Nisa

Idul Fitri Tetap Berkah di Tengah Wabah

Ramadhan tahun ini memang beda.  Tahun-tahun sebelumnya kita terbiasa melakukan aktivitas ibadah di masjid. Tahun ini kita terpaksa harus di rumah saja.  Tarawih, tadarus bersama, buka bersama, tidak bisa dilaksanakan di masjid.  Boleh jadi itikaf juga.  Semua terjadi akibat ujian yang Allah kirimkan. Makhluk superkecil bernama virus Corona yang menimbulkan wabah di hampir seluruh dunia.

Bagaimana dengan Idul Fitri? Dengan prediksi wabah ini paling cepat akan berlalu bulan Juni mendatang, Idul Fitri juga akan terdampak.  Kita belum tahu apakah kita akan bisa menjalankan shalat Id bersama.  Mudik juga masih dilarang.  Kebiasaan saling bertamu, berkunjung dan halal-bihalal mungkin juga masih harus kita coret dari agenda lebaran kita.  Namun, dengan semua kondisi ini, haruskah Idul fitri jadi kehilangan makna?

 

Makna Hakiki

Tanpa mudik, saling berkunjung dan halal-bihalal, Idul Fitri dirasa hambar.  Itulah, selama ini kita banyak terjebak di makna seremonial belaka.  Bahkan sering saat Ramadhan, apalagi di sepuluh hari terakhir, kita menghabiskan waktu untuk membelanjakan THR. Berburu baju baru, oleh-oleh mudik, mendandani rumah, membuat kue dan menyiapkan berbagai pernak-pernik lebaran.  Semua hanya dalam rangka seremoni Idul Fitri.

Selesai Idul Fitri, saat tamu sudah tidak ada lagi, halal bihalal sudah usai, sudah balik dari mudik, kita kembali lagi pada ritunitas sehari-hari. Shalat malam tidak sempat lagi, al-Quran kembali ke dalam lemari. Waktu dihabiskan mencari uang dan menabung untuk lebaran tahun depan.  Dengan demikian, makna Idul Fitri tak lebih dari sekadar pamer kesuksesan yang standarnya hanya materi.

Wabah pada bulan Ramadhan tahun ini, yang membuat kita harus merayakan Idul Fitri dengan cara berbeda, boleh jadi adalah teguran cinta dari Allah.  Allah mengingatkan kita bahwa tak semestinya kita terjerat makna seremoni belaka. Lebih dari itu, ada yang harus kita cari sehingga Idul fitri tetap layak untuk dirayakan.

Tidak banyak di antara kaum Muslim yang mampu menemukan makna hakiki Idul Fitri.  Padahal, makna hakiki inilah yang membuat Idul Fitri memiliki nilai, menjadi momentum dan titik tolak memulai kehidupan yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Makna hakiki Idul Fitri bisa kita gali dari apa yang menjadi tujuan puasa kita pada bulan Ramadhan, yakni agar kita bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).

Seorang yang bertakwa akan selalu menjaga diri  agar Allah tidak melihat dirinya di tempat larangan-Nya dan jangan sampai dia tidak didapatkan di tempat perintah-Nya.  Melaksanakan  perintah Allah dan meninggalkan larangan Allah (Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil Islam, Jakarta, Pustaka Amani, Cetakan kedua, hlm. 339)

Perintah takwa ini juga terdapat dalam ayat lain:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya. Janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (QS Ali Imran [3]: 102).

 

Imam Zamakhsari menafsirkan frasa haqqa tuqatih, yaitu benar-benar melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangannya (Az-Zamakhsari, Tafsir al-Kasysyaf, I/306).

Dan Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas: Hendaklah taat dan jangan bermaksiat. Imam Jalalain menafsirkan: Hendaklah taat, jangan bermaksiat; hendaklah bersyukur, jangan kufur; hendaklah ingat (kepada Allah), jangan lupa (Tafsir Jalalain, I/394).

Menjadi orang yang bertakwa merupakan target yang besar, yaitu perubahan yang besar, bersifat multidimensi. Bertakwa berarti melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya di seluruh aspek kehidupan. Artinya, orang yang bertakwa harus meninggalkan maksiat, meninggalkan hukum buatan manusia; meninggalkan kapitalisme, materialisme, liberalisme, dan isme-isme yang lain secara total. Sebagai gantinya dia harus menerapkan syariah Islam secara kaffah, dan berjalan di jalan ketaatan kepada Allah.

Takwa kepada Allah mengharuskan  mentaati Allah pada seluruh aspek kehidupan, baik pada skala individu maupun skala umat.   Ketaatan kepada Allah tidak akan bisa sempurna manakala yang dijalankan hanya ketakwaan individu. Artinya, melaksanakan perintah Allah ada yang bisa dilaksanakan sendiri tanpa memerlukan orang lain, misalnya melaksanakan shalat, shaum dan  zakat. Demikian pula meninggalkan larangan-Nya seperti tidak mencuri, tidak berzina, dan tidak merampok. Ada juga ketakwaan di skala umat, yang juga wajib untuk kita jalankan.

Ketakwaan di skala umat ini tidak bisa dijalankan individu tanpa ada penerapan hukum Islam oleh sistem.  Perintah Allah untuk menegakkan hudud, misalnya had bagi pezina dan pencuri, sebagaimana digariskan Allah di dalam al-Quran (QS an-Nur [24]: 2 dan QS al-Maidah [5]: 38-39) adalah hukum yang juga wajib ditaati, namun tidak dapat dikerjakan oleh individu.  Penerapan hukum ini membutuhkan penerapan oleh sistem Islam.  Begitu pula hukum qishash (QS al-Baqarah [2]: 178-179), hukum berperang di jalan Allah (QS al-Baqarah [2]: 216), dan sebagainya.

Dengan demikian takwa memiliki dua dimensi yang tak terpisahkan. Dimensi individu dan dimensi sistem.  Seorang pejabat tidak bisa dikatakan bertakwa jika dia hanya rajin shalat, shaum, haji, zakat, bahkan menyantuni fakir-miskin dan rajin shaum Senin Kamis jika dalam melaksanakan tugas amanahnya tidak berdasarkan syariah Islam. Bahkan dia mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan al-Quran dan al-Hadis.

Agar shaum kita sampai pada tingkatan takwa kita harus melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Bertakwa juga mengharuskan kita memperjuangkan persatuan kaum Muslim, memperjuangkan  al-Quran menjadi pedoman hidup dan memperjuangkan tegaknya Islam secara kaffah. Inilah takwa yang sebenar-benarnya.

Karena itu bulan Ramadhan adalah saatnya kita menggembleng diri serta menguatkan iman dan ketaatan. Caranya dengan meninggalkan hal-hal yang akan membatalkan puasa kita dan memperbanyak amal shalih dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.  Kedekatan pada Allah inilah yang akan membentuk ketakwaan, melahirkan rasa takut dari meninggalkan perintah-Nya dan melanggar larangan-Nya.

Menemukan makna hakiki Idul Fitri adalah mendapati bertambahnya ketakwaan dalam diri seusai Ramadhan.  Semangat ibadahnya tidak mengendur. Semangat perjuangannya semakin menyala. Kerinduannya akan jannah pun mengalir mengisi relung-relung hatinya.  Ia termotivasi untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Muslim seperti inilah yang mampu menjadikan Idul Fitri memiliki makna.  Pada hari Idul Fitri ia bersukacita karena ujian berat telah dia lampaui, dengan asa ampunan Allah telah dia raih.  Ia melepas Ramadhan dengan duka karena telah berlalu dari dirinya bulan yang pahala amal di dalamnya berlipat ganda.  Ia tidak akan terjebak pada euforia lebaran. Bahkan ia meneladani para ulama terdahulu. Ia akan segera mengiringi berakhirnya Ramadhan dengan shaum sunnah Syawal, yang in sya Allah di musim pandemi ini, lebih mudah dikerjakan.

Demikianlah. Idul Fitri tahun ini di tengah wabah akan menjadi saksi bagi lahirnya orang-orang yang lebih bertakwa, pejuang-pejuang Islam yang tangguh, dan para pengemban dakwah yang istiqamah.  WalLahu al-Musta’an. [Arini Retnaningsih]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 − 6 =

Back to top button