Tafsir

Larangan Meminta Perlindungan Jin(2)

(Tafsir QS al-Jin [72]: 6-7)

وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٞ مِّنَ ٱلۡإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٖ مِّنَ ٱلۡجِنِّ فَزَادُوهُمۡ رَهَقٗا  ٦ وَأَنَّهُمۡ ظَنُّواْ كَمَا ظَنَنتُمۡ أَن لَّن يَبۡعَثَ ٱللَّهُ أَحَدٗا  ٧

Sungguh ada beberapa orang laki-laki dari (kalangan) manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin sehingga para jin itu menjadikan manusia bertambah sesat. Sungguh para jin itu mengira sebagaimana kalian (kaum musyrik Makkah) mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkan kembali siapa pun (pada Hari Kiamat). (QS al-Jin [72]: 6-7).

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

وَأَنَّهُمۡ ظَنُّواْ كَمَا ظَنَنتُمۡ أَن لَّن يَبۡعَثَ ٱللَّهُ أَحَدٗا  ٧

Sungguh mereka (jin) mengira sebagaimana kalian (kaum musyrik Makkah) mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkan kembali siapa pun (pada hari Kiamat).

 

Ayat ini masih melanjutkan ayat sebelumnya. Ini ditandai dengan huruf al-wâwu yang merupakan ‘athf yang menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya.

Terdapat perbedaan pendapat tentang perkataan ini. Ada yang berpendapat ini adalah perkataan jin yang Allah kabarkan. Jika ini perkataan jin, itu berarti perkataan antara sesama jin. Diperkirakan maknanya: “Sungguh manusia menyangka, sebagaimana kalian menyangka, wahai para jin.” Ada pula yang berpendapat ini  merupakan wahyu sehingga diperkirakan maknanya: “Sungguh para jin menyangka sebagaimana kalian menyangka, wahai orang-orang kafir Quraisy.”1

Fakhruddin ar-Razi lebih memilih bahwa itu merupakan perkataan jin. Alasannya, kalimat sebelum dan sesudahnya merupakan perkataan jin. Disisipkan perkataan pihak lainnya di antara perkataan mereka itu tampak kurang cocok.2

Ibnu Jarir ath-Thabari juga menyebut bahwa ini perkataan sekelompok jin yang Allah kabarkan. Hanya saja, maknanya tidak seperti yang dikemukakan Fakhruddin ar-Razi. Menurut ath-Thabari, makna ayat ini adalah: “Sesungguhnya laki-laki dari kelompok jin menyangka sebagaimana persangkaan laki-laki dari manusia bahwa Allah tidak akan mengutus seorang rasul pun kepada makhluk-Nya untuk mengajak mereka kepada mentauhid-Nya.” Menurut ath-Thabari, ini juga merupakan pendapat al-Kalbi.3

Adapun di antara yang berpendapat bahwa ini adalah firman Allah Swt yang disampaikan kepada manusia adalah al-Qurthubi. Menurut al-Qurthubi, makna ayat ini “Sesungguhnya para jin menyangka bahwa Allah SWT tidak akan membangkitkan makhluk sebagaimana persangkaan kalian.”4

Mengenai makna « الْبَعْثُ » dalam ayat ini juga mengandung dua kemungkinan. Kata tersebut bisa berarti « بَعْثَ اْلأَمْوَاتِ لِلْحَشْرِ » (pengutusan rasul).5 Makna ini seperti dalam firman Allah SWT:

هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّنَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ ٢

Dialah Yang mengutus seorang rasul (Nabi Muhammad) kepada kaum yang buta huruf dari (kalangan) mereka sendiri (QS al-Jumu’ah [62]: 2).

 

Bisa juga artinya « بَعْثَ اْلأَمْوَاتِ لِلْحَشْرِ » (kebang-kitan orang-orang yang sudah mati untuk dikumpulkan).6 Makna ini seperti dalam firman Allah SWT:

وَأَنَّ ٱللَّهَ يَبۡعَثُ مَن فِي ٱلۡقُبُورِ  ٧

Sungguh Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur (QS al-Hajj [22]: 7).

 

Dalam ayat ini digunakan harf nafiyy al-ta‘bîd, yakni « لَنْ » (tidak akan). Ini menunjukkan bahwa mereka tidak ragu terhadap kemustahilan al-ba’ts (pengutusan rasul atau kebangkitan orang mati).7

Dalam ayat ini, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata tersebut dalam ayat ini. Ada yang menafsirkan mengutus sebagaimana penjelasan Ibnu Jarir di atas. Karena itu menurut Ibnu Jarir, ayat ini bermakna: “Mereka menyangka Allah SWT tidak mengutus seorang pun menjadi rasul.”8

Ada pula yang memaknai kata tersebut sebagai membangkitkan atau menghidupkan setelah mati. Dengan demikian maknanya: mereka mengira Allah SWT tidak membangkitkan atau menghidupkan seorang pun setelah kematiannya. Ats-Tsa’labi berkata, “Wahai orang-orang kafir bahwa Allah SWT tidak akan membangkitkan seorang pun setelah kematiannya.”9

Muhammad Ali ash-Shabuni berkata, “Sesungguhnya orang-orang kafir menyangka sebagaimana kalian menyangka, wahai para jin, bahwa Allah SWT tidak akan menghidupkan seorang pun setelah kematian. Sungguh mereka mengingkari kebangkitan, sebagaimana kalian mengingkari hal itu.”10

Pendapat senada juga dikemukakan al-Baghawi, dan lain-lain.11

 

Beberapa Pelajaran Penting

Dalam ayat-ayat ini terdapat banyak pelajaran penting. Di antaranya: Pertama, adanya jin yang kafir. Hal ini dengan jelas diberitakan dalam ayat ini, bahwa mereka menduga atau menyangka Allah SWT tidak mengutus seorang pun rasul dan membangkitkan manusia yang sudah mati. Tentang hal ini, as-Sam’ani berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa di kalangan bangsa jin juga terdapat kaum yang tidak beriman terhadap kebangkitan sebagaimana di kalangan manusia.”12

Menurut Fakhruddin ar-Razi, ayat ini menunjukkan bahwa jin, sebagaimana manusia ada yang musyrik, Yahudi dan Nasrani. Ada juga yang mengingkari Hari Kebangkitan.13

Dalam ayat sebelumnya juga diberitakan, sekelompok jin yang beriman setelah mendengarkan al-Quran itu menyatakan tidak akan lagi menyekutukan Allah SWT. Itu artinya, sebelum beriman terhadap al-Quran, mereka telah menyekutukan-Nya. Al-Quranlah yang menuntun dan menunjukki mereka pada jalan yang lurus sehingga mereka melepaskan diri kekufuran.

Dalam ayat berikutnya juga disebutkan bahwa kalangan jin juga terbagi-bagi dalam keyakinan (Lihat: QS al-Jin [72]: 11; QS al-Jin [72]: 14). Semua ayat itu menujukkan adanya jin yang kafir, sebagamaina juga ada di antara mereka yang mukmin.

Kedua, larangan meminta perlindungan kepada jin. Sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir, pengertian « الْعِيَاذ » adalah memohon perlindungan/sandaran dan penjagaan dari kejahatan.14 Larangan tersebut disampaikan ayat ini dalam bentuk kalimat berita, yakni celaan keras bagi orang-orang yang: « فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا » melakukan itu:   (mereka menjadikan mereka mereka bertambah sesat).

Dalam kitab Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan, “Haram al-isti’âdzah (meminta perlindungan) kepada jin dan setan. Sebabnya, Allah SWT telah mengabarkan bahwa orang yang meminta perlindungan kepada mereka, mereka akan menambah kesesatan.” Kemudian disebutkan ayat ini sebagai dalilnya.15

Di bagian lainnya dalam kitab yang sama juga disebutkan, “Adapun al-isti’ânah (minta pertolongan) kepada selain Allah SWT bisa dilakukan kepada manusia atau kepada jin. Jika al-isti’ânah itu dilakukan kepada jin, maka terlarang, kadang menjadi syirik dan kufur. Dalilnya QS al-Jin [62]: 6).”16

Menurut Ali bin Muhamad al-Mala al-Harari al-Qari, di dalamnya mengisyaratkan hakikat pengesaan dan tauhid. Pasalnya, sesungguhnya selain Allah Swt tidak memiliki kekuasaan terhadap dirinya dalam hal manfaat dan bahaya, kematian dan kehidupan serta kebangkitan.17

Bahkan ketika menjelaskan ayat ini, al-Qurthubi berkata, “Bukan rahasia lagi bahwa meminta perlindungan kepada jin tanpa meminta perlindungan kepad Allah SWT adalah kufur dan syirik.”

Sebagaimana telah diuraikan di muka, meminta perlindungan kepada jin itu dilakukan oleh orang-orang kafir pada masa Jahiliah. Ketika mereka singgah di suatu lembah atau tempat, mereka meminta perlindungan kepada jin agar tidak mendapat gangguan. Islam lalu  datang melarang dan melenyapkan praktik tersebut serta memerintahkan manusia untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT, termasuk dari kejahatan dan bisikan setan. Allah SWT berfirman:

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٞ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ  ٢٠٠

Jika setan benar-benar menggoda kamu dengan halus, berlindunglah kamu kepada Allah. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS al-A’raf [7]: 200).

 

Selain ayat tersebut, perintah yang sama juga disebutkan dalam beberapa ayat lain dan Hadis Nabi saw. Rasulullah saw. juga banyak melakukan hal ini. Khaulah binti Hakim as-Sulaimiyah ra. Berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ نَزَلَ مَنْزِلا ثُم قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقْ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ

Siapa saja yang singgah di suatu tempat, kemudian membaca doa: “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhluk,” maka, tidak akan membahayakan dirinya sesuatu apa pun hingga ia meninggalkan tempat tersebut (HR Muslim).

 

Dalam hadis tersebut Rasulullah saw. berlindung kepada Allah Swt dari setan dalam berbagai keadaan. Selain saat singgah di suatu tempat, Rasulullah saw. juga meminta perlindungan dalam berbagai keadaan. Seperti ketika memasuki toilet, sebagaimana yang diriwayatkan Anas ra. Beliau berkata bahwa Rasulullah saw. jika emasuki kamar kecil, beliau berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِىّ أَعُوذ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan (HR Bukhari dan Muslim).

 

Yang dimaksud dengan « الخبيثة » (yang buruk) di sini adalah setan.18    Sulaiman bin Surad berkata: Pernah ada dua orang laki-laki yang saling mencaci di hadapan Nabi saw., sementara kami sedang duduk di samping beliau. Salah satunya mencaci kawannya dalam keadaan marah, wajahnya merah. Lalu  Nabi saw. bersabda:

إِنِّيْ لَأَعْلَمُ كَلِمَةً، لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، فَقَالُوا لِلرَّجُلِ: أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: إِنِّيْ لَسْتُ بِمَجْنُوْنِ

Sungguh aku benar-benar mengetahui suatu kalimat, seandainya dia mengucapkan kalimat tersebut, niscaya akan lenyaplah dari dirinya emosi yang membakar dirinya, yaitu: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.”  Ketika disampaikan kepada lelaki itu apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw. menjawab, “Saya bukan orang gila.” (HR al-Bukhari).

 

Demikianlah. Ayat-ayat ini telah menerangkan di antara perbuatan keliru yang dilakukan manusia pada masa jahiliah, yakni meminta perlindungan kepada jin. Pangkal penyebabnya adalah menganggap bahwa jin memiliki kekuasaan untuk mendatangkan manfaat dan mudharat kepada manusia. Pada saat yang sama mereka tidak memohon perlindungan kepada Allah, Tuhan alam semesta alam. Tindakan mereka ini tidak hanya sesat, namun membuat mereka semakin tersesat.

 

WalLâh a’lam bi ash-shawâb [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.].

 

Catatan Kaki:

1        Lihat al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 668

2        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 668

3        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 657

4        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 11

5        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 226

6        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 226

7        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 226

8        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 657

9        al-Tsa’labi, al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur`ân, vol. 10, 51

10      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 435

11      al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5, 160

12      al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 6 (Riyadh: Dar al-Wathan, 1997), 66

13      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 668

14      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 3, 533

15      al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, vol. 4 (Kuawait: Dar al-Salasil, 1427 H), 15

16      al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, vol. 4, 118

17      Ali bin MUhamad al-Mala al-Harari al-Qari, Murâqat al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 1682

18      Syamsuddin al-Kirmani, al-Kawâkibu al-Darâriy fî Syarh Shahîh al-Bukhâri, vol. 2 (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabiy, 1981), 184

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen + 13 =

Back to top button