Opini

Liberalisasi Agama di Ranah Pendidikan

Saat ini upaya liberalisasi pemikiran di lingkungan pendidikan, khususnya pesan-tren, madrasah dan perguruan tinggi terasa makin gencar.

Gagasan liberalisasi ini bukan dari Islam, juga bukan dari orang Islam. Gagasan ini sebenarnya juga bukan gagasan baru, tetapi merupakan gagasan lama yang digelindingkan oleh negara-negara kafir penjajah. Gagasan ini masuk ke Dunia Islam awalnya dibawa oleh generasi Muslim yang sekolah di Barat. Sebut saja nama-nama seperti Rufa’ah ath-Thahthawi dari Mesir. Ia dikirim pemerintah Mesir pada zaman Muhammad Ali ke Paris antara tahun 1826-1831 M. Setelah kembali ke negaranya, dia mulai memperkenalkan gagasan liberal yang diperolehnya selama di Prancis. Di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Sebut saja Harun Nasution, Nurcholis Madjid, dll yang menimba ilmu di Barat, kemudian kembali ke Indonesia melakukan hal yang sama. Karena itu, gagasan ini jelas sekali merupakan gagasan kaum kafir penjajah, yang sengaja disuntikkan ke Dunia Islam dengan motif untuk melemahkan kekuatan kaum Muslim. Tujuannya tidak lain adalah mempertahankan penjajahan mereka di Dunia Islam.

Karena motifnya untuk melemahkan kekuatan kaum Muslim, maka pemikiran Islam yang bisa menguatkan kaum Muslim tentu pertama-tama yang mereka serang. Caranya dengan menumbuhkan keraguan (tasykik) terhadap perkara-perkara yang ma’lumun min ad-din bi ad-dharurah, seperti kewajiban untuk menegakkan dan menerapkan syariah Islam, menegakkan Khilafah dan berjihad melawan kaum kafir. Mereka juga menyerang Khilafah sebagai sistem pemerintahan despot, barbar, berlumuran darah, terbelakang dan sebagainya. Mereka juga merusak keluarga dengan menyerang hukum poligami, nikah dini dan nikah di bawah tangan; sementara perzinaan, homoseksual, transeksual, pornografi dan pornoaksi mereka promosikan.

Mereka juga menyerang sumber hukum Islam seperti al-Quran dan as-Sunnah, seperti serangan mereka dengan menggunakan teori hermeneutika. Dengan teori hermeneutika, mereka menyerang al-Quran, dan dikatakan bahwa al-Quran yang ada sekarang bukanlah wahyu ilahi yang asli.

Mereka juga membajak ushul fikih, ushul tafsir dan ushul hadis yang ditulis ulama terdahulu, lalu merekonstruksi untuk kepentingan mereka. Dalam ushul fikih, mereka benar-benar mengeksploitasi pendapat ulama yang menjadikan maslahat sebagai dalil, seperti yang dilakukan terhadap Najmudin ath-Thufi, salah seorang ulama ushul mazhab Hanbali. Dalam ushul tafsir, mereka menggunakan riwayat yang dinukil as-Suyuthi untuk menyerang otentisitas al-Quran, dan menggunakan hermeneutika sebagai metode tafsir mereka. Dalam ushul hadis, mereka menggunakan riwayat tentang Abu Bakrah yang dihukum Umar, karena kasus qadzaf, sebagai justifikasi untuk menolak riwayatnya, yang berdampak pada penolakan mereka terhadap kesahihan hadis larangan wanita menjadi penguasa.

Adapun terhadap paham yang berasal dari luar, mereka berusaha melakukan kompromi. Mula-mula mengatakan, bahwa ini bukan dari Islam, tetapi tidak bertentangan dengan Islam. Setelah pikiran dan perasaan umat mulai tercemar, maka mereka mengatakan, bahwa ini berasal dari Islam. Bahkan ada yang berani mengatakan, Islam mengajarkan ini. Contohnya, seperti paham Demokrasi, Pluralisme, Dialog Antar Agama, dsb.

Bahaya paling besar tentu bukan hanya untuk sekolah, pesantren, organisasinya, kiai dan santrinya, tetapi menimpa Islam dan kaum Muslim. [Dede Wahyudin; (Tabayyun Center)]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 + three =

Back to top button