Muhasabah

Standar Ganda

Pada 15 Agustus 2018 masyarakat Indonesia dihentak oleh berita proklamasi kemerdekaan Negara Federasi Papua Barat (NFRPB).  Tak tanggung-tanggung. Acaranya digelar di Universitas Cenderawasih Abepura Jayapura, Ibukota Provinsi Papua.  Pelaksanaannya sebenarnya sudah berlangsung pada Selasa, 31 Juli 2018. Dalam acara pengenalan kampus pun mahasiswa diwajibkan memakai gelang Papua Merdeka.  Lebih dari itu, pada akhir Juni 2018 sebenarnya rencana itu sudah kedengaran.  Sebagaimana ditulis oleh Suara.com, Jumat (29/6/2018), Panglima Komando Daerah Militer TPBNPB/OPM Divisi I Mamta – Papua Barat, Augustine Kres, menegaskan bakal menggelar upacara Hari Ulang Tahun Bangsa Papua Barat pada hari Minggu pekan ini di markas besarnya.   “Kami menyerukan, seluruh pertahanan militer OPM ke-8 Kodap di Tanah Air Papua Barat, khususnya di wilayah perbatasan RI – Papua Nugini dan seluruh lapisan masyarakat, untuk menggelar doa dengan penuh damai berdasarkan UUD 1971,” tegasnya kepada Suara.com.

Reaksi pun sangat sepi.  Terdengar sekedar sayup-sayup.  “Proklamasi Papua Barat adalah persekongkolan makar dan pemberontakan terencana. Untuk itu ia meminta separatis Papua harus dibabat sampai habis hingga ke akar-akarnya,” ungkap Koordinator Aliansi Mahasiswa Anti Makar Otis di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (15/8).

Suara di bawah riuh.  Sebut saja Romi berkomentar, “Papua merdeka!  Anda kemana, Ndoro Jokowi. Bagaimana mungkin di Forum Ospek Mahasiswa sudah mengenakan atribut Papua Merdeka, lantas Negara diam saja.  Media pura-pura tidak tahu.  Sindo News, Metro TV, Detik.com, Kompas.com???”

Lain lagi reaksi Rani, “Pada kemana nih orang-orang yang suka teriak NKRI harga mati.  Kok diem-diem aja ….”

Reaksi Pemerintah tak terdengar.   Diam.  Eramuslim menyebut Pemerintah kecolongan. BIN kemana?   Bila benar kecolongan, ini menyedihkan.  Sebab, ini menunjukkan kinerja yang lemah.  Atau boleh jadi tahu, namun dibiarkan.  Wah, ini persoalan lagi, sebab dapat dipahami sebagai membiarkan deklarasi itu.

Saya jadi teringat pada perkataan Romo Muhammad Syafi’i, anggota DPR RI, beberapa bulan lalu, “Masalah Papua memang berat.  Kompleks.  Ada unsur luar negeri di sana.”

Ada sikap berbeda yang dilakukan oleh Pemerintah.  Deklarasi kemerdekaan Papua Barat di Universitas Cenderawasih tak dihiraukan, seakan tidak ada.  Berbeda dengan itu, kita masih ingat pada tahun 2016 ada sumpah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa.  Di antara sumpahnya itu adalah berjuang melawan penjajahan asing, berjuang dengan perjuangan intelektual dan berjuang untuk membebaskan cengkeraman asing dengan penegakkan Khilafah.  Reaksi pun sangat besar.  Kita masih ingat, saat itu, para mahasiswa yang dianggap terlibat dipanggil. Muncul istilah kampus radikal. Dosen yang memiliki semangat keislaman kuat dicurigai. Intelektual yang mendukung dan menyuarakan kebebasan akademik di kampus dipersekusi. Organisasi keislaman di beberapa kampus dibubarkan. Pembubaran ormas Islam mencuat. Kampanye Islam radikal menggema di mana-mana. Demikian seterusnya.  Reaksi sangat masif dan luar biasa.  Ada sikap yang berbeda: tangkas, cepat dan keras saat menghadapi sikap mahasiswa Muslim namun lambat dan terkesan diam saat mensikapi mahasiswa yang melakukan separatisme.  “Itu mah turunan dari sononya.  Double standard!”  ujar Fadhil.

Ya, double standard alias standar ganda.  Jangan heran. Ujung dari standar ganda ini adalah ketidakadilan.  Bagaimana tidak. Tolok ukur yang digunakan berbeda. Hasil dan kesimpulannya pun tentu berbeda.

Secara syar’i pemimpin demikian telah diperingatkan jauh-jauh hari oleh Rasulullah saw.  Dia akan menjadi orang yang dibenci oleh Allah, Zat Maha Pengasih dan Penyayang.  Beliau bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil.  Adapun orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR at-Tirmidzi).

Bahkan penguasa yang pura-pura tidak tahu atau berdusta disebut sebagai orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah SWT di Akhirat kelak. Sabda Rasulullah saw., “Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada Hari Kiamat kelak. Dia tidak sudi memandang muka mereka. Dia tidak akan membersihkan mereka dari dosa. Bagi mereka disiapkan siksa yang sangat pedih. Mereka adalah orang yang sudah tua berzina, penguasa yang suka berdusta dan fakir miskin yang takabur.” (HR Muslim).

Pada sisi lain, sikap standar ganda yang intinya adalah ketidakadilan akan melahirkan keguncangan. Bahkan perlawanan.   Tidak adil berarti tidak balance. Tidak setimbang.  Secara alami hal ini akan mengundang keguncangan. Jangan heran. Sikap demikian akan mendatangkan ketidakstabilan.  Jadi, tidak perlu mencari kambing hitam. Bila terjadi ketidakstabilan, penyebabnya adalah sikap standar ganda penguasa.[ Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen − 2 =

Back to top button