Kebahagiaan
Bagi orang berpuasa ada dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan ketika berjumpa Tuhannya bahagia karena puasanya (HR al-Bukhari dan Muslim).
++++
Banyak hal yang bisa membuat orang senang atau bahagia. Senang anak dapat baju atau mainan baru. Senang orang dapat untung besar dari bisnisnya, punya rumah yang diimpikan, kendaraan nyaman, perhiasan mewah, barang elektronik canggih, ternak melimpah, sawah – ladang luas, atau dapatkan gadis atau jejaka yang ia cintai menjadi pasangan hidupnya, lalu dari sana lahir anak cucu yang lucu-lucu. Orang sering sebut semua ini sebagai kebahagiaan material. Ini karena yang membuat orang senang atau bahagia bersifat material atau fisikal.
Ada pula yang disebut dengan kebahagiaan non-material. Orang punya kedudukan terhormat di tengah masyarakat, mendapat pujian atas berbagai capaian prestasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi atau di bidang lain, yang dibuktikan dari sekian karya ilmiah atau buku yang ia tulis. Inilah kebahagiaan intelektual.
Hidup dalam keluarga yang sakinah, meski dalam kesahajaan, juga adalah kebahagiaan. Di situ suami-istri dan anak-anaknya bergaul dengan akhlaqul-karimah, saling menghormati, saling menyayangi. Sebutlah dengan istilah kebahagiaan moral, yang timbul dari relasi antar sesama dengan akhlaq yang baik. Dalam lingkungan kerja atau lingkungan tempat tinggal, kebahagiaan semacam ini juga bisa didapat.
Sebaliknya, tak sedikit rumah tangga bubar atau orang pindah kerja, bukan karena gaji kecil atau kekurangan uang, tetapi karena tidak adanya ketenangan di tempat itu akibat relasi di antara penghuni rumah atau antarkaryawan yang sangat buruk.
Termasuk dalam kebahagiaan non-material adalah apa yang disebut dalam hadis shahih di atas. Makan, apalagi makan enak dalam keadaan lapar, pastilah membuat siapa saja senang. Namun, ketika dalam hadis itu disebut satu dari dua kebahagiaan orang berpuasa adalah saat berbuka, pasti bukan sekadar karena saat berbuka makan enak dalam keadaan lapar. Tak terhitung banyaknya kita makan dalam keadaan lapar, tetapi kebahagiaan saat berbuka lebih dari pada itu. Inilah yang disebut kebahagiaan spiritual. Nikmat dirasakan ketika seorang Muslim ibadah. Nikmatnya shalat apalagi shalat malam, zikir/wirid, membaca al-Quran, umrah – haji, termasuk nikmat saat berbuka puasa.
Di luar itu, ada satu lagi kebahagiaan yang lain dari pada yang lain. Sebutlah ini dengan istilah kebahagiaan ideologis atau kebahagiaan imani. Dalam Shifat ash-Shafwah yang ditulis Ibnul Jauzi dikisahkan pengalaman Abu Qudamah asy-Syami, seorang shalih dari kalangan tabiin, yang hatinya selalu dipenuhi kecintaan pada jihaad fii sabiilillaah.
Saat berjihad di Kota Raqh (sebuah kota di tepian sungai Eufrat, Irak), ia berjumpa dengan seorang perempuan. Wajahnya ditutupi dengan gaunnya. Rupanya ia adalah seorang perempuan yang sangat semangat mendukung jihad. Namun, karena tak ada lagi sisa harta yang bisa diberikan untuk jihad, ia menyerahkan kepada Abu Qudamah dua buah kuncir dari rambut kesayangannya untuk dijadikan tali kekang kuda. Bukan hanya itu, perempuan ini juga menyerahkan anak semata wayangnya yang sudah beranjak dewasa untuk menjadi bagian dari pasukan Islam.
Ringkas cerita, keesokan harinya, saat tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang datang seorang penunggang kuda. Rupanya inilah anak lelaki dari perempuan itu. Meski masih belia, anak muda ini tampak sangat cekatan. Ketika pasukan bergerak, dialah yang tercepat. Ketika singgah untuk beristirahat, dia pulalah yang paling sibuk mengurus kebutuhan pasukan, sedangkan lisannya tak pernah berhenti dari dzikrulLaah.
Esok hari pecah perang. Pasukan Romawi menyerang pasukan Islam. Anak muda itu, bersama pasukan lain, memberikan perlawanan gigih, dengan gagah berani. Banyak musuh terbunuh di tangannya. Peperangan berlangsung cukup lama. Jatuh korban dari dua pihak. Pertempuran berakhir dengan kemenangan pasukan Islam. Anak muda itu ditemukan dalam kondisi terluka parah. Darah mengucur dari tubuhnya. Sebelum akhirnya syahid, ia meminta Abu Qudamah agar membawakan baju yang berlumuran darahnya itu kepada ibunya.
Namun, saat dijumpai Abu Qudamah yang hendak mengabarkan keadaan anaknya, ibu dari anak muda itu malah bertanya lebih dulu, “Wahai Abu Qudamah, engkau datang untuk berbela sungkawa atau menyampaikan kabar gembira?” Abu Qudamah menjawab, “Apa beda antara kabar gembira dan bela sungkawa?” Perempuan itu tegas menjawab, “Jika anakku pulang bersama kalian dalam keadaan selamat berarti engkau sedang berbela sungkawa. Jika anakku terbunuh sebagai syahid fi sabilillah berarti engkau datang memberi kabar gembira.”
++++
Dibandingkan dengan kebahagiaan material, kebahagiaan non-material tentu saja lebih tinggi nilainya. Lihatlah, untuk meraih kebahagiaan non-material ini, acap orang tak ragu mengorbankan sebagian dari apa yang membuat dirinya bahagia secara material. Misalnya, berpisah jauh dari keluarga untuk menuntut ilmu, menghabiskan waktu akhir pekannya untuk kegiatan dakwah atau kajian dan lain sebagainya. Membayar mahal untuk naik haji atau umrah. Meninggalkan makanan lezat dan sahwat seksual untuk memenuhi perintah puasa. Bangun tengah malam dari ranjang empuk dengan selimut tebal untuk shalat malam. Meninggalkan tempat kerja yang meski telah memberi dia kedudukan dan gaji tinggi karena tak memberi dirinya ketenangan jiwa. Bahkan juga ada yang mengorban diri, keluarga, harta dan benda guna meraih kebahagiaan yang lebih tinggi. Itu pula yang ditunjukkan oleh perempuan hebat dalam kisah di atas. Bagi ibu itu, kabar gembira bukanlah ketika anaknya kembali dalam keadaan hidup, melainkan bila syahid dalam jihad fi sabilillah. Luar biasa.
Inilah yang oleh para ulama disebut al-mahabbatu asy-syar’iy (kecintaan sesuai syari’at). Itulah cinta yang telah dibingkai oleh keimanan dan syariat Allah. Dengan itu kecintaan terhadap segala yang bersifat material tidak hanya atas dasar dorongan thabi’i semata, tetapi telah terbimbing oleh nilai-nilai, aturan-aturan, dan ketentuan syariat Allah. Dengan kata lain, itulah kecintaan yang timbul berdasarkan iman dan ketaatan.
Melalui al-mahabbatu as-syar’i seorang Muslim akan bisa merasakan manisnya iman, yang akan membawa dirinya pada kebahagiaan imani atau kebahagiaan ideologis, sebagaimana disebut oleh Baginda Rasulullah saw. dalam hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim. Katanya, “Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya; (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintai dia melainkan karena Allah; (3) Ia membenci untuk kembali pada kekafiran –setelah Allah menyelamatkan dia darinya– sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.”
Kecintaan syar’i akan membawa seorang Muslim terhindar dari sekadar kecintaan yang bersifat naluri (al-mahabbatu at-thaabi’i). Memang ada secara naluriah pada diri tiap manusia hubbut tamalluk (senang untuk memiliki). Ingin memiliki harta, pasangan (suami-istri), anak keturunan, rumah, kendaraan, perhiasan, sawah ladang, hewan ternak dan sebagainya.
Jika tidak dikendalikan, hasrat memiliki tak pernah berujung. Di sini pangkal ketamakan atau kerakusan (greedy) yang menjadi kini watak dasar kapitalis, persis seperti yang dikatakan Rasulullah dalam hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim, “Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.”
Bagaimana realisasi mahabatulLaah ditunjukkan dengan sangat dramatis oleh Khalilullah Ibrahim as. dan keluarganya. Saat itu ia meninggalkan istri dan anaknya di lembah yang tak berpenghuni dan saat diperintahkan menyembelih anaknya, Ismail. Nabi Ibrahim sangat cinta kepada anaknya, tetapi ia lebih cinta kepada Allah yang telah memberi dia istri dan anaknya, Ismail. Ketika semua perintah Allah dilaksanakan, ia merasakan kebahagiaan imani. Inilah kebahagiaan ideologis, sebuah kebahagiaan yang hakiki.
Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah (TQS al-Baqarah [2]: 165). [H.M. Ismail Yusanto]