QS Saba’ ayat 15 dan QS al-A’raf ayat 96.

Pada QS Saba’ ayat 15 terdapat termabaldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Ringkasnya, ayat ini mengisahkan perihal bangsa Saba’ yang Allah anugerahkan sumberdaya alam amat luas dan subur. Digambarkan bahwa kehidupan bangsa Saba’ begitu sejahtera. Bentangan kebun di kiri kanan mereka. Mereka tak kekurangan suplai bahan makanan dan buah-buahan. Karena itu mereka diperintahkan supaya bersyukur kepada Allah SWT. Sebab, kemakmuran negeri mereka berkat karunia Allah yang telah mencukupi kebutuhan hidup juga melindungi mereka dari segala malapetaka.

Dijelaskan pula dalam kitab Ma’alim at-Tanzil atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Baghawi, bahwa maksud dari perintah bersyukur kepada Allah SWT pada ayat di atas, yaitu hendaknya bangsa Saba’ berlaku taat kepada-Nya.

Lalu dalam QS al-A’raf ayat 96, Allah SWT berfirman yang artinya, “Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka.”

Jadi jelas sekali, sebab datangnya keberkahan adalah taat, dan sebab datangnya siksa adalah karena tidak taat (mendustakan ayat-ayat Allah SWT).

 

Apa prasyarat utama agar ketaatan hakiki itu ada dan tampak eksistensinya dalam kehidupan?

Seperti yang sudah saya jelaskan, syaratnya keimanan yang kokoh. Adapun bagaimana agar ketaatan itu tampak eksistensinya dalam kehidupan, yaitu ketaatan tersebut harus dihidupkan atau ditegakkan dalam setiap sisi kehidupan. Jadi yang harus kita lakukan adalah dua hal: Pertama, memantaskan diri sebagai hamba yang kokoh keimanannya dan dekat dengan Allah SWT. Kedua, maksimal dalam melakukan upaya perubahan dari suatu kondisi (tidak taat) menuju kondisi ketaatan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah ayat 208 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.”

 

Bisakah ketaatan hakiki itu terwujud? Siapa pula yang akan mengawal perwujudan ketaatan hakiki itu?

Jelas bisa. Namun, harus ada ikhtiar dari kita. Itulah yang saya maksud pada bagian sebelumnya. Adapun yang mengawal ketaatan itu adalah individu yang bertakwa, kontrol masyarakat dan negara yang di dalamnya penguasa yang menerapkan aturan Islam. Semuanya harus terlibat. Peran yang paling sentral adalah penguasa karena ia akan menjadi penyempurna ketaatan ini. Bahkan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ’Ulumiddin menyebutkan bahwa rusaknya rakyat disebabkan rusaknya penguasa. Rakyat dan penguasa harus saling mengontrol dalam pelaksanaan hukum syariah ini.

Mengapa harus saling mengontrol? Karena relasi rakyat-penguasa bersifat timbal-balik dan saling mempengaruhi. Pemimpin cerminan mayoritas rakyat dan mayoritas rakyat cerminan pemimpinnya.

Bahkan sebenarnya ada unsur yang ketiga, yakni sistem. Oleh karena itu, amar makruf nahi mungkar dan muhasabah kepada penguasa harus tetap tegak demi memperbaiki kondisi masyarakat yang ada. Dakwah juga harus diarahkan pada perbaikan sistem. Bukan hanya perbaikan personal.

 

Adakah hubungan erat antara Ramadhan, ketaatan dan perjuangan penegakan syariah Islam?

Hubungannya sangat erat. Hikmah puasa pada bulan Ramadhan adalah agar menjadi Mukmin yang bertakwa. Wujud takwa adalah ketaatan total kepada Allah SWT dengan tegaknya syariah Islam dalam setiap dimensi kehidupan. Lalu tegaknya syariah Islam ini mengharuskan perjuangan untuk mewujudkannya.

Hanya saja, perubahan itu harus diupayakan sendiri oleh umat Islam, karena perubahan itu bersifat aktif. Di dalam QS ar-Ra’d ayat 11 Allah SWT berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Penjelasan Imam al-Qurthubi dalam kitabnya, Jami’ li Ahkam al-Qur’an, menyebutkan bahwa perubahan pada sebuah masyarakat itu bisa diusahakan dan datang dari tiga pihak: (1) Dari masyarakat itu sendiri secara kolektif; (2) Pihak yang mengurus (memimpin) masyarakat tersebut; (3) Orang dari masyarakat tersebut dengan hubungan apapun.

 

Apakah memperjuangan tegaknya Khilafah adalah juga wujud ketaatan hakiki itu?

Tentu saja. Lebih tepatnya jalan menuju ketaatan hakiki karena perjuangan tersebut akan mengantarkan pada tegaknya syariah secara kaffah dalam sebuah negara (Khilafah). Khilafah inilah yang akan menyempurnakan ketaatan dengan pengamalan seluruh kewajiban.

 

Pada saat apa ketaatan menjadi energi dalam perjuangan?

Ada dua hal saat ketaatan akan menjadi energi perjuangan: Pertama, ketika ketaatan itu berkorelasi dengan kesadaran untuk melakukan perubahan. Kedua, ketika ketaatan itu dikaitkan dengan masa depan umat Islam.

Terkait kesadaran harus adanya perubahan, kaum Muslim sadar bahwa kehidupan saat ini tidak islami dan harus diubah menjadi tatanan kehidupan Islam. Kesadaran itu akan mengantarkan pada spirit perjuangan. Tanpa kesadaran atas fakta yang rusak dan kesadaran atas fakta pengganti (Islam), maka orang tidak akan berpikir tentang perubahan. Kesadaran untuk melakukan perubahan ini akan menjadi energi perjuangan.

Adapun terkait masa depan umat, kemenangan dakwah adalah suatu keniscayaan. Sesungguhnya cahaya Allah tidak akan pernah bisa dipadamkan oleh makar manusia. Islam pasti menang. Sesuai janji Allah SWT, sebentar lagi pertolongan-Nya akan segera datang. Islam akan menjadi satu-satunya mabda’ (ideologi) yang menang atas semua ideologi lain. Allah SWT telah berfirman dalam QS at-Taubah ayat 32 yang artinya, “Orang-orang kafir itu berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah, tetapi Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya (agama)-Nya meskipun orang-orang kafir itu membencinya.” Gambaran akan masa depan ini akan menjadi energi perjuangan.

 

Apa yang perlu dilakukan umat Islam agar momen Ramadhan bisa semakin tumbuh berkembang antara ketaatan dan spirit perjuangan?

Ramadhan harus menjadi bulan riyadhah, yakni media untuk melatih ketaatan hakiki. Lalu umat Islam harus memiliki himmah atau cita-cinta yang tinggi. Himmah ini akan menjadi spirit perjuangan. Cita-cita yang harus ada pada setiap Muslim adalah kembalinya kejayaan umat Islam dengan tegaknya syariah Islam secara sempurna. Inilah makna kemenangan yang sebenarnya. Mengembalikan kemenangan umat Islam artinya membawa umat pada posisi terbaik, sebagai kekuatan di dunia yang diperhitungkan dalam percaturan politik global. Perjuangan mengembalikan kekuatan umat ini memang tidak mudah dan tidak ringan. Karena itu momentum Ramadhan ini harus melahirkan kembali jutaan umat Islam yang memiliki kadar keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT yang tinggi. Hal itu akan menjadi modal bagi terbitnya fajar kemenangan Islam di muka bumi ini, yaitu tegaknya kembali Khilafah Islamiyah.

Kemenangan demi kemenangan yang berhasil diraih Rasulullah saw. dan para Sahabatnya, serta para khalifah sesudahnya, adalah karena mereka menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan mereka. Ini pulalah yang menjadikan generasi Islam terdahulu mampu membangun kekuatan “super power”, Negara Khilafah, yang disegani kawan dan ditakuti lawan. Khilafah inilah yang mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya, baik Muslim maupun non-Muslim; mampu melahirkan para pejuang Islam yang tangguh dalam mengemban misi pembebasan di berbagai negeri; mampu menumbuh-suburkan perkembangan sains dan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia; mampu menjadikan negeri Islam sebagai kiblat perkembangan sains dan teknologi saat bangsa Eropa masih tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan. Itulah kemenangan umat Islam dan kebaikan untuk dunia. Semoga kita bisa segera merayakan kemenangan kolektif umat dalam percaturan politik dunia.

WalLahu a’lam. []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen + 17 =

Back to top button