Siyasah Dakwah

Upaya Barat Memecah Belah Islam

Isu disintegrasi kembali mencuat di Papua. Berbagai aksi demo yang cukup massif terjadi di Jayapura, Manokwari, Sorong, Fakfak, Timika, Nabire, Merauke, Paniai, Deiyai, hingga Dogiayai. Sebagian aksi tersebut berujung rusuh, seperti di Manokwari, Sorong, Fakfak, Deiyai, serta Jayapura.

Salah satu tuntutan mereka adalah referendum bagi Papua. Bendera Bintang Kejora yang menjadi simbol Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu dikibarkan di berbagai aksi mereka. Bahkan bendera tersebut sempat dikibarkan oleh pendemo di depan Istana Merdeka dan Mabes TNI Jakarta.

Tuntutan pemisahan Papua dari Indonesia tentu bukan sesuatu yang baru. Hal itu sudah muncul sejak RI menganeksasi Papua pada pertengahan 1969. Tuntutan tersebut secara periodik terus diulang, dan kini menemukan momentumnya ketika terjadi kasus tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur.

 

Skenario Penjajah

Upaya memecah-belah Indonesia melalui disintegrasi merupakan persoalan serius yang harus diantisipasi. Selain di Papua, ada pula Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pernah melancarkan gerakan bersenjata selama bertahun-tahun untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Termasuk Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang terus aktif bergerak untuk mewujudkan tujuannya. Bahkan Timor Timur, melalui referendum, berhasil lepas dari Indonesia sejak tahun 1999.

Gerakan ULWMPP (United Liberation Movement for West Papua) dan KNPB (Komite National Papua Barat) disinyalir berada di balik tuntutan referendum Papua. Salah satu buktinya, beberapa aktivis ULWMPP dan KNPB telah membuat sebuah petisi referendum. Ada 1,8 juta orang menandatangani petisi ini. Isinya, menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat. Petisi tersebut diserahkan kepada Ketua Dewan HAM Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Michelle Bachelet pada akhir Januari 2019 lalu.

Itu menjadi indikasi kuat bahwa ada kolaborasi agen lokal dengan agen asing untuk disintegrasi Papua. Beberapa tahun lalu juga dua anggota Kongres AS, Hunkin Faleomavaega asal Samoa dan Donald Milford Payne asal Newark, New Jersey, berhasil mengajukan RUU mengenai Papua Barat. Isi RUU tersebut mempertanyakan keabsahan proses masuknya Papua ke Indonesia. Ini membuktikan bahwa pihak asing seperti AS memiliki kepentingan terhadap disintegrasi Papua.

Dulu negara penjajah telah berhasil memecah-belah Indonesia dengan lepasnya Timor Timur. Setelah Timor Timur merdeka, wilayah itu kemudian berada dalam genggaman Australia, negara satelit AS di kawasan Asia Pasifik. Kejadian yang menimpa Timor Timur itu bisa berulang di Papua jika tuntutan referendum tersebut dituruti.

Negara penjajah juga melakukan hal yang sama terhadap negeri-negeri Islam di Timur Tengah dan Afrika. Di antaranya adalah Sudan melalui referendum pada 9 Januari 2011. Terjadilah disintegrasi terhadap Sudan Selatan. Pasca referendum justru semakin banyak problem yang terjadi di Sudan Selatan. Mulai dari krisis pangan, pembagian pendapatan minyak, membengkaknya hutang, hingga pertempuran antaretnis.

Referendum yang telah dilakukan di Sudan tersebut sebenarnya hanya bertujuan untuk memecah wilayah Sudan. Itu menjadi bagian dari sebuah proyek kolonial yang dimulai sejak abad ke-19. Inggris, Amerika dan Prancis lebih dari satu abad bersaing untuk menguasai Sudan. Pemecahan Sudan menjadi dua negara telah mempermudah negara penjajah tersebut untuk menguasai Sudan.

Menarik apa yang dikatakan oleh Presiden Sudan al-Bashir terkait keterlibatan Amerika Serikat pada disintegrasi Sudan Selatan tersebut. Pada dialognya dengan Kantor Berita Rusia Sputnik (25/11/2017), al-Basyir mengakan, “Tekanan dan konspirasi Amerika terhadap Sudan sangat besar. Di bawah tekanan Amerika, Sudan Selatan dipisahkan. Kami memiliki informasi sekarang bahwa Amerika berusaha membagi Sudan menjadi lima negara.”

 

Tersekat dalam Nation-State

Sejarah nasionalisme bermula dari benua Eropa sekitar Abad Pertengahan. Gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman disinyalir sebagai pemicu gerakan kebangsaan tersebut dalam pengertian nation-state. Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang dapat menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai bangsa Jerman.

Nasionalisme yang tumbuh di Jerman kemudian menjalar dengan cepat di daratan Eropa. Hal itu kemudian menyulut persaingan fanatisme antarbangsa di Eropa yang masing-masing berusaha mendominasi lainnya. Pada akhirnya persaingan tersebut melahirkan penjajahan negara-negara Eropa terhadap negeri-negeri di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin. Karena sejalan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi Eropa pada masa itu, mereka bersaing untuk mendapatkan bahan baku produksi dari negeri-negeri lain di luar Eropa.

Di negeri-negeri jajahannya mereka menghembuskan ide nasionalisme untuk memecah-belah negeri-negeri tersebut. Keterpecahbelahan tetu makin memudahkan penjajahan mereka (devide et impera). Kondisi umat Islam saat ini yang terpecah-belah menjadi 50-an negara merupakan salah satu akibat penjajahan tersebut terhadap Khilafah Islamiyah yang dikerat-kerat berdasarkan nasionalisme menjadi nation-state.

Benih perpecahan tersebut dimulai sejak imperialis Barat menginfiltrasikan racun nasionalisme ke dalam tubuh umat Islam melalui kegiatan kristenisasi dan missi zending. Mereka sebagian besar berasal dari Amerika, Inggris dan Perancis pada pertengahan abad ke-19 di Suriah dan Libanon. Melalui ide-ide nasionalisme itu, kaum misionaris menyulut sentimen kebencian terhadap negara Khilafah Utsmaniyah, yang mereka tuding sebagai negara penjajah bagi negeri-negeri di sekitarnya. Mereka kemudian meniupkan nasionalisme di Arab Saudi, Mesir, Libanon, Suriah dan sebagainya untuk melakukan perlawanan terhadap Khilafah Ustmaniyah (Lihat: Abdul Qadim Zallum, Kayfa Hudimat al-Khilâfah, 1990).

Pasca keruntuhan Khilafah, mereka kemudian merancang payung nasionalisme yang permanen, yaitu Liga Arab. Lembaga ini merupakan perpanjangan tangan dari nasionalisme Arab yang telah meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah. Kepentingan utama Barat dalam liga ini adalah sebagai penopang penyebaran paham nasionalisme di wilayah Timur Tengah untuk mencegah bangkitnya kembali Khilafah. Pendirian liga ini dilakukan oleh Antonie Adien, Menlu Brithania, pada 22 Maret 1945 di Kairo. Liga ini beranggotakan Mesir, Saudi Arabia, Libanon, Suriah, Irak, Yordan dan Yaman.

Upaya negara-negara Barat, khususnya AS dan Eropa, untuk melemahkan negeri-negeri Islam melalui isu nasionalisme dan separatisme terus berlangsung hingga hari ini. Apa yang terjadi di Sudan dan Libya menunjukkan hal tersebut. Mereka tidak pernah berhenti berupaya mencerai-beraikan negeri-negeri Islam melalui gerakan separatisme tersebut dengan kedok penentuan nasib sendiri (right of self determinism) yang dilegitimasi PBB.

Semua itu menjelaskan satu hal, bahwa ide nasionalisme dan separatisme di negeri-negeri Islam yang terwujud dalam nation-state merupakan agenda panjajah. Hal tersebut untuk melemahkan umat Islam dengan cara memecah-belah dan menjauhkan mereka dari persatuan. Sebab mereka tentu paham bahwa persatuan umat Islam dan penyatuan wilayah negeri-negeri Islam dapat menjadi mimpi buruk bagi negara-negara penjajah tersebut.

 

Mencegah Disintegrasi

Konsep nation-state tersebut telah terbukti menjadi racun yang mematikan bagi umat Islam. Betapa tidak, umat Islam yang dulunya bersatu dalam Khilafah Ustmaniyah, melalui nation-state, disekat menjadi 50-an negara kecil seperti yang kita saksikan saat ini. Inilah racun yang menjadi penyebab disintegrasi dan perpecahan umat Islam. Ditambah lagi adanya konspirasi negara penjajah yang memecah wilayah kesatuan Khilafah Ustmaniyah saat itu menjadi puluhan nation-state melalui Perjanjian Sykes-Picot pasca Perang Dunia I.

Jika bersandarkan pada syariah, maka umat Islam semestinya tidak mengadopsi pemikiran nasionalisme dan separatisme yang telah melahirkan nation-state tersebut. Sebab nasionalisme dan separatisme itu bertentangan dengan prinsip kesatuan umat yang diwajibkan oleh Islam. Itulah kesatuan yang didasarkan pada ikatan akidah, bukan ikatan kebangsaan, seperti dalam nasionalisme. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ ١٠

Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10).

 

Ayat di atas menunjukan bahwa umat Islam adalah bersaudara. Mereka diikat oleh kesamaan akidah (ideologi) Islam, bukan oleh kesamaan bangsa. Rasulullah saw. bahkan mengharamkan ikatan ‘ashabiyah (fanatisme golongan), yaitu setiap ikatan pemersatu yang bertentangan dengan Islam, termasuk nasionalisme:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ‘ashabiyah (fanatisme golongan), saling berperang atas dasar ‘ashabiyah dan mati karena ‘ashabiyah (HR Abu Dawud).

 

Sebagai perwujudan persatuan seluruh umat Islam tersebut, Islam mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah satu kepemimpinan atau negara, yakni Khilafah Islamiyah. Haram bagi mereka tercerai-berai di bawah kepemimpinan yang lebih dari satu. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَتَا كُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِد يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ

Siapa saja yang datang kepada kalian, sementara urusan kalian terhimpun pada satu orang (seorang khalifah), lalu dia hendak memecah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia (HR Muslim).

 

Nash hadis di atas dengan jelas menunjukkan adanya kewajiban umat untuk bersatu di bawah satu negara Khilafah. Tidak dibenarkan umat memiliki lebih dari satu orang khalifah (imam). Terkait dengan hal tersebut, Abdurrahman Al-Jaziri menjelaskan pendirian empat imam mazhab, “Para imam (Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) rahimahumulLâh bersepakat bahwa umat Islam tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua orang Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, V/308).

Jadi, hal terpenting yang diperlukan saat ini adalah tumbuhnya kesadaran umat Islam di seluruh dunia untuk menghapus sekat-sekat imaginer nasionalisme yang telah menceraiberaikan mereka. Sekat itulah yang telah mengerdilkan umat Islam dalam berbagai sendi kehidupan di pentas dunia. Juga perlu adanya kesadaran umat untuk menuju kejayaannya melalui penyatuan multi-potensi kekuatan umat Islam seluruh dunia ke dalam institusi politik negara Khilafah Islamiyah. Melalui institusi Khilafah itulah umat Islam akan mampu menghapus berbagai bentuk kolonialisme di berbagai negeri Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawab. [Dr. M. Kusman Sadik]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ten − 4 =

Back to top button