Soal Jawab

Bagaimana Menyikapi Israel Saat Ini?

Soal:

Bagaimana mendudukkan Israel saat ini dan menyikapi hubungan dengan negara agresor itu? Apakah tindakan penguasa negeri kaum Muslim yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel bisa dibenarkan?

 

Jawab:

Entitas Yahudi, yang menduduki wilayah Palestina saat ini, yang kemudian dikenal dengan nama Israel, adalah entitas yang dibuat oleh Barat, khususnya Inggris, ketika menjadi negara adidaya, kemudian dilanjutkan oleh Amerika. Mereka didatangkan ke wilayah Palestina dengan klaim palsu. Ini sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Theodore Herzl kepada Sultan Abdul Hamid II, yang kemudian ditolak mentah-mentah oleh Sultan. Penolakan ini berujung pada konspirasi menjatuhkan beliau dan meruntuhkan Khilafah ‘Utsmaniyah sebagai benteng terakhir pertahanan Palestina, termasuk al-Quds, di dalamnya.

Ketika Inggris menjadi adidaya, dan Palestina di bawah pemerintahan Mandat Inggris, eksodus kaum Yahudi dari Eropa dilakukan besar-besaran ke Palestina. Mulai dari skema pembelian tanah, kemudian mereka dipersenjatai, lalu mendirikan “negara” di atas wilayah Palestina. Sejak itu, mereka berubah menjadi agresor, dengan dukungan penuh dari Inggris, Amerika dan negara-negara Barat. Ketika itu Israel sengaja dijadikan sebagai duri di dalam daging, yang bisa digunakan untuk menyulut konflik di tengah-tengah kaum Muslim, khususnya wilayah Syam (Palestina, Yordania, Libanon dan Suriah) dan Timur Tengah.

Karena itu Israel sampai saat ini, dalam pandangan Islam, tetaplah merupakan agresor, yang merebut dan menduduki wilayah kaum Muslim. Status Israel sampai saat ini tidak berubah, tetap merupakan Kafir Harb Fi’lan, yaitu entitas yang dengan nyata melakukan serangan terhadap negara atau wilayah kaum Muslim. Meski berbagai upaya perdamaian telah dilakukan oleh sejumlah penguasa kaum Muslim, status Israel tetap tidak berubah, menjadi kafir harb fi’lan, menjadi kafir mu’ahad, yaitu entitas kaum kafir yang terikat perjanjian dengan kaum Muslim dan Negara Islam.

Alasannya, karena para penguasa kaum Muslim yang melakukan perdamaian dengan entitas Israel itu tidak mewakili kaum Muslim. Bahkan tidak sedikit di antara mereka justru merupakan antek dan kaki tangan negara-negara kafir penjajah. Karena itu berbagai upaya perdamaian yang telah dilakukan oleh para penguasa kaum Muslim itu tetap tidak bisa mengubah status Israel menjadi Dar al-Harb Hukman atau Mu’ahad.

Selain itu, berbagai upaya perdamaian yang telah dilakukan oleh sejumlah penguasa kaum Muslim, termasuk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel, sesungguhnya bisa dianggap sebagai bentuk pengkhianatan kepada Allah, Rasul dan kaum Muslim. Karena itu dalam pandangan Islam, upaya perdamaian dan normalisasi hubungan dengan Israel itu dianggap tidak pernah ada, dan tidak mempunyai nilainya sedikit pun dalam pandangan Islam.

Pertanyaannya kemudian, mengapa entitas Israel kuat? Jawabannya, sebenarnya mereka tidak kuat, tetapi sengaja diciptakan seolah-olah kuat. Mereka dipertahankan oleh negara-negara kafir penjajah untuk terus-menerus menjalankan agenda penjajahannya di negeri kaum Muslim. Tidak hanya itu, mereka juga dijaga oleh para penguasa kaum Muslim yang ada di sekelilingnya, khususnya penguasa Timur Tengah, yang selama ini menjadi agen dan pelayanan negara-negara kafir penjajah. Bayangkan, misalnya, Iran yang mempunyai senjata nuklir dan militer yang lebih besar ketimbang Israel menyerang Israel, pasti Israel kalah. Jangankan Iran sebagai negara, Israel saja kalah dengan Hizbullah, padahal Hizbullah hanyalah organisasi milisi, bukan negara.

Masalahnya, baik Iran maupun Hizbullah, sama-sama tidak bekerja dan melayani kepentingan Islam dan umatnya, tetapi bekerja dan melayani kepentingan negara-negara kafir penjajah, khususnya Amerika. Sebelumnya, Irak, di bawah Saddam Husein, juga sama. Dengan senjata nuklir dan militer yang lebih besar ketimbang Israel, kalau saat itu Irak mau menyerang Israel, maka Israel pasti kalah. Namun, sekali lagi, Irak tidak bekerja dan melayani kepentingan Islam dan umatnya, tetapi bekerja dan melayani kepentingan negara-negara kafir penjajah, khususnya Inggris. Begitu juga dengan Suriah di bawah Hafidz Assad dan Bashar Assad, dan yang lain-lain.

Inilah fakta negara-negara kaum Muslim di sekitar Palestina. Negara-negara ini tidak bekerja dan melayani kepentingan Islam dan umatnya, tetapi bekerja dan melayani kepentingan negara-negara kafir penjajah. Ada Inggris, Amerika dan Prancis. Karena itu meski negara-negara tersebut mempunyai senjata nuklir dan militer yang lebih besar ketimbang Israel, tetap saja tidak digunakan untuk menyerang Israel. Justru digunakan untuk menyerang negeri kaum Muslim. Sebagaimana yang dilakukan Saddam terhadap Kuwait di era tahun 1990-an.

Di sisi lain, masalah Palestina itu merupakan masalah kaum Muslim di seluruh dunia, bukan hanya masalah bangsa Arab, apalagi direduksi hanya masalah rakyat Palestina. Ini karena Palestina adalah tanah kharajiyah, yang merupakan milik kaum Muslim di seluruh dunia, bukan hanya milik rakyat Palestina, atau bangsa Arab. Di Palestina juga ada Masjidil Aqsa serta tempat Isra’ dan Mikraj Nabi Muhammad saw., yang bukan hanya milik rakyat Palestina, atau bangsa Arab, tetapi merupakan milik umat Islam di seluruh dunia. Karena itu masalah Palestina bukan hanya masalah rakyat Palestina dan bangsa Arab, tetapi masalah umat Islam di seluruh dunia.

Lalu, bagaimana solusinya? Solusinya bukan terkait masalah teritorial, tetapi eksistensi. Artinya, yang menjadi masalah bagi rakyat Palestina, bangsa Arab dan kaum Muslim di seluruh dunia, bukan masalah teritorial entitas Israel, tetapi eksistensi entitas itu di wilayah Palestina. Itulah masalah utamanya. Selama eksistensinya tetap ada di sana, selama itu pula masalahnya tidak selesai. Karena itu solusinya adalah dengan menghilangkan eksistensinya dari wilayah Palestina, sebagaimana saat Khilafah masih ada.

Solusi ini tidak bisa diwujudkan melalui negara-negara dan penguasa kaum Muslim saat ini. Pertama, karena memang negara-negara tersebut adalah negara yang dibatasi teritorial, yang dikenal dengan nation state. Ini tentu berbeda dengan Khilafah yang ada saat itu. Kedua, negara-negara dan penguasa kaum Muslim saat ini tidak bekerja dan melayani kepentingan Islam dan umatnya, tetapi bekerja dan melayani kepentingan negara-negara kafir penjajah.

Dari dua fakta di atas sebenarnya sudah bisa ditemukan solusinya. Tak lain adalah dengan adanya negara adidaya Islam, yang tidak dibatasi dengan teritorial. Negara ini hanya bekerja dan melayani kepentingan Islam dan umatnya, bukan bekerja dan melayani kepentingan negara-negara kafir penjajah. Jika ini ada maka solusi hakiki dan permanen untuk menyelesaikan masalah Palestina ini sangat mudah.

Adanya negara adidaya yang menyatukan suara kaum Muslim ini saat ini hukumnya wajib. Pasalnya, sudah lebih dari 40 tahun masalah Palestina ini tidak kunjung selesai. Sebagaimana dalam kaidah Ushul:

لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Suatu kewajiban yang tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu, maka hukum adanya sesuatu itu menjadi wajib.

 

Para fuqaha’ telah menetapkan kewajiban negara tersebut menjadi sepuluh. Kewajiban ini dipilah oleh Syaikh Wahbah Zuhaili menjadi dua:

Pertama, kewajiban terkait dengan agama:1

  • Menjaga agama. Al-Mawardi menyatakan, “Menjaga agama sesuai dengan pokok-pokok Ushulnya yang tetap dan apa yang disepakati oleh umat terdahulu.”
  • Memerangi musuh.
  • Menarik Fai’ dan Zakat. Yang dimaksud dengan Fai’ di sini adalah harta yang sampai kepada kaum Muslim dari kaum musyrik, atau mereka menjadi sebab sampainya harta tersebut. Adapun zakat merupakan kewajiban bagi kaum Muslim.
  • Mendirikan syiar agama; seperti azan, shalat Jumat, shalat Jamaah, Hari Raya, menyatukan puasa dan hari raya, haji, serta memimpin umat shalat berjamaah.2

 

Kedua, kewajiban politik:

  • Menjaga keamanan dan sistem umum negara. Al-Mawardi menyatakan, “Menjaga wilayah, dan mempertahankan kehormatan, supaya orang bisa hidup dengan harmonis. Mereka bisa bepergian tanpa rasa khawatir, baik terhadap jiwa maupun hartanya. Inilah yang saat ini dilakukan oleh polisi.”
  • Mempertahankan negara dari serangan musuh. Al-Mawardi menyebutnya, “Membentengi perbatasan dengan peralatan yang bisa digunakan untuk mencegah dan kekuatan yang bisa menghalangi, sehingga tidak ada musuh yang berani menyerang kehormatan atau menumpahkan darah kaum Muslim, atau Mu’ahad di sana.”
  • Mengurus dan mensupervisi sendiri urusan umum.
  • Menegakkan keadilan.
  • Mengelola harta.
  • Mengangkat para pegawai yang amanah dan profesional.

 

Inilah sepuluh tugas Negara Islam yang ditulis oleh al-Mawardi dalam kitabnya, Al-Ahkaam as-Sulthaaniyyah. Jika negara ini ada, dan melaksanakan sepuluh tugas ini, maka masalah Palestina ini sudah lama selesai. Bahkan saat kaum Muslim masih mempunyai negara, dan negaranya lemah saja, Tatar yang kuat bisa dikalahkan, dan Konstantinopel bisa ditaklukkan. Apatah lagi jika negaranya kuat, dan menjelma menjadi adidaya dunia, maka urusan dengan entitas Israel itu tidak membutuhkan waktu lama, apalagi memakan waktu hingga 40 tahun lebih.

WalLaahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan Kaki:

1        Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 96 dan 103.

2        Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, hal. 606-607.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

14 − 10 =

Back to top button