Siyasah Dakwah

Perubahan Itu Sebuah Keniscayaan

Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah. Perubahan merupakan realitas kehidupan. Sejak peradaban manusia dimulai dipermukaan bumi, tidak ada yang bersifat tetap. Semuanya berubah seiring dengan perjalanan waktu.

Perubahan tidak hanya terjadi pada tataran individu, tetapi juga negara/kekuasaan. Dulu dunia menyaksikan kebesaran Romawi dan Persia. Seiring waktu, kedua imperium tersebut lenyap. Dunia juga pernah dibuat kagum dengan kebesaran Khilafah Islamiyah yang berlangsung selama ribuan tahun. Dengan berbagai konspirasi yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam, institusi milik kaum Muslim tersebut pun runtuh pada tahun 1924 melalui tangan anak keturunan Yahudi, Mustafa Kamal. Hari ini dunia diatur oleh Amerika Serikat dengan segala arogansinya. Suka atau tidak, kepemimpinan AS atas dunia inipun pasti berakhir. Tidak ada yang abadi, kecuali Zat Yang Mahaabadi. Dia tidak pernah berubah. Bahkan Dialah Yang mengubah segalanya.

Realitas kehidupan rusak yang saat ini dihadapi kaum Muslim juga pasti akan berubah. Sejak kaum Muslim kehilangan institusi warisan Nabi saw., yakni Khilafah, mereka hidup penuh penderitaan. Tiap saat terjadi pembantaian di berbagai negeri Muslim. Kekayaan alam mereka dirampas. Hak-hak mereka dizalimi. Bahkan pelecehan serta penghinaan terhadap Islam jamak terjadi tanpa ada pembelaan yang berarti. Kehidupan mereka di bawah kungkungan ideologi Kapitalisme-Demokrasi merupakan potret kehidupan tanpa kebebasan menjalankan agamanya secara sempurna sesuai perintah Allah SWT.

Realitas ini tidak akan selamanya. Pasti akan berubah. Dari lembah Kapitalime menuju puncak kejayaan dengan Islam. Melihat situasi saat ini, perubahan tersebut menjadi sebuah kenicayaan karena berbagai potensi, baik dari sudut pandang internal maupun eksternal.

 

Faktor Internal

 

  1. Keimanan.

Bagi kaum Muslim keimanan merupakan modal utama untuk bangkit. Keimanan bagi mereka menjadi sumber penggerak perubahan, asas berpikir dan bertindak, serta penuntun ke arah yang benar. Arah perubahan yang dituntun oleh keimanan akan secara pasti berada pada jalur yang tepat. Dengan keimanan mereka mampu menilai suatu pemikiran rusak yang harus ditinggalkan serta menilai suatu pemikiran baik yang harus diperjuangkan.

Jika kaum Muslim kembali pada keimanan yang cemerlang dipastikan tidak akan ada kekuatan yang sanggup menahan laju kebangkitan Islam. Kebangkitan yang tidak didasari oleh keimanan pada hakiktnya bukan kebangkitan, melainkan jalan menuju lembah kehinaan.

Realitas inilah yang kita saksikan terjadi pada diri para Sahabat. Allah telah mengangkat para Sahabat menjadi generasi terbaik umat ini karena kehidupan mereka diliputi dengan keimanan pada Allah dan menjadikannya sebagai satu-satunya tolok ukur. Dengan keimanan, bangsa Arab yang sebelumnya sama sekali tidak dilirik oleh dunia berubah menjadi bangsa dengan peradaban tinggi dan memimpin dunia. Oleh karena itu, hidup tidak ada nilainya tanpa memperjuangkan keimanan pada Allah SWT.

 

  1. Menguatnya kesadaran politik umat untuk bersatu.

Berbagai peristiwa politik yang menimpa umat ini telah membangkitkan kesadaran mereka untuk bersatu. Mereka menyaksikan upaya musuh-musuh Islam yang terus-menerus berusaha memojokkan Islam. Politik adu-domba dengan isu-isu radikalisme-ekstremisme, toleransi serta moderasi beragama untuk melemahkan umat. Secara demonstratif ajaran Islam dan ulamanya juga terus difitnah. Bahkan dengan menggunakan instrumen kekuasaan ada upaya sistematis untuk menyingkirkan ajaran Islam agar tidak lagi dipelajari melalui institusi formal.

Berbagai makar jahat yang diarahkan pada Islam telah membangunkan umat dari tidurnya. Tidak ada pilihan bagi umat Islam kecuali bersatu dan membangun kekuatan politik mereka sendiri. Hanya dengan kesadaran politik yang tinggi kekuatan mereka dapat dipulihkan dan setiap upaya makar musuh pasti dapat digagalkan. Sebagian besar umat hari ini sudah mulai bisa melupakan berbagai perbedaan mazhab dan mulai fokus pada persatuan umat.

Begitu juga dalam konteks politik internasional. Secara perlahan namun pasti umat mulai sadar bahwa ikatan nasionalisme merupakan ikatan ringkih, warisan penjajah untuk mengerat persatuan mereka. Melalui instrumen nasionalisme, penjajah mudah intervensi ke negeri-negeri Muslim untuk mengeruk kekayaan mereka yang melimpah. Intervensi tersebut terus berlangsung baik secara politik maupun militer, tanpa perlawanan dengan kekuatan seimbang.

Umat juga mulai sadar bahwa nasionalisme sudah meluluhlantakkan konsep ukhuwah islamiyah yang mewajibkan mereka bersaudara dengan Muslim seluruh dunia membentuk umat yang satu. Dunia hari ini menyaksikan pergerakan global menuju satu titik, yakni penerapan syariah di bawah institusi Khilafah. Pergerakan ini tidak akan mungkin bisa dibendung. Dari waktu ke waktu pemahaman umat semakin meningkat tentang Khilafah sebagai bagian penting dari ajaran Islam. Hal ini dikonfimasi oleh berbagai hasil survey yang menunjukkan terjadi peningkatan penerimaan terhadap konsep Khilafah sebagai bentuk negara Ideal.

 

  1. Daya dukung SDM .

Berdasarkan data Pew Research Center tahun 2020, jumlah kaum Muslim diseluruh dunia mencapai 1,9 miliar jiwa. Jumlah tersebut lebih banyak dari penganut Katolik sebesar 1,33 miliar, Protestan sekitar 1 miliar, Hindu sebesar 1,15 miliar, Budha sebesar 500 juta penganut. Dengan demikian Islam menjadi agama terbesar kedua di dunia jika Katholik dan Protestan digabung, yang jumlahnya mencapai 2,33 miliar.

Dengan jumlah sebesar itu terlihat potensi luar biasa jika kaum Muslim menjadi satu umat baik dari sisi politik, ekonomi maupun militer. Secara politik akan menciptakan suatu imperium raksasa yang melintasi benua dan samudra. Secara ekonomi akan menciptakan pasar besar yang mandiri. Sebab, negeri-negeri Muslim merupakan negeri yang kaya SDA baik didalam bumi maupun lautnya serta tanahnya yang subur. Realitas ini membuat kaum Muslim tidak akan bergantung kepada negara lain, justru sebaliknya.

Dari sudut pandang militer, jika diambil 1% saja dari total jumlah Muslim dunia akan didapatkan tentara sebanyak 19  juta personel. Tidak ada negara di dunia saat ini yang memiliki tentara sebanyak itu. AS sebagai negara militer tahun 2020 hanya memiliki total tentara sebanyak 5 juta personel, Rusia 4,5 juta personel, Cina 3 juta personel sedangkan Indonesia saat ini hanya memiliki total 800 ribu personel aktif dan cadangan. Islam mewajibkan jihad bagi kaum Muslim, maka pada dasarnya seluruh kaum Muslim merupakan tentara terlatih yang siap kapan saja diturunkan kemedan jihad. Tentara cadangan kaum Muslim adalah tiap-tiap individu Muslim dewasa yang sehat. Jadi kekuatan militer Negara Khilafah sangat mengerikan bagi kaum durjana.

 

  1. Mulai muncul ketidakpercayaan terhadap sistem selain Islam karena gagal.

Ketidakpercayaan pada ideologi Kepitalisme saat ini sudah hampir merata diseluruh dunia. Berdasarkan publikasi Edelman Trust Barometer (2021), “kapitalisme lebih mendatangkan madarat ketimbang manfaatnya di dunia”. Publikasi tersebut merupakan hasil survey yang melibatkan lebih dari 34 ribu orang di 28 negara. Mulai dari negara demokrasi liberal seperti AS dan Prancis hingga negara yang didasarkan pada model sistem campuran seperti Cina dan Rusia. Dapat dikatakan bahwa publikasi tersebut valid sebagai representasi opini dunia terhadap Kapitalisme saat ini.

Khusus di AS sebanyak 51% anak muda berusia 18 hingga 29 tahun tidak lagi percaya Kapitalisme, 42% masih mendukung, tetapi yang benar-benar mau menyebut diri mereka sebagai kaum kapitalis hanya 19%. Anak muda Amerika mulai kehilangan keyakinannya terhadap Kapitalisme dan bersiap untuk menyambut sesuatu yang baru. Meski negara ini masih menjadi negara kapitalis nomor 1, ide kapitalis hanya diyakini oleh generasi tua. Dalam hal ini AS berdiri bersama dengan Kanada, Autralia, Jepang dan Hongkong.

Di negeri-negeri Muslim penolakan terhadap Kapitalisme jelas semakin menguat. Hal ini tidak terlepas dari eksploitasi negara-negara kapitalis terhadap negeri Muslim yang terus berlangsung. Termasuk intervensi militer yang sudah membunuh jutaan nyawa kaum Muslim di Irak, Palestina, Suriah dan Yaman. Mereka jelas semakin menolak nilai-nilai barat seperti Demokrasi, HAM, Kesetaraan Gender, dll yang selalu dipromosikan Barat melalui para penguasa antek di negeri-negeri Muslim yang semakin hari semakin represif.

Adapun kepercayaan umat terhadap ideologi komunisme-sosialisme sudah lama pudar seiring dengan keruntuhan Uni Soviet. Meski hari ini Cina menampilkan Komunisme dalam bentuk yang lebih rupawan, karakter bengis terhadap kaum Muslim tetap tidak bisa ditutupi, seperti ethnic cleansing yang mereka lakukan terhadap Muslim Xinjiang.

 

Faktor Eksternal

 

  1. Melemahnya Barat.

Saat ini Barat dengan ideologi Kapitalisme sedang berada di tepi jurang keruntuhan. Ideologi ini hanya berjuang sekadar untuk memperpanjang nafasnya saja.  Berbagai gejolak politik yang terjadi di AS semakin mengerosi eksistensi ideologi ini. Situasi ini tentu saja menguntungkan umat Islam yang terus berjuang mengembalikan mahkota mereka yang hilang, yakni Khilafah.

Tidak sedikit ilmuwan Barat sendiri yang memprediksi keruntuhan peradaban Barat. Oswald Spengler, misalnya, menganggap peradaban Barat sudah tua dan akan segera mati. Bahkan Patrick Buchanan yang merupakan penasihat tiga orang presiden AS mulai Richard Nixon, Gerald Ford and Ronald Reagan, juga memprediksi kejatuhan AS dan Barat karena faktor kerusakan moral dan minimnya pertumbuhan demografi. Mengenai kapan waktu Amerika akan runtuh. Pada tahun 2017 Profesor Peter Turchin, secara spesifik memprediksi dalam satu dekade kedepan akan terjadi masa-masa suram untuk AS. Turchin merupakan seorang profesor dari departemen ekologi dan biologi evolusioner di University of Connecticut.

 

  1. Kegagalan Kapitalisme.

Dengan pemikiran cemerlang kaum Muslim mudah memahami bahwa ide Kapitalisme sudah gagal sejak lahir, lantaran asasnya yang berpijak pada sekularisme yang berlawanan dengan fitrah beragama pada diri manusia. Saat ini kegagalan Kapitalisme bukan lagi sebatas kegagalan pemikiran, namun tampak secara kasatmata. Kapitalisme benar-benar telah gagal menciptakan keadilan ekonomi. Jika Sri Mulyani pernah menyebut kekayaan 4 orang terkaya Indonesia sama dengan kekayaan 100 juta penduduk maka ketimpangan global jauh lebih parah dan tidak dapat lagi dikendalikan. Menurut publikasi Yayasan amal asal Inggris Oxfam (2020), 1% orang terkaya di dunia memiliki lebih dari dua kali lipat kekayaan dari seluruh umat manusia dunia.

Dampak buruk penerapan Kapitalisme juga tampak pada krisis ekonomi global yang selalu berulang. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanyalah putaran menuju puncak untuk kemudian jatuh ke lembah krisis kembali.

Kehadiran pandemi Covid-19 saat ini semakin membuka tabir kebobrokan Kapitalisme. Betapa Kapitalisme tidak peduli dengan nyawa manusia dan lebih mementingkan perputaran bisnis. Bahkan seruan WHO untuk menghentikan semua kegiatan selama pandemi diabaikan oleh sebagian besar negara penganut kapitalis. Akibatnya, tidak sedikit manusia yang mati, pandemi tak terkendali, ekonomi pun hancur.

WalLahu a’lam. [Dr. Erwin Permana]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 1 =

Back to top button