Opini

Ketidak-Berdayaan Penguasa

Lagi-lagi publik disuguhi cara yang paling mudah dan membuat mata kepala terbuka lebar. Saling ungkap dan saling tuduh memperbutkan singgasana Istana. Prof. Mahfud MD hadir dalam acara ILC (Indonesia Lawyer Club) sontak memberikan respon dari banyak pemerhati politik, baik yang pro maupun kontra.

Ketika MMD dipastikan maju sebagai Cawapres mendampingi Capres petahana, pencalonannya viral baik di media cetak maupun media sosial. Lalu beberapa hari menjelang pengumuman banyak berita yang tidak henti-hentinya mem-blow-up akan terjadinya penentuan pasangan. MMD secara blak-blakan menceritakan kesan dan pesannya saat acara ILC berlangsung terkait dirinya yang akhirnya tidak terpilih sebagai Cawapres. Poin penting yang mesti harus dicatat, sekelas Presiden dalam menentukan siapa yang berhak mendampingi dirinya maju dalam Pilpres, harus pasrah ketika partai koalisi menentukan pilihan. Artinya, ‘leader power’ tidak bisa menjamin semua kebijakan agar dapat diwujudkan. Ia harus takluk terhadap kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan dalam sebuah keputusan.

Itulah mengapa, politik dalam ranah demokrasi selalu menjadi ajang ‘balap’; siapa yang lebih besar memberikan manfaat, di situlah peristiwa ‘kepentingan’ terjadi. Lalu, jika pemegang kekuasaan itu pun harus ‘manut’ kepada koalisi, apakah rakyat tetap harus ikut?

Telah nyata bahwa kepentingan-kepentingan itu selalu menjadi standar dalam ajang meraih kekuasaan. Tak segan politik kotor dimainkan agar nafsu melanggengkan kekuasaan bisa berjalan dengan aman. Bahkan ada yang tak jijik ketika sebuah pernyataan telah melukai umat, tetapi di kemudian hari menjadi sebuah cara untuk mendapatkan dukungan.

Sebentar lagi musim kampanye tiba. Lobi-lobi politik sangat kasatmata dilihat oleh rakyat, apalagi di media sosial. Tawar-menawar posisi tak terelakkan. Ada yang ingin mempertahankan. Ada pula yang ingin merebut kekuasaan. Di luar itu, ada yang ingin mendapatkan kue kekuasaan. Siapa pun yang terpilih nanti bakal jadi tuntutan. Walhasil, rakyat disuguhi permainan politik praktis berebut kekuasaan.

Rakyat, yang kini hidup dalam puing-puing kesengsaraan, harus menerima kenyataan pahit berbalut jargon menarik. Pasalnya, para elit parpol membutuhkan suara rakyat agar terpilih menjalankan kekuasaan. Nasib rakyat bisa dikatakan hanya ditentukan di balik kotak coblosan. Rakyat diberi janji manis, tetapi realita tidak kunjung berbuah manis. Yang ada justru hidup semakin sadis.

Reruntuhan pedoman Barat, yaitu pondasi demokrasi, hanya menghasilkan para pemimpin negeri bersikap lemah terhadap kebijakan. Lalu rakyat masih banyak bersikap apriori terhadap realita. Untuk itu rakyat negeri ini harus bangun dalam tidur panjang akan kesadaran politik, kesadaran ideologis. Jangan sampai umat terlena atas tarian sistem demokrasi-kapitalisme yang membuat negeri ini terlilit berbagai persoalan multidimensi.

Di alam demokrasi siapapun berhak mencalonkan diri untuk maju urusi negeri. Asalkan ada yang memilih. Pilihan dalam demokrasi, suara terbanyak menjadi hal yang harus diikuti. Firman Allah SWT sering dibaca ketika sudah masuk ke dalam jeruji besi. Akan di baca lagi ketika ada seseorang yang sudah mati. Itulah demokrasi.

Untuk itu, menyandera penguasa harus menuruti keputusan koalisi, sungguh sebuah capaian yang membuat siapapun akan tersandera dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Kekuasaan itu adalah candu, tidak mungkin seseorang akan menyerahkan kursi hanya dengan modal sukarela tanpa sedikit kompromi. ‘No free for lunch’ itulah sistem demokrasi, yang mengagungkan kekuasaan, tapi dengan kepentingan mereka pasti bisa dibeli. WalLâhu a’lam. [Bagas Kurniawan; Aliwa Institute]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 + eighteen =

Back to top button