Nisa

Perempuan Korban “Agenda Setting” Politik

Kasus desintegrasi Papua menelan korban perempuan.  Tri Susanti  ditahan di Mapolda Jawa Timur (3/9) sebagai tersangka ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong saat insiden Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.  Disusul Pengacara HAM Veronica Koman (VK) yang menjadi  tersangka kasus yang sama. Kuasa Hukum Komite Nasional Papua Barat itu dikenakan dakwaan berlapis UU ITE, KUHP Pasal 160 tentang penghasutan, UU No.1/1946 UU tentang Peraturan Hukum Pidana dan UU No.40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Tak bisa dipungkiri jika opini publik Indonesia kerap disetir oleh kelompok kepentingan.  Termasuk dalam ‘memanfaatkan aktor’ perempuan.  Perspektif perempuan sebagai korban lebih mudah menimbulkan simpati publik sehingga mudah meloloskan agenda besar yang telah di-settting.  Tentu hal ini akan menjadi credit point bagi pegiat gender karena kian menegaskan narasi mereka tentang sub ordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan.

Ambil contoh kasus Baiq Nuril.  Korban pelecehan seksual  yang tidak mendapatkan keadilan dari MA. Ia mendapatkan hukuman penjara 6 bulan, denda Rp 500 juta dan ditolak ajuan PK-nya.  Kasus itu menjadi pemicu untuk segera mengesahkan RUU  Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang kontroversial.  Pegiat gender beralasan RUU PKS akan menjadi payung hukum bagi para korban pelecehan seksual untuk melaporkan kasusnya.

Demikian pula kasus yang menimpa VK.  Kriminalisasi VK sontak menimbulkan pembelaan sejawatnya.  Solidaritas pembela aktivis HAM yang terdiri dari LBH Pers, Safenet, LBH Jakarta, YLBHI, Yayasan Satu Keadilan, LBH Apik dan Perlindungan Insani menganggap pemolisian VK sebagai ancaman bagi pembela HAM.  Pembelaan tak langsung turut dilakukan The Jakarta Post dengan menurunkan artikel berjudul Blaming Provocateurs Ignores Voice of Papuans (10/9/19). 1 Maklum, VK adalah pembela ‘kaum rentan’ baik buruh, imigran, gender sampai orang dengan orientasi seksual nyleneh.

Kasus VK bakal makin menguatkan tekanan bagi Indonesia untuk segera menuntaskan persoalan HAM jika ingin mendapatkan proyek-proyek kapitalisasi.  Apalagi kasus-kasus yang menyeruak di ujung putaran pertama pemerintahan Jokowi kian menunjukkan kelemahannya dalam penegakan HAM. Seperti isu pelemahan KPK melalui revisi RUU KPK, tuntutan membuka dokumen hasil penyelidikan TPF pembunuhan Munir, juga revisi KUHP yang sarat ancaman kebebasan HAM, seperti kriminalisasi kebebasan pers dan korban perkosaan.

Demikianlah permainan politik yang biasa terjadi di jagad demokrasi.  Kredo “dari rakyat-untuk rakyat-oleh rakyat” menjadikan pemilik kepentingan  melegitimasi  kebenaran agendanya berdasarkan mayoritas ‘suara rakyat’.  Karena itu sebuah agenda bisa  dibesarkan demi membangun respon positif publik.  Media mainstream beserta kanal-kanal medsosnya secara luas menjadikan sebuah opini seakan-akan dikehendaki masyarakat (public agenda).  Pada akhirnya, sentimen publik bakal  memuluskan legalisasi kebijakan yang ditargetkan oleh kelompok kepentingan.

Itulah realitas yang menguat, yang memaksa publik untuk menerima desakan segera melegalkan RUU PKS yang diagendakan dunia global dan pegiat gender.  Demikian juga kasus VK.  Memaksa negara makin berpihak pada ide kebebasan yang bertajuk pembelaan atas HAM.  Keduanya memiliki perspektif senada, yakni dikte atas penjajahan ide kapitalis sekuler.

Agenda setting juga terjadi saat kelompok kepentingan membangun ‘kemarahan’ publik agar menyetujui legalisasi payung hukum atas kasus terorisme. Jika akhirnya revisi UU No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme  disahkan DPR (25/5/2018), ini juga tak lepas dari pemanfaatan perempuan sebagai ‘aktor politik’.  Tak sampai dua minggu setelah Puji Kuswati bersama dua anak perempuannya dinyatakan sebagai peledak Gereja Kristen Indonesia Surabaya (13/5/2018). Sehari setelahnya, Puspitasari dan suaminya, Anton Febrianto, juga diklaim sebagai pelaku bom di Sidoarjo.  Sebelumnya, polisi mengamankan terduga teroris bernama Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah yang dianggap sedang menyusun strategi penyerangan saat kericuhan di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok (12/5/18).  Selanjutnya, dalam penggrebekan tiga lokasi di Tangerang (16/5/18), Densus 88 menangkap tiga terduga teroris, seorang di antaranya perempuan.

Perasaan rakyat Indonesia terusik.  Mereka mengutuk perempuan-perempuan itu, yang tega melakukan aksi ‘terorisme.’ Mayoritas pendapat yang dikendalikan entitas-entitas tertentu, termasuk media mainstream,  membentuk koor yang sama:  tindakan biadab itu berasal dari ide radikal. Dalam kasus Islamofobia, media dapat sangat efektif dalam membangun sentimen publik hingga opini yang terbangun adalah persetujuan atas legislasi UU terorisme, dan meniadakan kekhawatiran akan represifitas penerapan UU tersebut.

Di pihak lain, demi menghilangkan perhatian publik akan kerinduan umat terhadap penerapan syariah kâffah, kelompok kepentingan sengaja tidak mempublikasikan Pawai dan Parade Muharam1441 H yang sarat pengibaran Bendera Tauhid.  Bahkan peristiwa Reuni 212 (2/12/2018)—yang diikuti  jutaan orang, terjadi hanya beberapa jengkal dari pusat pemerintahan, melibatkan ribuan aparat keamanan dan dihadiri tokoh masyarakat—justru  luput dari pemberitaan media mainstream.  Nyatanya, peristiwa-peristiwa itu menjadi bagian dari agenda setting, tetapi dalam konotasi sebaliknya.  Kelompok kepentingan sengaja memangkasnya  (agenda cutting) agar memberikan kesan bahwa masalah itu tidak menjadi perhatian khusus masyarakat.

Begitulah cara pemilik kepentingan mengelola isu agar terbentuk opini yang mereka inginkan.  Penganut demokrasi terbiasa pragmatis.  Manfaat menjadi raja di atas segala fatsoen politik. Mereka terbiasa menetapkan seperangkat kebijakan tanpa peduli akan kemaslahatan sosial.  Tak soal jika harus mendistorsi informasi demi menciptakan persepsi salah yang dapat membelokkan pemahaman tentang “kebijakan terbaik.” Mereka menganggap kebijakan tidak dapat dipahami secara absolut, hitam-putih.  Wajar saja hal itu terjadi karena mereka tak punya standar kebenaran hingga tak soal jika harus memanfaatkan perempuan sebagai ‘korban’ agenda setting kebijakan.

Tentu itu adalah pemikiran absurd.  Bagaimanapun, demokrasi selalu akan melahirkan ide batil sekalipun disokong teori setinggi langit. Pada hakikatnya akan selalu ada pihak yang dikorbankan.  Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepada mereka (kitab suci) Taurat, kemudian mereka tiada menunaikannya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar lagi tebal. Amat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Allah tiada memberi petunjuk bagi kaum yang zhalim.” (TQS al-Jumu’ah [62]: 5).

Tidak demikian halnya dengan politik Islam. Opini yang berkembang di tengah umat haruslah opini yang shahih, tidak boleh menyalahi kaidah dan rambu-rambu syariat Islam.  Pembentukan opini publik diarahkan untuk dakwah dan di’ayah (propaganda) sesuai tuntunan al-Quran dan al-Hadits. Jelas semuanya bertujuan demi mewujudkan kemaslahatan publik. Apalagi opini yang muncul berawal dari kesadaran yang dibangun atas ideologi Islam. Setiap pihak—baik penguasa dalam Kekhilafahan, partai politik ataupun masyarakat secara umum—akan  menempatkan media massa sebagai sarana untuk  melayani ideologi Islam. Di dalam negeri diarahkan untuk membangun masyarakat yang kokoh. Untuk politik luar negeri, media berfungsi untuk menyebarkan Islam, menunjukkan keagungan Islam sekaligus membongkar absurditas ideologi kufur, seperti demokrasi ataupun sosialisme.

Untuk saat ini, semestinya aktifis dakwah Islam juga memanfaatkan isu agenda setting demi kepentingan umat.  Era digitalisasi bisa  dimanfaatkan sebagai sarana penyebarluasan ide-ide Islam.  Terutama menderaskan diskursus Islam politik melalui kanal-kanal non-mainstreaming untuk menampilkan Islam dengan pemaparan yang menimbulkan pengaruh kuat.  Opini yang membekas akan mampu menggerakkan akal manusia berpihak terhadap Islam dan Khilafah Islamiyah.  Hanya melalui metode itulah agenda setting politik kotor demokrasi akan lenyap, tanpa bekas.  [Pratma Julia Sunjandari]

 

Catatan kaki:

1        https://www.thejakartapost.com/academia/2019/09/10/blaming-provocateurs-ignores-voice-of-papuans.html

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen − 13 =

Back to top button