Tafsir

Kepastian Hari Kiamat

وَالْمُرْسَلَاتِ عُرْفًا . فَالْعَاصِفَاتِ عَصْفًا . وَالنَّاشِرَاتِ نَشْرًا (3) فَالْفَارِقَاتِ فَرْقًا . فَالْمُلْقِيَاتِ ذِكْرًا . عُذْرًا أَوْ نُذْرًا . إِنَّمَا تُوعَدُونَ لَوَاقِعٌ

Demi yang diutus untuk membawa kebaikan; yang terbang dengan kencangnya; yang menyebarkan (rahmat Tuhannya) dengan seluas-luasnya; yang membedakan (antara yang hak dan yang batil) dengan sejelas-jelasnya; yang menyampaikan wahyu untuk menolak alasan-alasan atau memberi peringatan. Sungguh apa yang dijanjikan kepada kalian itu pasti terjadi (QS al-Mursalat [77]: 1-7).

Surat ini dinamai al-Mursalât yang diambil dari salah kata pada ayat pertama. Ada juga yang menyebut surat al-‘Urf. Jumlah ayatnya ada lima puluh. Menurut para ulama, surat ini termasuk Makkiyyah. Demikian menurut al-Hasan, Ikrimah, Atha` dan Jabir;[1] juga para ulama lain seperti al-Zamakhsyari, Ibnnu Katsir, al-Alusi, al-Baidhawi, dan lain-lain.[2] Demikian pula menurut Ibnu Abbas dan Qatadah, kecuali satu ayat, yakni ayat 49. Menurut mereka ayat tersebut adalah Madaniyyah.[3]

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Wa al-Mursalât ‘urf[an] (Demi yang diutus untuk membawa kebaikan). Ayat ini diawali dengan wâwu al-qasam. Huruf sesudahnya merupakan huruf ‘athf.[4]  Yang menjadi al-muqsam bih adalah  al-mursalât ‘urf[an].

Kata al-mursalât merupakan bentuk jamak dari kata al-mursal. Kata tersebut merupakan ism al-maf’ûl dari kata arsala (mengutus, mengirim). Adpun kata ‘urf[an] bermakna sebagian mengikuti sebagian lainnya seperti bulu leher kuda.[5] Bisa juga kebalikan dari an-nukr (keburukan).[6]

Kata al-mursalât (yang diutus atau yang dikirim) merupakan ism ash-shifat (kata sifat). Di sini perkara yang disifati tidak disebutkan. Akibatnya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang itu.

Ada yang menafsirkan bahwa itu adalah malaikat.[7] Jadi ayat ini bermakna: Allah SWT bersumpah dengan  para malaikat yang diutus dengan membawa wahyu-Nya, perintah-Nya, dan larangan-Nya.[8]

Sebagian lainnya menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh kata tersebut para nabi.[9] Itu berarti, Allah SWT bersumpah dengan para nabi yang diutus kepada hamba-hamba-Nya untuk menyampaikan syariah-Nya. Menurut Ibnu Athiyah, ini merupakan pendapar sebagian besar mufassir.[10]

Menurut sebagian yang lain, yang dimaksud dengan kata itu adalah ar-riyâh (angin). Kalimat al-mursalât ‘urf[an] berarti angin yang dikirimkan secara berturutan.[11] Itu artinya, Allah SWT bersumpah dengan angin yang dikirimkan tatkala angin itu Dia perintah, sebagaimana disebutkan dalam QS al-Hijr [15]: 22 dan al-A’raf [7]: 57.[12]

Menurut Imam al-Qurthubi dan Imam asy-Syaukani, ini merupakan pendapat jumhur.[13] Namun demikian, Ibnu Jarir ath-Thabari tidak mau memilih salah satu dari beberapa penafsiran tersebut. Menurut ath-Thabari, pendapat yang benar adalah bahwa Allah SWT bersumpah dengan al-mursalât ‘urf[an]. Yang dikirim membawa kebaikan itu bisa malaikat, bisa pula angin. Tidak ada dalil yang menunjukkan salah satu dari dua makna tersebut. Dalam bersumpah Allah SWT menyebutkan sifatnya secara umum. Oleh karena itu, semua yang memiliki sifat seperti itu termasuk dalam cakupan sumpah-Nya tersebut, baik itu malaikat, angin, maupun  para rasul dari kalangan manusia.[14]

Kemudian Allah SWT berfirman: fa al-‘âshifât ‘ashf[an] (yang terbang dengan kencangnya). Huruf  al-fâ` merupakan ‘athf. Jadi kata al-‘âshifât dalam ayat ini ma’thûf terhadap kata al-mursalât. Ini merupakan kelanjutan qasam dari ayat sebelumnya.

Kata al-‘âshifât juga merupakan kata sifat yang tidak disebutkan perkara yang disifati. Akibatnya, kata tersebut juga memunculkan beberapa penafsiran.

Menurut sebagian, yang dimaksud dengan kata tersebut adalah para malaikat yang diserahi tugas untuk mengurus angin yang bertiup kencang.[15] Para malaikat itu disebut al-‘âshifât karena mereka terbang kencang seperti angin yang bertiup kencang dalam menjalankan perintah Allah SWT.[16]

Sebagian lainnya menafsirkan kata itu sebagai angin.[17] Menurut asy-Syaukani, al-‘âshifât bermakna angin yang bertiup sangat kencang.[18]  Dari Ibnu Mas’ud, itu adalah angin yang bertiup kencang  sehingga menggugurkan daun-daun dan kulit tanaman. Makna ini seperti dalam QS al-Isra’ [17]: 69.[19]

Kemudian disebutkan: wa an-nâsyirât nasyr[an] (yang menyebarkan [rahmat Tuhannya] dengan seluas-luasnya). Terdapat perbedaan penafsiran atas kata al-nâsyirât dalam ayat ini. Ada yang menafsirkan kata tersebut sebagai malaikat.[20]

Sebagian lainnya menafsirkan kata itu sebagai angin.[21] Menurut Ibnu Mas’ud dan Mujahid, itu adalah angin yang dikirimkan Allah SWT untuk menyebarkan rahmat-Nya, yakni mendung yang disebarkan untuk hujan.[22]

Namun demikian, Ibnu Jarir ath-Thabari tidak memilih salah satu penafsiran di atas. Alasannya,  tidak ada dalil yang mengkhususkan salah satunya dan meninggalkan yang lain. Angin menyebarkan awan, hujan menyebarkan tanah dan malaikat menyebarkan kitab. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mentukan salah satu maknanya sehingga wajib menerima bahwa maksudnya adalah ini dan tidak yang lainnya. Semuanya masuk dalam kategori nâsyir[an] (menyebarkan).[23]

Kemudian Allah SWT berfirman: fa al-fâriqât farq[an] (yang membedakan [antara yang haq dan yang batil] dengan sejelas-jelasnya).         Kata al-fâriqât merupakan ism al-fâ’il dari kata al-farq.  Kata tersebut kebalikan dari kata al-jam’ (mengumpulkan, menghimpun).[24]

Dalam konteks ayat ini, terdapat beberapa penjelasan. Ada yang mengatakan bahwa al-fâriqât adalah al-Quran. [25] Allah SWT memisahkan di dalamnya yang haq dan yang batil, yang halal dan yang haram.

Sebagian lainnya menafsirkan kata tersebut sebagai para rasul yang memisahkan apa yang diperintahkan Allah SWT dengan yang Dia larang. Maksudnya, menjelaskan semua itu.[26]

Ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah para malaikat yang turun untuk memisahkan yang haq dan yang batil.[27]

Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, pendapat yang benar adalah bahwa Allah SWT bersumpah dengan al-fâriqât, yang berarti yang memisahkan antara yang haq dan yang batil, tidak dikhususkan pada salah satu tertentu. Itu artinya, Dia bersumpah dengan pemisah antara yang haq dan yang batil baik malaikat, al-Quran maupun yang lain.[28]

Kemudian Allah SWT berfirman: fa al-mulqiyât dzikr[an] (yang menyampaikan wahyu).  Makna al-mulqiyât adalah penyampai wahyu Allah SWT kepada rasul-rasul-Nya. Ada juga yang berpendapat, maksudnya adalah para rasul yang menyampaikan apa yang diturunkan Allah SWT kepada umat-umat mereka. Demikian menurut Quthrub.[29]

Menurut penafsiran lainnya, mereka adalah para malaikat yang menyampaikan wahyu Allah SWT kepada para nabi as.[30]

Kemudian ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya: ‘udzr[an] wa nudzr[an] (untuk menolak alasan-alasan atau memberi peringatan). Kata ini berkedudukan sebagai maf’ûl li ajlihi dari ayat sebelumnya.[31] Baik yang dimaksudkan oleh ayat sebelumnya adalah para malaikat yang menyampaikan atau para nabi dan rasul, keduanya memberikan makna yang sama; keduanya untuk udzr[an] maupun nudzr[an]. Menururut al-Farra, maknanya adalah menyampaikan wahyu sebagai i’dzâr[an] (alasan) dari Allah SWT atau indzâr  (peringatan) kepada makhluk-Nya akan adanya azab.[32]

Kemudian Allah SWT berfirman: Innamâ tû’adûna la wâqi` (Sungguh apa yang dijanjikan kepada kalian itu pasti terjadi). Ini merupakan jawâb al-qasam (jawaban atas sumpah) atau perkara dikukuhkan oleh sumpah. Perkara yang diancamkan adalah Hari Kiamat. Ini ditunjukkan oleh ayat-ayat selanjutnya yang memberitakan tanda-tanda kejadian  Hari Kiamat.[33] Menurut az-Zamakhsyari, makna ayat ini adalah apa yang diancamkan kepada kalian berupa kedatangan Hari Kiamat itu benar-benar ada, terjadi dan tidak ada keraguan.[34]

 

Beberapa Pelajaran

Ayat-ayat ini memberikan banyak pelajaran amat peting. Pertama: keistimewaan perkara yang dijadikan sebagai al-muqsam bih (penguat sumpah). Ada lima perkara yang disebutkan, yakni al-mursalât ‘urf[an], al-‘âshifât, al-nâsyirât, al-fâriqât dan al-mulqiyât dzikrâ. Hanya saja, semua yang disebutkan tersebut memunculkan penafsiran lebih dari satu. Semua kemungkinan penafsiran tersebut tercakup di dalam makna kata yang disebutkan sebagai al-muqsam bih. Meskipun berbeda-beda maknanya, ada titik-titik kesemaannya. Di antaranya adalah keagungan dan keistimewaan semua yang disebutkan.

Angin, misalnya, yang tidak terlihat wujudnya, keberadaannya dapat diketahui ketika kita secara langsung diterpa angin. Kita bisa merasakan angin yang sepoi-sepoi atau kencang. Kita pun dapat memastikan keberadaan angin dari dari pengaruh yang ditimbulkan seperti daun pohon yang bergerak, debu yang beterbangan.

Angin mendatangkan banyak manfaat bagi manusia. Manusia bisa merasakan udara sejuk, membawa mendung hingga hujan bisa tersebar di berbagai daerah, dan lain-lain. Sebaliknya, angin juga bisa mendatangkan bencana bagi manusia. Itu terjadi pada angin badai yang menerbangkan debu dan batu, menumbangkan pohon, meluluhlantakkan bangunan, dan lain-lain. Semua itu terjadi dengan seizin Allah SWT. Angin tunduk pada perintah Allah SWT ke mana harus berhembus. Dengan memperhatikan angin, manusia diharapkan memahami kebesaran dan keagungan Allah SWT; juga lebih mudah untuk beriman, terutama dalam perkara-perkara gaib, tetapi dipastikan adanya.

Meskipun tidak sama persis, ada keserupaan dengan malaikat. Malaikat juga tidak kasatmata. Bedanya, mereka benar-benar gaib bagi manusia. Sebab, manusia tidak mengetahui para malaikat melalui indera atau pengaruh yang ditimbulkan oleh mereka sebagaimana angin. Kita wajib mengimani keberadaan para malaikat karena ada dalil naqli yang memberitakannya. Sebagaimana angin berhembus, malaikat pun hanya mengerjakan perintah Allah SWT. Mereka taat kepada Allah SWT dan tidak durhaka kepada-Nya.

Demikian pula para nabi dan rasul yang diutus Allah SWT. Sebagai utusan Allah SWT, mereka hanya taat kepada-Nya. Mereka tidak mengikuti hawa nafsu mereka, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Tugas mereka adalah menyampaikan risalah dari Allah SWT yang wajib ditaati manusia. Mereka adalah manusia yang ma’shûm. Maka dari itu, menaati perintah mereka hakikatnya adalah menaati Allah SWT (QS al-Nisa [4]: 80).

Kedua: Kegunaan wahyu bagi manusia. Dalam ayat tersebut dzikr[an] disampaikan oleh malaikat (kepada nabi dan rasul) atau oleh para nabi dan rasul kepada manusia. Dzikr[an] (peringatan) yang disampaikan tersebut berguna sebagai ‘udzr[an] (alasan) dan nudzr[an] (peringatan).

Menurut para mufassir, pengertian udzr[an] adalah alasan Allah SWT, sementara nudzr[an] adalah peringatan-Nya kepada manusia. Perkara yang paling penting untuk diperingatkan kepada manusia adalah azab neraka pada Hari Akhir. Inilah azab yang paling besar dan dahsyat. Semua siksa di dunia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan besarnya siksa di akhirat. Karena itu manusia diberi peringatan agar tidak melakukan berbagai dosa yang membuat mereka terjerumus di dalamnya. Inilah tugas para nabi dan rasul. Mereka diutus sebagai nadzîr (pemberi peringatan) kepada manusia, selain sebagai basyîr (penyampai kabar gembira).

Ketika nudzr (peringatan) itu telah disampaikan kepada manusia, maka itu telah menjadi udzr (alasan) bagi Allah SWT untuk menimpakan azab kepada siapa pun yang mengingkari, mengabaikan dan melanggar nudzr (peringatan) tersebut. Sebaliknya, dengan sampainya peringatan kepada manusia, mereka tidak memiliki alasan lagi bahwa mereka tidak mengetahui tentang iman dan kufur, perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela, dan yang berpahala dan berdosa. Pasalnya, mereka sudah mendapatan penjelasan dari nabi dan rasul yang Allah SWT utus (QS al-Nisa [4]: 165).

Maka dari itu, setelah pengutusan para rasul, manusia tidak lagi memiliki hujjah atau alasan di hadapan Allah SWT. Allah SWT pun telah memberitakan bahwa Dia tidak akan menimpakan azab kepada manusia hingga kepada mereka diutus seorang rasul (QS al-Isra’ [17]: 15).

Ketiga: Kepastian Hari Kiamat. Setelah menyebutkan lima perkara yang menjadi al-muqsam bih, kemudian disebutkan al-muqsam ‘alayh yang menjadi jawâl al-qasam (sesuatu yang ingin dikuatkan dalam sumpah tersebut, sebagaimana diterangkan para ulama, ayat ini memberitakan bahwa Hari Kiamat benar-benar pasti ada dan tidak boleh diragukan.

Dalam ayat ini, selain diawali dengan sumpah yang memberikan penekanan kebenaran berita yang disampaikan, juga disebutkan huruf al-lâm sebelum kata wâqi’ yang juga berfungsi sebagai ta’kîd (untuk mengukuhkan).

Hari Kiamat memang belum terindera. Akan tetapi, itu bukan berarti tidak akan terjadi. Bukankah, sesuatu yang tidak terindera oleh manusia bukan berarti tidak ada? Realitas angin menunjukkan kepada kita bahwa indera manusia memiliki keterbatasan sehingga tidak bisa menjangkau semua yang ada. Karena itu semestinya manusia tidak serta-merta meolak berita tentang Hari Kiamat hanya sekadar tidak dapat menjangkaunya. Sebaliknya, ketika berasal dari sumber berita yang pasti, ia wajib menerima dan mengimaninya.

WalLâh a’lam bi al-shawâb. []

 

Catatan kaki:

[1]    Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 153

[2]    Az-Zamakhsyari, al-Kaysysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1987), 677f; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 296; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 187; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1998), 274

[3]    Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 429. Ini juga pendapat Ibnu Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 416

[4]    Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur`ân, vol. 29 (Beirut: Dar al-Rasyid, 1998), 197

[5]    Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 154

[6]    Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 429

[7]    Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 154; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 429; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 296

[8]    Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 429

[9]    Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 154; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 296

[10]   Ibnu Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 416

[11]   Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 122-124

[12]   Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 429. Lihat juga dalam al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 154

[13]   Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 154; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 429

[14]   Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 124-125

[15]   Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 430

[16]   Ibnu Juzyiu al-Kalbi, al-Tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam, 1996), 441

[17]   Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 125-126.

[18]   Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 4. Lihat juga dalam al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 348; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 313

[19]   Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 155

[20]   Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 155

[21]   Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 126

[22]   Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 155

[23]   Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 127

[24]   Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 10 (Beirut: Dar Shadir, tt), 299

[25]   Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 127; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 155; [25] al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 348; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 313

[26]   Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 155

[27]   Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 128; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 155; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 297

[28]   Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 128

[29]   Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 156

[30]   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 297; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 129; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 313

[31]   Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur`ân, vol. 29 (Beirut: Dar al-Rasyid, 1998), 198

[32]   Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 156

[33]   Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 768

[34]   Az-Zamakhsyari, al-Kaysysyâf, vol. 4, 678. Lihat juga dalam [34] al-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 768; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, vol. 5, 274; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 156

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 4 =

Back to top button