Nisa

Khilafah Mendatangkan Berkah

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan perlunya rekontekstualisasi fikih Islam yang dianggap telah berhenti atau berakhir sejak Abad Pertengahan silam. Salah satunya adalah soal ide khilafah yang dinilai hanya menjadi bencana bagi umat Islam.

Narasi-narasi untuk menyerang khilafah bukanlah perkara yang baru muncul.  Sebelum Menag Yaqut, pendahulunya Fachrul Razi telah membuat kebijakan pada Kementerian Agama dengan membatasi materi khilafah, jihad dan perang dalam pembelajaran maupun ujian siswa madrasah. Materi tersebut disinyalir menuai benih-benih radikal pada siswa dan guru. Kebijakannya tertuang dalam KMA Nomor 183 Tahun 2019.

Jauh sebelumnya terdapat tuduhan yang lebih rinci yang berasal dari pernyataan mantan Perdana Menteri Inggris, Toni Blair ketika dia menyebutkan ciri-ciri ideologi iblis, yaitu: ingin mengeliminasi Israel; menjadikan syariah Islam sebagai sumber hukum; menegakkan Khilafah; dan bertentangan dengan nilai-nilai liberal (BBC News, 16 Juli 2005).

Ibarat satu komando paduan suara, berbunyi dengan nada yang sudah diarahkan oleh konduktor, tuduhan keji terhadap Khilafah ini terus bermunculan. Redaksinya berbeda-beda, namun satu tujuan, yakni menghentikan penegakkan kembali institusi khilafah dalam kehidupan.

 

Membongkar Tuduhan

Ada beberapa kesalahan di balik pernyataan Menag, khususnya pada poin 8, 9, dan 10.  Poin 8, ketidakstabilan sosial dan politik bukan disebabkan oleh khilafah. Dorongan untuk memiliki kekuasaan adalah penampakan dari naluri baqa.  Ketika naluri ini bangkit dan dia tidak dibimbing oleh aturan syariah, maka dia akan memenuhinya sesuai dengan keinginan dan hawa nafsunya sekalipun harus melakukan pelanggaran. Terjadilah saling berebut kekuasaan dengan berbagai cara sehingga ada yang menganggap politik itu kotor.

Islam mengakui keberadaan naluri ini dan memberikan aturan untuk memenuhinya. Tidak dibiarkan mengikuti keinginan atau adat kebiasaan.  Terkait kepemimpinan negara, satu-satunya metode yang dianggap legal secara syariah adalah dengan baiat dari rakyat kepada Khalifah.  Ketika baiat telah sempurna, maka khalifah diiakui sebagai pemimpin negara yang sah.  Islam pun melarang adanya khalifah yang lain, kudeta dan perebutan kekuasaan dianggap sebagai perbuatan haram. Sabda Rasulullah saw.,  ”Siapa yang membaiat seorang imam (pemimpin) lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya semaksimal mungkin. Jika datang orang lain yang mencabut kekuasaan itu, penggallah leher orang itu.” (HR Muslim).

Poin 9, setiap usaha untuk mendirikan Negara Islam (Al-Imamah al-‘Uzhma) universal atau Imamah Agung, juga dikenal sebagai al-Khilafah atau Khilafah, hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam karena akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia.

Pernyataaan ini menggambarkan kesimpulan yang terbalik.  Umat Islam menjadi objek perebutan untuk dikuasai bukan ketika khilafah tegak melindungi mereka.  Justru terjadi pada waktu institusi Khilafah ini sudah hancur pada tahun 1924.  Mulai saat itu tidak ada lagi negara yang akan melindungi umat dari berbagai ancaman dan kesulitan.  Umat Islam jumlahnya banyak, namun kekuatan mereka kecil dan lemah.  Tepatlah apa yang digambarkan oleh Nabi saw. dalam sabdanya,  ”Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kalian seperti buih di atas air. Allah mencabut rasa takut musuh-musuh kalian terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hati kalian penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati,”  (HR Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Dawud).

Keadaannya berbeda manakala Khilafah hadir sebagai penanggung jawab dan pelindung.  Khalifah akan berada di baris terdepan untuk melindungi rakyatnya dari setiap ancaman. Contoh heroik ditunjukkan oleh Sultan Abdul Hamid II ketika menjawab permintaan Theodor Herzl  agar Sultan mengalihkan pemerintahan kepada orang-orang Yahudi. Mendengar itu, Sultan menolak keras. “Saya tidak akan menjual apa pun bahkan satu inci pun dari wilayah Palestina karena wilayah ini bukan milik saya melainkan milik semua rakyat. Rakyat saya memenangkan tanah ini dengan darah mereka.”

Poin 10, sejarah Islam setelah kematian menantu Nabi Muhammad, yakni Sayidina Ali, menunjukkan bahwa setiap usaha untuk memperoleh dan mengkonsolidasikan kekuatan politik atau militer dalam bentuk Kekhalifahan pasti akan disertai dengan pembantaian antara satu pihak dengan yang lain. Hal ini merupakan tragedi bagi komunitas Muslim secara keseluruhan, terutama pada awal sebuah dinasti baru.

Perlu teliti dan detail dalam memahami sejarah. Jka tidak demikian maka akan terjurumus pada penarikan kesimpulan yang salah.  Fakta yang sama bisa dihukumi dengan sudut pandang yang berbeda.  Syariah menetapkan sanksi bagi pembunuh, orang murtad dan pelaku pemberontakan yang tidak kembali pada ketaatan adalah dengan dibunuh.  Realitas ini akan dibaca sebagai pembantaian jika menggunakan kacamata HAM.  Namun, akan dinilai sebagai bentuk ketundukan penuh dan akan membawa keberkahan jika dinilai dengan sudut pandang ketaatan pada syariah.

 

Kapitalisme Biang Masalah Kehidupan

Sudah terbukti bahwa hidup dalam kekuasaan kapitalisme terus mendatangkan nestapa dan penderitaan umat manusia.  Berbagai krisis terus menimpa.  Penerapan sistem ekonomi kapitalis telah melebarkan kesenjangan antar warga.  Kekayaan suatu negeri hanya dikuasai segelintir pemilik modal. Mayoritas rakyat hidup dalam jeratan kemiskinan. Sumberdaya yang melimpah pun alih-alih menyejahterakan. Yang ada justru menjadi pintu masuk para penjajah berkedok investasi dan percepatan pembangunan.  Ujungnya, kekayaan hilang, lilitan hutang terus berjalan, kedaulatan negarapun terancam.

Di bidang politik, penerapan demokrasi terbukti gagal memberikan keadilan dan tak mampu menegakkan kebenaran.  Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.  Pejabat-pejabat yang melanggar tetap bebas berkeliaran. Sebaliknya, rakyat biasa terus menjadi korban ketidakadilan.  Suara rakyat tidak lagi menjadi penentu kebijakan karena suara mereka sudah tersimpan di meja para wakil rakyat.  Baik-buruk nasib mereka ditentukan oleh kebijakan yang dilahirkan di sana.  Parahnya, perselingkuhan kapitalisme dengan demokrasi telah melahirkan politik uang yang mampu melakukan lobi lobi dengan harga murah dan mengorbankan masa depan rakyat dan bangsanya sendiri.

Dengan kasatmata kezaliman ini bisa disaksikan, diantaranya adalah berubah-rubahnya dan ketidakjelasan penanganan pandemik Covid-19, korupsi bansos, kolusi di balik bisnis PCR, dan berbagai bisnis lainnya yang melibatkan para pejabat publik.

Di bidang pendidikan dan sosial ancaman liberalisasi terus terjadi, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi menuai polemik.  Aturan tersebut dinilai dapat melegalkan perzinaan dan seks bebas di lingkungan kampus.

Sorotan itu muncul karena pasal 5 dalam Permedikbudristek tersebut dinilai multitafsir, dan bisa dimaknai legalisasi terhadap perbuatan asusila atau seks bebas berbasis persetujuan (consent).

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Tholabi menyatakan definisi kekerasan seksual yang tertuang di Pasal 5 Ayat (2) huruf b, f, g, h, l, m pada Permendikbudristek PPKS, secara terang-terangan mengintrodusir tentang konsep consent atau voluntary agreement, persetujuan aktivitas seks yang tidak dipaksakan.

 

Khilafah Menyelesaikan Masalah dan Membawa Berkah

Syariah Islam diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah saw. sebagai mu’alajah musykillah, solusi bagi masalah kehidupan (QS al-Anbiya:107). Solusi yang ditetapkan Islam akan dirasakan oleh seluruh rakyat dan disaksikan oleh siapapun manakala syariah diterapkan secara kaffah oleh negara  (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 208).

Sejarah mencatat beberapa penggalan peristiwa yang menggambarkan betapa baiknya pengurusan yang dilakukan oleh Khilafah terhadap warga negaranya.

Perlindungan luar biasa akan didapatkan oleh rakyat Khilafah. Sebuah contoh yang diingat sejarah ditunjukkan oleh Khalifah al-Mu’tashim Billah.  Beliau mendengar seruan minta tolong dari seorang wanita di Kota Amurriyah  yang dizalimi oleh bangsa Romawi. Ketika berita itu terdengar oleh Khalifah, ia segera menunggang kudanya dan membawa bala tentara untuk menyelamatkan wanita tersebut plus menaklukkan kota tempat wanita itu ditawan. Setelah berhasil menyelamatkan wanita tersebut al-Mu’tashim mengatakan, “Kupenuhi seruanmu, wahai wanita!”

Keadilan dan tanggung jawab Khilafah dirasakan pula oleh ahludz-dzimmah. Berikut pengakuan tulus yang disampaikan oleh Nasrani Syam pada tahun 13 H, mereka menulis surat kepada Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah yang isinya:

“Wahai kaum Muslim, kalian lebih kami cintai daripada Romawi. Mereka seagama dengan kami. Kalian lebih menepati janji kepada kami, lebih lembut kepada kami dan tidak menzalimi kami. Kalian lebih baik dalam mengurusi kami. Romawi hanya ingin mendominasi segala urusan kami dan menguasai rumah-rumah kami.” (Al-Baladzuri, Futûh al-Buldân, hlm. 139).

Umat tidak boleh dibiarkan dalam kepungan narasi negatif tentang Khilafah.  Upaya pencerdasan harus terus dilakukan dengan istiqamah mendakwahkan Islam politik.  Insya Allah kemenangan Islam segera datang.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Dedeh Wahidah Achmad]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 + six =

Back to top button