Tafsir

Larangan Meminta Perlindungan Jin(1)

(Tafsir QS al-Jin [72]: 6-7)

وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٞ مِّنَ ٱلۡإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٖ مِّنَ ٱلۡجِنِّ فَزَادُوهُمۡ رَهَقٗا  ٦ وَأَنَّهُمۡ ظَنُّواْ كَمَا ظَنَنتُمۡ أَن لَّن يَبۡعَثَ ٱللَّهُ أَحَدٗا  ٧

Sungguh ada beberapa orang laki-laki dari (kalangan) manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin sehingga para jin itu menjadikan manusia bertambah sesat. Sungguh para jin itu mengira sebagaimana kalian (kaum musyrik Makkah) mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkan kembali siapa pun (pada Hari Kiamat). (QS al-Jin [72]: 6-7).

 

Dalam ayat-ayat tersebut sebelumnya diberitakan tentang kisah sejumlah jin yang mendengarkan al-Quran. Allah SWT mewahyukan kepada Rasulullah saw. bahwa ada sejumlah jin yang menyimak bacaan al-Quran oleh beliau. Setelah mendengarkan al-Quran, mereka menyatakan kekagumannya. Mereka mengatakan, al-Quran merupakan bacaan yang menakjubkan. Sebagaimana diterangkan para ulama, kata al-‘ajîb menunjuk pada sesuatu yang sangat bagus keluar dari kebiasaan semua Kitab Ilahiyah yang semisalnya, apalagi jika dibandingkan dengan perkataan manusia.

Mereka juga mengatakan bahwa al-Quran menunjukkan jalan kebenaran. Mereka pun mengimani al-Quran serta tidak akan lagi menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu pun. Mereka juga mengakui Allah Yang Mahatinggi tidak beristri dan tidak beranak. Mereka menceritakan bahwa perkataan yang melampaui batas terhadap Allah itu diucapkan oleh orang-orang yang bodoh. Sesuatu yang tidak pernah  mereka kira bahwa ada manusia dan jin yang berani mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah.

Kemudian dilanjutkan ayat-ayat ini yang mengabarkan ada orang-orang yang meminta perlindungan kepada jin. Tindakan itu pun membuat mereka semakin terjerumus dalam perbuatan dosa.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٞ مِّنَ ٱلۡإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٖ مِّنَ ٱلۡجِنِّ ٦

Sungguh ada beberapa orang laki-laki dari (kalangan) manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin.

 

Huruf al-wâwu pada awal ayat ini merupakan al-‘athf, yakni kata hubung yang menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya.1

Kata « أَنَّ » merupakan harf tawkîd, yang berguna untuk menguatkan berita yang disampaikan sesudahnya, bahwa benar-benar ada sejumlah laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada laki-laki dari kalangan jin.

Adapun kata « رِجَالٌ » adalah bentuk jamak dari kata « رَجُل », yang berarti manusia yang berjenis kelamin laki-laki yang sudah balig. Kebalikannya adalah « اِمْرَأة » (perempuan).2 Ini seperti ditunjukkan dalam firman Allah SWT:

وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ ١٢

Jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak (QS al-Nisa‘ [4]: 12).

 

Juga dalam firman-Nya:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ ٣٤

Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab  atas para perempuan (istri) (QS al-Nisa‘ [4]: 34).

 

Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa kata rajul (laki-laki) merupakan lawan dari imra‘ah (perempuan). Bentuk jamaknya ar-rijâl lawan dari an-nisâ‘.

Adapun frasa « مِنَ الْإِنْسِ » (dari manusia) merupakan sifat bagi kata « رِجَالٌ » (para laki-laki). Demikian juga frasa « مِنَ الْجِنِّ », adalah sifat bagi kata « رِجَالٌ » yang kedua.3

Penggunanaan kata rijâl untuk jin merupakan bentuk at-tasybîh wa al-musyâkalah (penyerupaan dan penyamaan) dengan rijâl dari kalangan manusia.4 Penyebutan kata rijâl juga menunjukkan, di kalangan jin terdapat nisâ‘ (perempuan). Sebabnya, mereka memiliki rijâl (laki-laki). Oleh karena itu, mereka juga beranak pinak, tetapi mereka tidak terlihat seperti iblis dan anak-cucunya.5

Menurut ayat ini, ada laki-laki yang « يَعُوْذُوْنَ » (berlindung) kepada laki-laki dari kalangan jin. Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, pengertian « الْعَوْذ » adalah « الالتجاء إلى الغير والتّعلّق به » (berlindung kepada orang lain dan bergantung kepadanya).6

Menurut Ibnu ‘Asyur,  « الْعَوْذ » juga berarti « الِالْتِجَاءُ إِلَى مَا يُنْجِي مِنْ شَيْءٍ يَضُرُّ » (berlindung kepada sesuatu yang dapat menyelamatkan dari hal yang membahayakan). Allah SWT berfirman:

وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنۡ هَمَزَٰتِ ٱلشَّيَٰطِينِ  ٩٧

Katakanlah, “Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan.” (QS al-Mukminun [23]: 97).

 

Ketika kata « الْعَوْذ » dibawa pada makna hakiki, maka ayat ini bermakna, “Sungguh ada para laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada para jin agar mencegah berbagai hal yang dapat membahayakan mereka.”7

Tentang siapakah yang berkata dalam ayat ini dan ayat sesudahnya, ada perbedaan pendapat di antara ulama. Ada yang berpendapat bahwa ini merupakan perkataan sebagian jin kepada sesama jin yang lainnya. Ada juga yang berpendapat, ini termasuk perkataan wahyu.8

Fakhruddin ar-Razi menguatkan pendapat pertama. Alasannya, ayat sebelum dan sesudahnya menceritakan perkataan jin. Karena itu menceritakan perkataan selain perkataan jin di antara percakapan tersebut tampak tidak serasi.9

Ibnu Jarir ath-Thabari juga lebih memilih pendapat tersebut. Mufassir tersebut berkata,  “Allah SWT mengabarkan perkataan sekelompok jin itu, bahwa ada beberapa orang laki-laki meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin dalam perjalanan mereka jika mereka telah singgah di rumah mereka.”10

Dalam ayat ini disebutkan kata « كَانَ » yang berarti dulu. Artinya, pada masa jahiliah.11 Ini sebagaimana diterangkan para mufassir bahwa ayat ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Arab Jahiliah. Ibrahim berkata,  “Dulu pada masa jahiliah ketika mereka singgah di suatu lembah, mereka mengucapkan, ‘Kami berlindung kepada penunggu lembah ini dari keburukannya.’”12

Keterangan serupa juga dikemukakan Ibnu ‘Abbas ra, Ibrahim, Mujahid, Qatadah, dan lain-lain.13

Ibnu Katsir berkata, “Kami dulu berpandangan bahwa diri kami lebih utama daripada manusia karena mereka sering meminta perlindungan kepada kami. “ Artinya, “Ketika mereka berada di sebuah lembah atau suatu tempat yang mengerikan seperti di hutan dan tempat-tempat lainnya yang angker, sebagaimana menjadi kebiasaan orang-orang ‘Arab pada masa jahiliah mereka, mereka meminta perlindungan kepada pemimpin jin di tempat mereka beristirahati agar mereka tidak diganggu oleh mereka. Kondisi ini sama dengan seseorang dari mereka jika memasuki kota musuh mereka di bawah jaminan perlindungan orang besar yang berpengaruh di kota tersebut.”14

Menurut Muqatil, yang pertama kali meminta perlindungan kepada jin adalah sebuah kaum dari Yaman, lalu Bani Hunaifah, kemudian menyebar ke seluruh kalangan Arab. Ketika Islam datang mereka memohon perlindungan kepada Allah SWT dan meninggalkan mereka (bangsa jin).

Allah SWT berfirman:

فَزَادُوهُمۡ رَهَقٗا  ٦

 

Lalu para jin itu menjadikan manusia bertambah sesat.

 

Huruf al-fâ‘ merupakan harf al-‘athf, kata hubung, sehingga menghubungkan kalimat sesudahnya dengan kalimat sebelumnya, yaitu: « كَانَ رِجَالٌ » (ada sejumlah laki-laki).15

Secara bahasa, kata « الرَّهَقُ » berarti « غِشْيَانُ الشَّيءِ » (tertutupnya sesuatu). Dikatakan: « رهِقَه ما يكرَه » (dia tertutupi oleh sesuatu yang tidak disukai). Maknanya:  « غشيه ذلك » (hal itu menutupinya).  Ini seperti dalam firman Allah SWT:

وَلَا يَرۡهَقُ وُجُوهَهُمۡ قَتَرٞ وَلَا ذِلَّةٌۚ ٢٦

Wajah-wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula diliputi) kehinaan (QS Yunus [10]: 26).16

 

Kata tersebut juga bisa berarti « الْكَذِبُ » (kepalsuan, kedustaan).17 Makna lainnya: « جَهْلٌ في الإِنْسَانِ وخِفَّةُ في عَقْلِهِ » (kebodohan pada manusia dan lemah dalam akalnya).18 Juga bermakna « الظُّلْمُ » (kezaliman). Ini seperti dalam firman Allah SWT:

فَمَن يُؤۡمِنۢ بِرَبِّهِۦ فَلَا يَخَافُ بَخۡسٗا وَلَا رَهَقٗا  ١٣

Siapa saja yang mengimani Tuhannya tidak (perlu) takut akan pengurangan (pahala amalnya) dan tidak (takut pula) akan kesulitan (akibat penambahan dosa) (QS al-Jin [72]: 13).19

 

Jika diperhatikan, semua makna tersebut masih ada kaitan dengan makna asal kata ar-rahaqa, yakni ghasyiya (menutup). Kedustaan menutupi fakta, kebodohan menutupi akal, kezaliman juga berarti kegelapan.

Dalam konteks ayat ini, terdapat beberapa penafsiran kata ar-rahaqa. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah bermakna « خطيئة وإثما » (kesalahan dan dosa).20 Said bin Jubair menafsirkan nyakata tersebut sebagai « كُفْرًا » (kekufuran). Sebabnya, bukan rahasia lagi bahwa mencari perlindungan kepada jin tanpa mencari perlindungan kepada Allah SWT adalah kekufuran dan kemusyrikan.21 Mujahid berkata, “Menambah kekufuran dan kelaliman.”22

Ibrahim menafsirkan kata itu dengan « جَرَاءَة » (kelancangan).23

Menurut Ibnu Zaid, berarti « خَوْفًا » (ketakutan).24

Terdapat perbedaan pendapat tentang dhamîr al-fâ’il (kata ganti pelaku) dan dhamîr al-maf’ûl (kata ganti objek) pada firman Allah SWT: « فَزَادُوهُمْ » (maka mereka menambah mereka).

Ada yang mengatakan, dhamîr al-fâ’il kembali pada  « رِجَالٍ مِّنَ الجِنِّ » (laki-laki dari kalangan jin), sedangkan dhamîr al-maf’ûl kembali kepada « رِجَالٌ مِّنَ الْاِنْسِ » (para laki-laki dari manusia). Ayat ini bermakna, para jin itu menambah dosa dan kesalahan kepada manusia. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Qatadah. Mereka berkata tentang ayat ini, “Jin itu telah menambahkan rahaq[an], yakni kesalahan dan dosa, kepada manusia.”25

Ini juga merupakan pendapat al-Nakha’i dan Ubaid bin Umair.26

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh para mufassir lain. Ibnu Katsir juga berkata, “Ketika jin melihat bahwa manusia selalu meminta perlindungan kepada mereka lantaran takut kepada mereka, maka jin tersebut membuat manusia lebih takut, lebih ngeri, dan lebih kecut hatinya sehingga manusia itu tetap takut kepada mereka dan lebih banyak meminta perlindungan kepada mereka.”27

Muhammad al-Ami al-Harari berkata, “Para jin itu menambah manusia yang berlindung kepada mereka kebengkokan, dengan menyesatkan mereka hingga mereka meminta perlindungan kepada para jin. Ketika manusia meminta perlindungan kepada jin, mereka mengira hal itu dari jin, sehingga jin menambah rasa takut untuk takut kepada setan, menerima bisikannya.”28

Ringkasnya, ketika manusia meminta perlindungan kepada jin karena takut kepada mereka dan berlindung kepada Allah SWT, maka jin menghinakan mereka, dan membuat mereka semakin zalim.29

Pendapat lainnya justru kebalikannya.  Dhamîr al-fâ’il kembali kepada kembali kepada rijâl min al-ins (laki-laki dari kalangan manusia), sedangkan dhamîr al-maf’ûl adalah jin. Dengan demikian maknanya: manusia menambah kesewenang-wenangan bangsa jin karena permintaan perlindungan manusia kepada mereka. Ini merupakan pendapat lainnya dari Mujahid.30

Ini juga merupakan pendapat Abu al-Aliyah, Qatadah, al-Rabi‘ bin Anas dan Ibnu Zaid. Mereka mengatakan bahwa manusia yang meminta perlindungan kepada bangsa jin itu menambah para jin yang dimintai perlindungan berupa rahaq[an] (dosa dan kesalahan), karena jin yang dimintai perlindungan berkata, “Kami menguasai jin dan manusia.” 31

Ibnu Jarir ath-Thabari juga memilih pendapat ini. Menurut Ath-Thabari, pendapat yang lebih tepat adalah bahwa manusia menambah dosa bagi jin dengan perbuatan mereka. Hal itu terjadi karena mereka meghalalkan apa yang telah Allah haramkan.32 Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Baghawi, Abu Hayyan al-Andalusi, al-Khazin, dan lain-lain.33

Abdurrahman menyebut dua kemungkinan penafsiran tersebut. Kemungkinan pertama, manusia semakin membuat jin ar-rahaq, yakni melampaui batas dan takabur ketika para jin itu melihat manusia menyembah dan meminta perlindungan kepada mereka. Kemungkinan kedua, jin semakin menambah takut manusia ketika melihat manusia meminta perlindungan kepada mereka agar mendorong mereka untuk terus berlindung kepada jin dan berpegang teguh di atas cara itu. Itulah sebabnya, dulu bila ada seseorang melintasi lembah yang menakutkan, ia berkata: “Aku belindung pada penguasa lembah ini dari oknum-oknum bodoh dari kaumnya.”34

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Bersambung]. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10 (Damaskus: Dar al-Yamamah, 1995), 237

2        Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 2 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 865

3        al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 388; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10 (Damaskus: Dar al-Yamamah, 1995), 237

4        Lihat Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29 (Tunisia: al-Dar al-Tunisyiyyah, 1984), 225

5        Lihat Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 225

6        al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Beirut: Dar al-Qalam, 1992), 594

7        Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 225. Lihat juga al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 31 (Beirut: Dar Thauq al-Najah, 2001), 296

8        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 668

9        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 668

10      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 654

11      al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 31, 296

12      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 654-655

13      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 654-655

14      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar Thayyibah, 1999), 239

15      Abu Bilal, al-Mujtabâ min Musykil I’râb al-Qur‘ân, vol. 4 (Madinah Munawwarah: Majma‘ Malik Fahd, 1426 H), 1375; Mahmud Shafi, al-Jadwal f I’râb al-Qur‘ân, vol. 29 (Beirut: Dar al-Rasyid, 1998), 112

16      al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Aarbiy, 2001), 259. Lihat juga Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 10 (Beirut: Dar Shadir, tt), 128; Ibnu Faris, Maqâyîs al-Lughah, 2 (tt: Ittihad al-Kitab al-‘Arab, 2002), 373; Zainuddin al-Razi, Mukhtâr al-Shihah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 130

17      Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 10, 128

18      al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, vol. 5, 259; Ibnu al-Jauzi, Gharîb al-Hadîts, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), 424

19      al-Zabidi, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qamûs, vol. 25 (tt: Dar al-Hidayah, tt), 380

20      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 10. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 239; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 656

21      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 10. Lihat juga al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 366

22      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar Thayyibah, 1999), 239

23      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 239

24      al-Tsa’labi, al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur`ân, vol. 10 (Beirut: Dar Ihyâ` al-Turats al-‘Arabiyy, 2002), 51

25      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 10

26      Syihabuddin al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 95

27      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 239

28      al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 31, 297

29      al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 31, 297

30      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 10

31      al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 366

32      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 656

33      al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5 (Beirut: Dar Ihyâ‘ al-Turats al-‘Arabiyy, 1420 H),  160; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 295; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 349

34      al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 890

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 + 1 =

Back to top button