Siyasah Dakwah

Pengaitan Terorisme dengan Radikalisme

Terorisme menjadi isu yang paling panas pasca serangan 11 September 2001. Setelah serangan itu Amerika Serikat membuat sebuah blok internasional untuk memerangi apa yang mereka sebut sebagai terorisme. Dengan politik “stick and carrot” ini, AS memaksa dunia untuk bersama AS dengan sebuah ancaman: “Either you are with us or with terrorist”.

Negara di luar Amerika tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti kehendak Amerika. Mereka tak bisa menolak “Global War on Terro-rism” AS. Mereka bisa jadi akan diperangi oleh Amerika sebagai satu-satunya negara adidaya saat ini. Berbagai kebijakan muncul di hampir seluruh negara di dunia terkait program ini.

Peraih Hadiah Nobel Noam Chomsky dari Massachussetts Institute of Technology, AS,  menyebut Amerika memanfaatkan terorisme sebagai instrumen kebijakan standar untuk memukul atau menindas lawan-lawannya dari kalangan Islam.

Isu perang melawan terorisme ini, menurut Chomsky dalam beberapa tulisannya digulirkan sejak awal 1990-an, ada jauh sebelum tragedi WTC maupun berbagai pengeboman di sejumlah kawasan di Dunia Islam. Perang terhadap terorisme itu sebenarnya ditujukan untuk kepentingan yang luas, yakni perang terhadap Islam. Presiden AS George W Bush sejak awal perang mengisyaratkan ini dengan menyebut perang melawan terorisme adalah Crusade (Perang Salib).

Meskipun mengaku salah ucap, kata-kata yang senada diulangi lagi oleh Bush dan pejabat di bawahnya. Perang ini pun menjadikan Islam sebagai monster dan iblis. Tampak dari istilah-istilah berkonotasi buruk yang disandingkan dengan Islam oleh Bush untuk menamakan musuhnya seperti istilah Islam fasis, Islam radikal, atau Islam militan. Bush di depan The National Endowment for Democracy (September 2003) menyebut ideologi teroris dengan istilah ‘the murderous ideology of the Islamic radical’ dan menyamakan perang ini sama dengan perang melawan Komunisme.

Seiring waktu, Amerika berusaha meluaskan sasaran dari Global War on Terrorism ini. Pasalnya,  tindak kekerasan oleh ‘teroris’ tak membuat umat Islam menjauh dari agamanya. Justru sebaliknya, banyak kejadian terorisme meningkatkan ghirah Islam di berbagai negara.

Dalam situasi seperti ini, Amerika pun memperluas wilayah perangnya ini menjadi ‘Global War on Radicalism’. Bagi Amerika, radikalisme dianggap sebagai benih menuju terorisme sehingga benih-benih terorisme ini harus dicabut sejak awal.

 

Fitnah yang Gagal

Pasca Tragedi 11 September, arah dari perang melawan terorisme itu makin jelas. Ini setelah Bush menyebutkan secara jelas ideologi Islam di balik aksi-aksi terorisme dunia internasional. Ia juga menyebut tujuan dari ideologi Islam ini, yakni mendirikan pemerintahan Islam global yang disebut oleh Bush dengan istilah ‘Imperium Islam’.

Presiden Bush dalam pidato kepada rakyatnya 8 Oktober 2005 menyebutkan, “Para militan meyakini bahwa mengendalikan satu negeri akan mempersatukan umat Islam, memungkinkan mereka menggulingkan semua pemerintahan moderat dan menegakkan imperium radikal Islam dari Spanyol hingga Indonesia.”

Pidato Bush ini mengarah pada institusi politik Islam—Khilafah Islam—yang memang bersifat global dan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukumnya. Inilah target sebenarnya dari program perang Amerika tersebut.

Tak mengherankan, Hizbut Tahrir (HT) yang berjuang menegakkan kembali institusi Islam ini menjadi sasaran global war on terrorism ini. Di beberapa negara, HT sempat dituding terlibat dalam berbagai aksi terorisme sehingga gerakan ini dilarang melakukan aktivitas. Namun, pengadilan tidak pernah membuktikan keterlibatan tersebut.

HT sempat juga dianggap berafiliasi ke ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) yang melancarkan perang melawan rezim Irak dan Suriah. Tudingan itu dengan sendirinya gugur setelah HT mengumumkan bahwa deklarasi khilafah oleh ISIS tidak sesuai dengan syariah. Mata dunia kian terbuka setelah salah satu syabab HT di Suriah justru dibunuh dengan keji oleh ISIS. Percobaan mengaitkan HT dengan ISIS gagal. Apalagi belakangan terbukti bahwa ISIS adalah organisasi kekerasan yang dibuat Amerika untuk kepentingan politiknya di kawasan Timur Tengah.

Rupanya, pola yang sama dilakukan di Indonesia. Setiap ada aksi bom, pasti dikaitkan dengan perjuangan menegakkan Khilafah. Itu dilakukan berulang-ulang oleh para pejabat rezim. Seolah-olah dengan menyebarkan opini itu, rezim ingin mengatakan bahwa pelaku bom adalah pejuang Khilafah dan orang yang memperjuangkan Khilafah adalah teroris.

Bahkan ada seorang mantan pejabat di Indonesia dengan berani mengatakan ada 25 orang yang terlibat terorisme pernah bersinggungan dengan HT. Tuduhan itu dia sampaikan di depan majelis hakim PTUN Jakarta. Tudingan itu terbantahkan dengan sendirinya dalam persidangan tersebut. Tak ada bukti sama sekali.

Sejauh ini, HT Indonesia senantiasa mengutuk dan mengecam tindak kekerasan—termasuk aksi bom—di Indonesia. Bagi HTI, tindakan itu justru mencitraburukkan Islam dan kaum Muslim. Justru musuh-musuh Islam yang diuntungkan dengan adanya aksi kekerasan tersebut.

Walhasil, upaya mengaitkan HT dengan aksi terorisme ini gagal dilakukan. Barat sebenarnya sangat tahu sepak terjang HT. Di berbagai terbitan HT, jelas sekali bagaimana perjuangan menegakkan kembali Khilafah dilakukan. HT tak menempuh jalan kekerasan. HT bahkan mengharamkan kekerasan dalam mencapai tujuan. Jalan dakwah itu sudah dipahami oleh siapa pun yang mengamati dakwah HT di seluruh dunia. Wajar jika Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tak memasukkan HT dalam daftar organisasi teroris internasional.

 

Senjata Baru

Aksi terorisme gagal disematkan kepada HT di seluruh dunia. Namun, bukan berarti tidak ada cara lain untuk menghentikan langkah dakwah HT ini. Dengan meluaskan wilayah peperangan (battle ground) war on terrorism, Barat menggunakan istilah lainnya yakni menyematkan HT sebagai kelompok radikal.

Legitimasi tuduhan ini setidaknya bisa dipahami dari cara pandang mereka. Dikutip Fanani dalam Rizal Sukma (2004), radicalism is only one step short of terrorism; bahwa pada umumnya para teroris yang melakukan tindakan destruktif dan bom bunuh diri mempunyai pemahaman yang radikal terhadap berbagai hal, khususnya agama. Hal ini tampak tatkala pelaku teroris melegitimasi tindakannya dalam paham keagamaan radikal yang ia anut (Ahmad Fuad Fanani, 2012: 5).

Sebagaimana pernah dikatakan oleh mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai, radikalisme lebih berbahaya dibandingkan terorisme. Alasannya, radikalisme menjadi cikal bakal terorisme.  Ia mencoba mem-framing opini bahwa radikalisme adalah biang terorisme sehingga orang harus dijauhkan dari paham radikal.

Hanya saja, definisi radikalisme ini tidak jelas dan multitafsir. Selalu saja rezim ini mengkonotasikan radikalisme sebagai hal yang negatif. Ini mirip seperti yang terjadi pada zaman kolonial Belanda saat menjajah Indonesia. Orang-orang Muslim yang tidak mau tunduk dan taat kepada Belanda disebut  kelompok radikal. Sebaliknya, mereka yang mau bekerja sama/berkompromi dengan Belanda disebut sebagai kelompok moderat.

Pola yang sama sekarang pun digunakan. Kelompok yang tidak mau berkompromi dengan pandangan Barat yang kafir, menolak orang kafir menjadi pemimpin, menjadikan Israel sebagai musuh, ingin menegakkan syariah dan khilafah, dianggap sebagai kaum radikal dan harus dimusuhi.

Lalu mereka meluncurkan proyek baru, yakni deradikalisasi. Benar saja, proyek baru ini mendapat dukungan dana internasional. Dana dikucurkan kepada mereka yang dianggap moderat. Melalui tangan-tangan sesama Muslim inilah Barat memainkan isu dan strategi untuk memecah-belah umat Islam sekaligus menghancurkan Islam dari dalam.

Tak tanggung-tanggung, proyek deradikalisasi itu didukung pula oleh ulama-ulama sû’. Mereka menjual ayat agama untuk menyerang pandangan-pandangan prinsipil para ulama masyhur yang dianggap pro terhadap radikalisme. Tanpa malu-malu, melalui para intelektual pelacur, mereka menyerang ajaran Islam yang dianggap tak sesuai dengan cara pandang Barat. Tak jarang para intelektual Muslim penjual ayat ini menafsirkan ayat al-Quran dan al-Hadis secara serampangan, mengikuti maunya sendiri.

Lagi-lagi, kepada HT, mereka sematkan cap radikal pula. Dalihnya, HT mempunyai prinsip-prinsip yang bertentangan dengan paham-paham Barat serta ingin membangun institusi Islam, yakni Khilafah.

 

Menjegal Islam

Pada awal tulisan ini telah disinggung bahwa ujung dari proyek GWOT ataupun GWOR adalah Islam. Dalam konteks Indonesia, proyek tersebut ditujukan untuk mencegah atau memperlambat bangkitnya Islam. Seperti diketahui, Indonesia adalah negeri Muslim terbesar. Indonesia memiliki peran penting di tingkat regional, yakni Asia Tenggara. Keberadaan Indonesia di Dunia Islam memiliki peran cukup strategis. Menjadi sangat berbahaya bila Indonesia melepaskan diri dari Barat dan kemudian tampil sebagai negara yang mengemban ideologi Islam. Dalam pandangan Barat, ini adalah sebuah malapetaka. Sebab, itu berarti Barat akan terdepak dari negeri-negeri Islam yang kaya sumberdaya alam.

Karena itu berbagai cara dilakukan agar umat Islam tidak kembali pada agamanya secara benar. Mereka tahu penerapan syariah secara kâffah dalam negara Khilafah sangat membahayakan eksistensi Barat, tidak hanya di negeri-negeri Islam, tetapi di dunia secara umum.

Untuk itu, Barat berusaha menjauhkan umat Islam dari pemahaman agamanya yang hakiki. Dalam konteks inilah, proyek deradikalisasi digerakkan. Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. Monsterisasi inilah yang kelak melahirkan islamophobia di Barat dan seluruh dunia.

Pada saat yang sama Barat mendukung mereka yang dikategorikan sebagai Islam moderat. Jangan heran bila muncul istilah Islam Nusantara, sebagai lawan Islam radikal. Ini adalah bagian dari desain deradikalisasi yang digerakkan dengan menggunakan orang Islam sendiri sebagai garda terdepannya.

Mereka yang tidak menerima Islam Nusantara [baca: Islam moderat] dianggap radikal,  fundamentalis, dan islamis, bahkan teroris. Malah sekarang mereka yang menginginkan syariah dan Khilafah dianggap sebagai anti-Pancasila dan anti-NKRI. Para mubalig pun didaftar, siapa yang moderat dan siapa yang dianggap radikal.

Selain mencegah kebangkitan Islam, proyek deradikalisasi terkait dengan upaya memojokkan kelompok Islam. Di Indonesia, eksistensi kelompok Islam ini makin menguat. HT Indonesia dianggap salah satu penggeraknya. Ini terlihat dalam Aksi Bela Islam tahun 2017. Soliditas kelompok Islam terbukti mampu menjegal Ahok untuk menjadi gubernur DKI Jakarta. Meski Ahok didukung oleh rezim penguasa dan juga dana yang besar, ternyata ia tak bisa berhadapan dengan kekuatan Islam yang menentang dirinya.  Di sinilah konteks program deradikalisasi ada benang merahnya, yakni untuk kepentingan rezim penguasa berkuasa kembali untuk masa jabatan kedua. Dalam pandangan rezim, kelompok radikal dianggap menghalangi rezim berkuasa kembali. Maka dari itu, siapa saja orang/lembaga yang dianggap bagian, membantu, atau berafiliasi kelompok radikal pasti disikat. Di sinilah bisa dipahami mengapa HT Indonesia dibubarkan oleh rezim Indonesia.

Walhasil, secara politik, proyek deradikalisasi ini digerakkan oleh kekuatan global yang dulu menghancurkan Islam dan institusinya, yakni Khilafah. Mereka tidak ridha bila syariah Islam tegak di muka bumi dan memimpin dunia. Karena itu dengan segala cara, termasuk yang paling kotor sekalipun, mereka akan menghancurkan benih-benih kebangkitan Islam. HT tahu tentang permainan itu dan selalu membongkar makar-makar mereka. [Humaidi]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

14 + fourteen =

Back to top button