Dilema Peradilan Indonesia
Masih banyak PR untuk menyelesaikan problem peradilan di Indonesia. Hukum hakikatnya dibuat untuk melindungi warga dari tindak kezaliman dan kejahatan. Namun menjadi petaka besar jika menjelma menjadi ‘industri’. Urusan keadilan pun seolah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan. Akibatnya, keputusan pengadilan sering lebih tunduk terhadap pihak-pihak yang memberikan harga lebih tinggi
Sejatinya problem peradilan di Indonesia bukan hanya menyangkut aparatnya saja, namun juga pada sistem peradilan yang berlaku. Jika ditelisik secara cermat, sistem peradilan di negeri memberikan peluang kemenangan amat kepada para pemilik modal. Pasalnya, untuk memperoleh keputusan pengadilan dibutuhkan biaya besar.
Pertama, sumber hukum yang berdasarkan akal ditafsirkan berdasarkan aspek juridis dan rasa keadilan. Ini karena kadangkala ketentuan UU bertentangan dengan apa yang disebut dengan rasa keadilan masyarakat. Selain itu banyak celah hukum pada KUHP sehingga sering dimanfaatkan untuk memanipulasi hukum. Hal ini kemudian mendorong adanya kebutuhan terhadap lawyer (pengacara atau penasehat hukum) yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Semakin besar kasus yang dihadapi, biaya lawyer pun semakin mahal. Di tangan oknum pengacara handal mereka dapat memutarbalikkan kebenaran, mematahkan berbagai argumentasi dan mencari celah hukum yang membuat kliennya bisa lolos dari jerat hukum.
Kedua, adanya pengadilan yang bertingkat-tingkat. Keputusan pengadilan di bawahnya bisa dianulir oleh pengadilan di atasnya. Oleh karena itu, seseorang yang telah diputus bersalah dan harus menjalani hukuman sekian bulan atau tahun, kemudian mengajukan banding pengadilan ke tingkat atasnya yang lebih mengikat. Keputusan itu bisa memperberat hukuman, memperingan, atau bahkan membebaskan sama sekali. Itu berarti, untuk mendapatkan keputusan hukum tetap, harus menempuh beberapa jenjang pengadilan. Lagi-lagi, dibutuhkan uang untuk bisa mengikuti alur peradilan yang berbelit-belit ini. Akibatnya, hanya mereka yang memiliki uanglah yang bisa terus mengajukan banding. Mereka pula memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan ‘pertarungan’ di babak terakhir.
Model pengadilan berjenjang seperti ini jelas tidak efisien, menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Bukan hanya pihak yang berperkara, namun juga para penegak hukum (polisi, hakim, jaksa). Proses yang lama tersebut membuat kepastian hukum tidak segera didapatkan pihak yang berperkara. Panjangnya jenjang pengadilan ini menjadi celah yang menguntungkan para mafia peradilan.
Di sisi lain penyelesaian hukum seperti ini membuat para pelaku kejahatan tidak akan jera atau takut untuk melakukan tindak kriminal. Akibatnya, angka kriminal terus meningkat. Realitas ini tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara yang menganut peradilan sekular. [Mahfud Abdullah ; (Direktur Indonesia Change)]