Muhasabah

Radikal Islami Vs Radikal Sekular

Kacamata.  Seseorang akan menentukan apakah sekolahnya jauh atau dekat bergantung pada tolok ukurnya.  Boleh jadi ada yang mengatakan dekat, namun ada juga yang mengatakan jauh.  Ya, bergantung pada tolok ukurnya. Bergantung pada kacamata yang dia pakai.  Mungkin ada yang mengatakan sekolahnya itu jauh. Ternyata tolok ukurnya jarak dari rumahnya.  Boleh jadi orang lain mengatakan sekolahnya sedang karena dihitung dari kantor pos. Ada pula orang yang mengatakan sekolahnya itu hanya beberapa langkah saja. Ternyata, dia menghitungnya dari kantin samping sekolah.  Tolok ukur salah, keliru pengambilan keputusan.

“Bagaimana bisa siswa yang mengaku pernah nonton film porno diberi hadiah. Itu yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo?” ujar Pak Firman memberikan pertanyaan retoris.

“Wajarlah dia bilang gitu.  Lho wong dia itu mengaku suka film porno, kok. Ini pengakuan, lho,” Kang Eman menanggapi.  “Kalau saya nonton film porno, salah saya di mana? Wong saya suka, kok,” itu kata dia tambahnya.

Memang Ganjar pernah mengakui hal itu saat menjadi tamu Podcast di Youtube pribadi Deddy Corbuzier yang diunggah Selasa 3 Desember 2019.  “Saya kadang-kadang kepingin nonton, karena saya dewasa dan saya sehat. Kalau tidak sehat baru tidak akan saya nonton. Sebagai orang dewasa kan perlu, kecuali saya setiap hari suka ngomong yang porno-porno, tak sebarin kemana-mana. Sorry lah,” akunya.

Jadi dalam kacamatanya, menonton porno itu boleh.  “Persoalannya, dia paling getol bilang ‘Saya Pancasila’.  Nah, anak-anak millennial bisa saja memahami bahwa menonton porno itu boleh.  Pancasilais.  Apalagi diberi hadiah laptop,” Pak Wawan mengomentari.  “Bila demikian, gawat tuh!” tambahnya.

Padahal bila kacamatanya ajaran Islam, jelas tidak boleh menonton porno karena itu masuk dalam katagori hadharah bukan Islam.   Itulah kacamata.

Berkaitan dengan kacamata pun terjadi pada istilah radikal yang kini terus digaungkan.  “Coba ya lihat. Di kita ini jelas yang namanya menikah itu laki-laki dengan perempuan.  Lalu tiba-tiba ada sekelompok orang yang menyerukan pernikahan sejenis.  Laki-laki dengan laki-laki. Perempuan dengan perempuan.  Bukankah ini radikal? Bahkan super radikal,” kata Pak Wawan.  “Mereka mengklaim dulu di Indonesia perempuan tidak pakai jilbab.  Nah, ketika ada kaum Muslimah yang mengenakan jilbab, berbaju gamis panjang termasuk di kantor, dituding radikal.  Apalagi kalau mengenakan cadar.  Padahal di kalangan pesantren sejak dulu hingga sekarang masih banyak yang mengenakan cadar.  Wong istri dan anak-anak perempuan kiai saya sampai kini bercadar, kok,” imbuh Kang Eman.

“Iya ya, mestinya kalau tidak double standard, perempuan yang mengenakan celana pendek hingga kelihatan paha, berkaus ketat dan tipis sehingga lekuk tubuh sangat terlihat dengan jelas, berlenggang-lenggok di mal, mereka termasuk orang radikal.  Sebab, di lingkungan sekitarnya orang-orang pada menutup aurat.  Ini kan tidak.  Hanya orang Islam saja yang dituduh radikal,” Pak Mumuh menimpali.   Ia segera menambahkan, “Tapi, rupanya, kacamatanya memang sudah tidak adil.  Yang sini dituduh radikal, yang sana disebut hak asasi manusia.  Yang ini dicap radikal, yang sana dikatakan modern.”  Ini karena beda kacamata yang dipakai: kacamata Islam ataukah kacamata sekular.

Kalau sedikit saja adil, setidaknya orang akan mengatakan ada radikal islamis dan radikal sekular.  Radikal islamis sebut saja orang-orang yang berpegang teguh dengan kuat pada Islam.  Sebaliknya, radikal sekular merupakan orang-orang yang sangat kuat berpegang pada sekulerisme yang karenanya mendelegitimasi agama.  Dulu, sebelum menjabat Wakil Presiden, Kiai Ma’ruf Amin pernah menyebut ada istilah sekularisme radikal. Menurut dia, radikalisme sekular adalah sekelompok orang yang mendeligitimasi agama.   “Nah kalau radikalisme sekular itu sekelompok orang yang kemudian juga mendelegitimasi agama sehingga agama itu tidak boleh ikut memberikan kontribusi di dalam kehidupan,” ucapnya (Republika, 17/3/2017).

“Bila demikian, orang-orang yang anti perda syariah adalah orang-orang radikal sekular,” Ustadz Dani mencoba menyimpulkan.

Berdasarkan kacamata sekular, orang-orang Islam yang taat pada agamanya dituding radikal. Padahal sejatinya berdasarkan kacamata ajaran Islam, orang-orang yang taat pada sekulerisme dengan menjauhkan ajaran Islam dari kehidupan diri, keluarga dan negara, itulah yang radikal.  Ya, radikal sekular.  “Namun, tuduhan radikal itu hanya diarahkan kepada orang-orang Islam yang taat pada agamanya.  Politis.  Tendensius,” tambah Ustadz Dani.

Dapat diduga, orang-orang yang teriak-teriak menuding radikal terhadap kalangan Islam adalah kalangan radikal sekular.

“Yang sangat menyedihkan itu, sebagian ulama justru turut menabuh genderang radikalisme itu.  Sasarannya adalah umat Islam sendiri,” Kang Eman berkomentar lagi.

“Ulama seperti itu telah diingatkan dari dulu oleh Imam al-Ghazali,” kata saya.  Saya tambahkan, “Beliau mengatakan, rusaknya rakyat disebabkan karena rusaknya penguasa.  Rusaknya penguasa karena rusaknya ulama.  Rusaknya ulama karena cinta harta dan kedudukan dunia.”

WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 + eight =

Back to top button