Siyasah Dakwah

Kewajiban Memberikan Nushrah

Ketundukan pada syariah Islam merupakan bukti keimanan dan manifestasi kecintaan kepada Allah SWT, juga merupakan kebutuhan manusia kepada Diri-Nya. Sebaliknya, Allah SWT sama sekali tidak berhajat pada ketaatan makhluk-Nya. Imam Ibnu al-Qayyim menyatakan:

وَالْحَاجَة (إِلَى الشَّرِيْعَةِ أَشَدُّ مِنْ الْحَاجَةِ) إِلَى التَنَفُّسِ فَضْلًا عَنْ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ

Kebutuhan manusia terhadap syariah Islam jauh lebih kuat dibandingkan dengan kebutuhan mereka untuk bernafas, apalagi dibandingkan dengan kebutuhan terhadap makan dan minum.1

 

Hanya saja pelaksanaan hukum syariah secara kâffah hanya bisa terwujud dengan adanya Khilafah/Imamah. Ini karena banyak hukum, semisal huduud, yang tidak bisa diterapkan oleh individu.2

Ini menjadi salah satu alasan bahwa menegakkan Khilafah adalah kewajiban agar hukum-hukum syariah bisa diterapkan secara kâffah.

 

Wajib Memberikan Nushrah

Pertolongan Allah SWT yang datang kepada umat ini dengan tegaknya Khilafah yang mengikuti metode kenabian adalah perkara yang tidak dapat dihalangi. Khilafah akan datang sebagaimana datangnya fajar setelah kegelapan malam. Semua itu mudah bagi Allah Yang Mahaperkasa.

Hanya saja, Allah SWT mewajibkan kepada siapa saja untuk menolong agama-Nya. Tentu bukan karena Dia berhajat pada pertolongan manusia. Manusialah yang berhajat untuk menjalankan perintah-Nya, yakni menolong agama Allah, juga berhajat pada kehidupan yang sesuai dengan aturan-aturan-Nya. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُوٓاْ أَنصَارَ ٱللَّهِ ١٤

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penolong (agama) Allah (QS ash-Shaf [61]: 14).

 

Imam Ibnu Katsir, ketika menjelaskan ayat ini, berkata: “Allah SWT berfirman dengan memerintahkan kepada para hamba-Nya yang Mukmin agar menjadi para penolong (agama) Allah dalam seluruh keadaan mereka; baik dengan ucapan, tindakan, jiwa maupun harta mereka; juga agar mereka menyambut seruan Allah SWT dan Rasul-Nya.”3

Pada hakikatnya justru Allahlah Yang akan menolong siapa saja yang menolong agama-Nya. Karena itu tidak ada jalan lain bagi siapa saja yang ingin ditolong oleh Allah selain dengan cara menolong agama-Nya (Lihat: QS al-Hajj [22]: 40).

Dialah Yang Mahakuat dan Mahaperkasa. Dia menyuruh kita menolong agama-Nya tidak lain hanya karena ingin menguji kita: Ke pihak mana kita berpihak? Upaya apa yang sudah kita lakukan? Seberapa seriuskah upaya kita? Berikutnya, Allahlah Yang akan memberikan pertolongan-Nya sesuai dengan kadar niat dan persiapan kita. Demikian sebagaimana dinyatakan dalam Rûh Al-Bayân.4

Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ الْمَعُونَةَ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، تَأْتِي الْعَبْدَ عَلَى قَدْرِ الْمَئُوْنَةِ

Sungguh pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla itu datang kepada hamba-Nya sesuai dengan kadar perbekalannya.5 

 

Adapun terkait makna memberikan nushrah adalah sebagaiman yang dinyatakan oleh Imam ar-Razi.6 Prinsipnya, memberikan nushrah dilakukan dengan melakukan segala macam upaya untuk meninggikan kalimatulLaah dan menerapkan syariah-Nya secara kaaffah di muka bumi dengan tegaknya Khilafah. Pasalnya, hanya dengan Khilafahlah syariahnya bisa diterapkan dengan sempurna.

Menegakkan Khilafah adalah fardhu kifayah. Ketiadaan Khilafah menyebabkan hukum-hukum syariah tidak diterapkan. Karena itu memberikan nushrah untuk penegakan Khilafah juga merupakan kewajiban yang sangat mendesak. Pengabaian kewajiban penegakkan Khilafah ini akan menjadikan seluruh umat Islam menanggung dosa, kecuali orang-orang yang memang berupaya untuk memberikan nushrah untuk menegakkan Khilafah. Demikian sebagimana dinyatakan oleh Ibnu Qudamah.7

 

Bentuk Nushrah yang Wajib Diberikan

Seluruh komponen umat Islam wajib memberikan nushrah sesuai dengan kemampuan mereka, bukan sesuai dengan kemauan mereka. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَليُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَم يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَم يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإيمَانِ

Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangan (kekuasaan)-nya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman (HR Muslim).

 

Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan terkait dengan kemungkaran dalam sabda Nabi saw. tersebut:

(منكرًا) وهو: ترك واجب، أو فعل حرام، صغيرة كان أو كبيرة

Mungkar bermakna meninggalkan kewajiban dan melakukan keharaman; kecil atau besar. 8

 

Ketiadaan Khilafah saat ini adalah kemungkaran. Sebabnya, Khilafah adalah kewajiban yang sudah disepakati para ulama dan bahkan merupakan Ijmak Sahabat. Penegakan Khilafah bukan sekadar kewajiban biasa. Ia merupakan salah satu kewajiban terpenting. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Ash-Shawaa’iq al-Muhriqah. Pasalnya, ketiadaan Khilafah berakibat pada pengabaian kewajiban-kewajiban lain. Bahkan tanpa Khilafah, kewajiban shalat pun tidak terjaga di tengah-tengah umat. Ketiadaan Khilafah juga menimbulkan munculnya berbagai jenis kemungkaran lain seperti riba, zina, minum khamr dll.

Kemungkaran ini wajib diubah dengan menggunakan segala cara yang disyariatkan, yang bisa menghilangkan kemungkaran tersebut. Berkaitan dengan hadis di atas, Qadhi ‘Iyadh berkata:

فَحَقُّ الْمُغَيِّرِ أَنْ يُغَيِّرَه بِكُلِّ وَجْهٍ أَمْكَنَهُ زَوَالُهُ بِهِ قَوْلًا كَانَ أَوْ فِعْلًا

Karena itu wajib bagi pihak yang melakukan perubahan untuk mengubah kemungkaran dengan segala cara yang memungkinkan hingga kemungkaran itu bisa hilang, baik dengan perkataan atau tindakan. 9

 

Perintah dalam hadis tersebut berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim sesuai dengan kadar kemampuan mereka. Orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan seperti kepala negara, perwira militer dan yang semisal mereka, wajib menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk mengubah kemungkaran tersebut dengan menyokong tegaknya Khilafah. Pasalnya, ketiadaan Khilafah itulah yang menjadi sumber berbagai kemungkaran.

Dari semua level itu, kepala negara dan pemimpin militerlah yang paling dituntut untuk memberikan nushrah secara langsung demi tegaknya Khilafah ini. Tuntutan kepada mereka ini sangat mendesak dan semestinya dilaksakanan sekarang juga! Contohlah Saad bin Muadz ra, pemuka suku Aus. Setelah masuk Islam, ia tidak mempertimbangkan apakah keislamannya akan menyebabkan masyarakat menjauhi dirinya ataukah tidak. Ia bahkan tidak sudi dihargai kaumnya jika mereka tidak bersedia masuk Islam.10

Adapun para ulama, dengan kapasitas ilmu mereka, mereka punya tanggung jawab untuk menjelaskan, mengajak dan menggelorakan semangat umat dalam memperjuangkan tegaknya Khilafah ini. Mereka tidak boleh memilih sekadar menyampaikan sisi-sisi ajaran Islam yang “aman” dan disukai masyarakat saja, dengan alasan ‘masyarakat belum siap’. Sebaliknya, mereka punya tanggung jawab besar untuk mempersiapkan masyarakat. Mereka juga tidak bisa beralasan, ‘Saya tidak punya kemampuan untuk menegakkan Khilafah. Itu adalah kewajiban ahlul quwwah dan ahlul halli wal aqdi’.”

Justru sebaliknya, jika mereka melihat orang yang dipandang layak dan punya kapabilitas untuk menegakkan Khilafah diam saja dari kewajiban ini, mereka memiliki kewajiban untuk membuat orang-orang yang mereka pandang punya kemampuan ini benar-benar melaksanakan kewajibannya.

Pendek kata, orang yang memiliki kemampuan untuk menegakkan Khilafah wajib mengerjakannya sendiri. Adapun yang tidak memiliki kemampuan wajib mendorong orang lain yang punya kemampuan untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Qudamah.11

Semakin besar kapasitas, kemampuan dan karunia yang Allah berikan kepada seseorang, semakin besar pula tanggung jawab mereka. Jika mereka mengabaikan kewajibannya maka semakin besar pula dosa yang akan mereka pikul.

 

Menolong Kelompok yang Berjuang Menegakkan Khilafah

Salah satu bentuk menolong agama Allah adalah dengan menolong kelompok yang berupaya menegakkan agama Allah. Demikian sebagaimana kata Imam ar-Razi.12

Karena itu jika ada kelompok yang berupaya menegakkan hukum-hukum Allah secara kaaffah dengan menegakkan Khilafah dengan metode Rasulullah saw., seperti Hizbut Tahrir, sudah semestinya penguasa dan ahlul quwwah mendukungnya. Pasalnya, kewajiban menegakkan Khilafah ini pada hakikatnya bukan kewajiban Hizbut Tahrir sendirian, namun kewajiban seluruh kaum Muslim. Penguasa dan ahlul quwwah tentu merupakan pihak yang paling mampu secara langsung  menegakkan Khilafah.

Ketidakmauan mereka untuk mendukung kelompok yang sedang bekerja untuk mendirikan Khilafah menurut metode Rasulullah saw. menyebabkan mereka akan memikul dosa besar:  dosa karena hukum-hukum Allah SWT terbengkalai; dosa karena mereka berpangku tangan terhadap kemungkaran; dan dosa karena mereka menduduki jabatan tanpa menerapkan syariah Islam. Ketidaktahuan mereka,  atau alasan terlambat karena mereka baru tahu, itu bukan alasan yang diterima. Bahkan sejak  awal mereka seharusnya tidak boleh memegang jabatan apapun, apalagi kekuasaan, sebelum mengerti hukum-hukum Allah dalam menjalankan amanah jabatan tersebut. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Ghazali.13

Begitu pula para ulama, intelektual, para tokoh dan pengusaha. Mereka wajib mendukung penegakkan Khilafah dengan ilmu, lisan, pengaruh dan harta mereka. Tentu karena beban kewajiban ini juga terletak di pundak mereka. Bahkan karena peran merekalah–secara  sababiyyah–yang  lebih diperhatikan dan berpengaruh kepada ahlul quwwah.

Adapun orang awam juga punya kewajiban untuk berjuang pada level kemampuannya, seperti aktif dalam pembentukan opini dan kesadaran umum, memperbesar jumlah orang-orang yang memperjuangkannya, mengkaji dan berupaya meng-upgrade diri dengan serius agar kelak mampu mengemban amanah ini, dsb. Bukankah awal mula yang masuk Islam sebagian besar dari kalangan orang-orang kecil? Bukankah Saad bin Muadz ra. tersadarkan tidak terlepas dari ‘orang-orang kecil’ yang makin ramai mengikuti dakwah Mushab bin Umair r.a, yang itu membuat berang Saad bin Muadz?

Bahkan Abdullah bin Ummi Maktum ra. (Abdullah bin Qais bin Zaidah bin al-Asham), walaupun memiliki uzur untuk tidak berjihad dengan butanya mata beliau, memiliki hasrat yang besar untuk ikut berperang di jalan Allah SWT.

Bagaimanapun, banyaknya pendukung merupakan salah satu penentu kemenangan dan keberhasilan, dengan izin Allah SWT. Dengan banyaknya pendukung maka opini dan kesadaran umum akan lebih mudah terbentuk. Dengan opini dan kesadaran umum, para ulama dan tokoh yang awalnya ragu akan menjadi lebih mantap dan berani. Dengan opini dan kesadaran umum serta dukungan ‘ulama dan tokoh, para ahlul quwwah tidak akan punya alasan lagi untuk tidak mendukung perjuangan ini.

Karena itu siapapun yang masih bernyawa dan memiliki kesadaran tidak pantas untuk memilih berpangku tangan dari menyokong perjuangan ini. Ketika lidah masih bisa berbicara, tangan masih bisa menulis, kaki masih bisa melangkah untuk menguatkan opini dan kesadaran umum, apa alasan yang bisa disampaikan kelak saat berjumpa dengan Allah SWT? Rasa takut semata tidak akan diterima menjadi alasan untuk menghindar dari kewajiban ini.

 

Khatimah

Wahai kaum Muslim, memberikan pertolongan pada Islam, men-support gerakan dakwah yang berkerja untuk meninggikan kalimatulLaah di muka bumi dengan tegaknya Khilafah, adalah kewajiban. Inilah jalan kemuliaan yang telah Allah jadikan untuk kita sekalian. Jika kita tidak mengambil jalan kemuliaan ini, tegaknya Khilafah akan tetap terjadi dengan izin Allah SWT. Allah SWT tetap akan memunculkan generasi yang memperjuangkan Khilafah tanpa takut celaan para pencela. Yang yang sama, tentu kita berdosa jika melalaikan kewajiban ini.

Wahai para ulama dan cerdik cendekia, keberanian Anda sekalian dalam membela perjuangan untuk tegaknya Khilafah tidak akan mendekatkan Anda sekalian pada ajal, juga tidak akan mengurangi rezeki Anda sekalian. Sebaliknya, saat Anda sekalian enggan memberikan nushrah, baik dengan terlibat langsung maupun tidak dalam perjuangan ini, saat syariah Islam terbengkalai sebagaimana saat ini, maka Anda sekalian akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Wahai para ahlul quwwah, nushrah yang kalian berikan untuk tegaknya Khilafah akan menjadikan kalian mulia, sebagaimana Saad bin Muadz ra., yang ketika beliau meninggal, Rasulullah bersabda, “Inilah dia yang membuat ‘Arsy-Nya bergetar, pintu-pintu langit terbuka dan 90 ribu malaikat menyaksikan kematiannya.”14

Sungguh kita semua hanya mempunyai dua pilihan: memberikan pertolongan untuk tegaknya Khilafah ataukah tidak. Apapun pilihan kita, itu hanya berkonsekuensi pada kemuliaan kita ataukah tidak. Tidak merugikan Allah sedikitpun. Sebabnya, akan senantiasa Allah SWT munculkan orang-orang yang akan membela agama-Nya.15

WalLâhu a’lam. [Muhammad Taufik NT]

 

Catatan kaki:

1        Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah, Miftâh Dâr Al-Sa’âdah (Riyadh: Dâr Ibnu ’Affân, 1996), Juz 2, h. 318.

2        Fakhr al-Dîn Mu%ammad ibn »Umar Al-Râzî, Mafâtîh Al-Ghaib (Tafsîr al-Kabîr), Cet. III. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1420), Juz 11, h. 356.

3        Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr Al-Qur’ân al-Adzîm (Dâr Thayyibah, 1999), Juz 8, h. 113.

4        Ismail Haqqi Al-Barousawi, Rûh Al-Bayân (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), Juz 4, h. 75.

5        Muhsin bin Ali At-Tanukhi, Al-Faraj Ba’da as-Syiddah, Pentahkik. Abud as-Syaliji (Beirut: Dâr Shâdir, 1978), Juz 1, h. 117.

6        Al-Râzî, Mafâtîh Al-Ghaib (Tafsîr al-Kabîr), Juz 28, h. 42.

7        Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Raudlatu An-Nâdhir Wa Junnatu al-Munâdhir, Cet. II. (Muassasah ar-Rayyan, 2002), Juz 1, h. 123.

8        Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami, Fath Al-Mubîn Bi Syarh al-Arba’în, Cet  I. (Jeddah: Dâr al-Minhaj, 2008), h. 540.

9        Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Cet. II. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1392), Juz 2, h. 25.

10      Ibnu Hisyam, Al-Sîrah al-Nabawiyyah (Mesir: Musthafa al-Bâbi, 1955), Juz 1, h. 437.

11      Al-Maqdisi, Raudlatu An-Nâdhir Wa Junnatu al-Munâdhir, Juz 1, h. 123.

12      Al-Râzî, Mafâtîh Al-Ghaib (Tafsîr al-Kabîr), Juz 28, h. 42.

13      Syihabuddin Ahmad bin Idris Al-Qarafi, Anwâr Al- Burûq Fî Anwâ’ al-Furûq, Juz 2, h. 148.

14      Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ’Ali Al-Nasa-i, Sunan Al-Nasa-i, Pentahkik. Abdul Fattah Abu Ghuddah, Cet. II. (Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islamiyyah, 1986), Juz 4, h. 100, Komentar pentahkik: shahih.

15      Al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Juz 36, h. 657, Komentar pentahkik:  حديث صحيح لغيره…

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × 1 =

Back to top button