Penentang Al-Quran dan Hukumannya [4]
سَأُصۡلِيهِ سَقَرَ ٢٦ وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا سَقَرُ ٢٧ لَا تُبۡقِي وَلَا تَذَرُ ٢٨ لَوَّاحَةٞ لِّلۡبَشَرِ ٢٩ عَلَيۡهَا تِسۡعَةَ عَشَرَ ٣٠
“Kelak, Aku akan memasukkan dia ke dalam Neraka Saqar. Tahukah kamu, apa Neraka Saqar itu? Neraka Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. Yang menghanguskan kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).” (QS al-Muddatstsir [74]: 26-30).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Sauslihi saqar (Kelak, Aku akan memasukkan dia ke dalam Neraka Saqar). Huruf as-sîn pada kata saushlîhi bermakna li al-istiqbâl (untuk menunjukkan masa depan).1 Menunjukkan peristiwa yang diberitakan akan terjadi pada masa yang akan datang, yakni pada Hari Kiamat.
Kata ushlîhi merupakan al-fi’l al-mudhâri’ dari kata ashlâ (memasukkan). Kalimat ashlâhâ bermakna adkhalahu fîhâ (memasukkannya ke dalam neraka). Ini seperti dalam firman Allah SWT:
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَِٔايَٰتِنَا سَوۡفَ نُصۡلِيهِمۡ نَارٗا ٥٦
Sungguh, orang-orang mengingkari ayat-ayat Kami kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka (QS al-Nisa [4]: 56).2
Dhamîr al-maf’ûl (orang yang dimasukkan) kembali kepada orang yang diberitakan dalam ayat-ayat sebelumnya, yakni orang yang menentang al-Quran dan mengatakan bahwa al-Quran adalah sihir yang dipelajari serta perkataan manusia. Dialah Walid bin al-Mughirah sebagaimana telah dibahas.
Kata Saqar berkedudukan sebagai maf’ûl (objek) yang kedua. Saqar merupakan salah satu nama Neraka Jahanam.3 Menurut Ibnu Abbas ra., Saqar adalah neraka tingkat keenam dari Neraka Jahanam.4 Demikian pula menurut Fakhruddin ar-Razi, Ibnu ‘Athiyah, dan lain-lain.5
Dengan demikian, ayat ini memberitakan bahwa Allah SWT akan memasukkan Walid ke dalam Neraka Saqar pada Hari Kiamat. Menurut banyak mufassir, makna ayat ini adalah saudkhiluhu fî Saqar (Aku akan memasukkan dia ke dalam Neraka Saqar).6
Al-Harari juga berkata, “(Maknanya) Aku akan memasukkan penentang itu pada Hari Kiamat ke dalam Neraka Saqar dan mengepung dia di dalam neraka dari semua arah.”7
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa ma adraka ma saqar (Tahukah kamu apa Neraka Saqar itu)? Kata mâ yang pertama adalah ism istifhâm (kata tanya) yang bermakna ayy syay‘i[n] (apa?). Demikian pula dengan kata mâ yang kedua, juga ism istifhâm.8 Maknanya: Ayy syayi[n[ adrâka yâ Muhammad (Apa yang membuat kamu mengerti, wahai Muhammad?).9
Dalam konteks ayat ini, istifhâm tersebut berguna untuk mubâlaghah fî washfihâ (melebihkan dalam deskripsinya).10 Atau, li al-tahwîl wa al-tafzhî’ (untuk menunjukkan kedahsyatan dan kegentingan).11 Dengan demikian ayat ini menegaskan betapa dahsyatnya Neraka Saqar. Demikian dahsyatnya hingga tak mungkin diketahui oleh manusia dan tidak dapat dipahami hakikatnya, yakni di luar batas jangkauan akal.12 Ibnu Katsir berkata, “Ini menggambarkan tentang kedahsyatan dan besarnya urusan tersebut.”13
Burhanuddin al-Biqai berkata, “Sesungguhnya pengetahuan tentang hal tersebut di luar jangkaun manusia. Tak mungkin ada seorang pun yang sampai padanya dengan pemberitahuan Allah SWT karena jauh lebih besar dari yang bisa diketahui oleh manusia.”14
Menurut asy-Syaukani, orang-orang Arab biasa mengatakan “wa mâ adrâka mâ kadzâ (apa yang dapat memberitahukan kamu tentang apa itu)” ketika mereka ingin melebihkan masalahnya, membesarkan perkaranya dan menggambarkan kedahsyatan urusannya.15
Kemudian Allah SWT berfirman: La tubqi wa la tadzar (Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan). Ayat ini menggambarkan sebagian tentang dahsyatnya Neraka Saqar. Huruf lâ di awal ayat ini merupakan nâfiyah (menegasikan) kalimat sesudahnya, yakni tubqî. Kata tersebut merupakan al-fi’l al-mudhâri‘dari kata abqâ (meninggalkan, menyisakan). Dalam kalimat: abqâ al-amr, artinya: tarakahu ‘alâ hâlihi (meninggalkan atau membiarkan perkara itu dalam keadaannya).16
Huruf al-wâwu merupakan al-‘athf (kata sambung) yang menyambungkan firman-Nya: lâ tubqî dengan firman-Nya: lâ tadzaru. Kedua kata tersebut merupakan mutarâdifâni (kata sinonim) yang memiliki makna serupa. Oleh karena itu, ada yang menganggap dua kalimat merupakan pengulangan. Fungsinya li al-ta`kîd wa al-mubâlaghah (untuk menguatkan dan melebihkan). Ini seperti perkataanmu: Shadda ‘anni wa a’radha ‘anni (dia berpaling dariku).17Al-Qurthubi berkata, “Makna ayat ini, Neraka Saqar tidak akan meninggalkan tulang, daging dan darah mereka. Semuanya dibakar. Lafal tersebut diulang sebagai ta’kîd (penegasan, penguatan).”18
Sebagian ulama lainnya membedakan dua kata. Hanya saja, menurut Fakhruddin al-Razi, terdapat perbedaan dalam memaknai kedua kata tersebut. Penafsiran pertama: Neraka itu lâ tubqî (tidak menyisakan) darah, daging dan tulang sedikit pun (untuk dibakar). Jika dikembalikan seperti semula, maka lâ tadzaru (tidak meninggalkannya) untuk dibakar kembali dengan lebih dahsyat. Demikian seterusnya. Ini merupakan riwayat dari Atha‘ dan Ibnu Abbas.19
Al-Zamakhsyari berkata, “Lâ tubqî (tidak menyisakan) sesuatu yang dilemparkan kepadanya kecuali menghancurkarnya; dan ketika telah hancur, lâ tadzaruhu (tidak meninggalkannya) hancur hingga dikembaikan lagi.”20
As-Samarqandi juga berkata, “Lâ tubqî (tidak menyisakan) darah kecuali membakarnya; dan lâ tadzaruhum (tidak meninggalkan mereka) ketika mereka dikembaikan di dalamnya sebagai makhluk yang baru.”21
Menurut Ibnu Katsir, neraka itu memakan daging, urat, otot dan kulit mereka. Kemudian diganti lagi dengan yang lainnya. Mereka dalam keadaan tidak mati dan tidak hidup. Demikian pendapat Ibnu Buraidah, Abu Sinan dan lain-lain.22
Wahbah al-Zuhaili berkata, “Neraka itu memakan daging, urat, otot dan kulit mereka. Kemudian diganti lagi dengan yang lainnya. Mereka dalam keadaan tidak mati dan tidak hidup.
Penafsiran kedua, lâ tubqî (tidak meninggalkan) satu orang pun yang berhak mendapatkan azab kecuali mengazabnya. Kemudian lâ tadzaru (tidak menyisakan) satu bagian pun dari tubuh orang yang diazab kecuali ia bakar.23
Penafsiran ketiga, lâ tubqî (tidak membiarkan) sedikit pun bagian tubuh orang-orang yang diazab itu, kemudian lâ tadzaru (tidak menyisakan) kekuatan dan kekerasannya kecuali digunakan menyiksa mereka.24
Masih ada beberapa penjelasam lainnya. Menurut Ibnu ‘Asyur, maf’ûl (objek) dari tubqî dalam ayat ini dihilangkan. Tujuannya memberikan makna umum. Maknanya adalah tidak meninggalkan seorang pun dari mereka atau tidak meninggalkan satu pun bagian dari tubuh mereka. Adapun kalimat la tadzaru di-‘athf-kan pada kalimat la tubqi dengan makna sebagai hâl (menggambarkan keadaan), Artinya, la tatruku (tidak meninggalkan) orang yang dilemparkan ke dalamnya. Artinya, tidak meninggalkannya kecuali mengazabnya. Ini merupakan kinâyah dari mengembalikan kehidupannya setelah kematiannya. Ini sebegaimana firman Allah SWT:
كُلَّمَا نَضِجَتۡ جُلُودُهُم بَدَّلۡنَٰهُمۡ جُلُودًا غَيۡرَهَا لِيَذُوقُواْ ٱلۡعَذَابَۗ ٥٦
Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab (QS al-Nisa [4]: 56).25
Ismail Haqqi al-Istambuli berkata, “Neraka itu lâ tubqî (tidak membiarkan) apa pun yang dilemparkan ke dalamnya kecuali dihancurkan dengan dibakar. Ketika telah hancur, lam tadzarhu (tidak meninggalkannya) hingga dikembalikan menjadi ciptaan yang baru dan menghancurkannya hingga hancur kedua kalinya. Begitu seterusnya sebagaimana diberitakan dalam QS an-Nisa [4]: 56. Bisa juga, lâ tubqî (tidak membiarkan) apa pun, yakni tidak mengasihinya; lâ tada’hu (tidak meninggalkannya) untuk menghancurkannya. Bahkan semua yang dilemparkan di dalamnya binasa.”26
Tentang ayat ini, as-Suddi berkata, “Tidak meninggalkan daging dan tidak menyisakan tulang bagi mereka.” ‘Atha’ berkata, “Tidak membiarkan orang di dalamnya mati dan tidak membiarkannya mati.”27
Penjelasan senada dikemukakan Ibnu Jarir al-Thabari yang berkata, “Tidak membiarkan orang di dalamnya mati dan tidak membiarkannya mati. Akan tetapi, neraka itu membakar penghuninya setiap kali jasad mereka kembali seperti semula.”28
Kemudian Allah SWT berfirman: Lawwahat[un] li al-basyar (Yang menghanguskan kulit manusia). Ini merupakan penjelasan lanjutan tentang Neraka Saqar. Kata lawwâhah merupakan shîghah mubâlaghah. Bisa dari kata lâha-yalûhu yang berarti zhahara (tampak, terlihat). Ini seperti dalam kalimat: lâha al-hilâlu yang berarti bulan sabit itu telah tampak, baik tiba-tiba maupun sedikit demi sedikit.29
Kata tersebut juga bisa berarti menghitamkan atau menghanguskan. Orang-orang Arab berkata: Lahati an-nar asy-syay’a. Maknanya: Ahraqathu wa sawwadthu (Api itu membakar dan melegamkannya).30
Bisa juga dari kata lawwaha-yulawwihu. Maknanya, mengubah menjadi hitam (menghitamkan, menghanguskan). Dalam kalimat: Lawwahati an-naru aw asy-samsu. Artinya: Ghayyarat lawna basyaratihi (Api atau matahari itu mengubah warna kulitnya).31
Kata al-basyar merupakan bentuk jamak dari kata al-basyarah yang berarti zhâhr al-jild (kulit bagian luar).32 Adapun al-adamah merupakan kulit bagian dalam. Kata al-basyar juga digunakan untuk menyebut al-insân (manusia). Hal itu karena yang lebih tampak pada manusia adalah basyar (kulitnya) daripada bulunya. Berbeda dengan hewan yang tampak pada bagian luarnya adalah bulu atau rambutnya.33
Karena adanya kemungkinan makna pada dua kata tersebut, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menafsirkan ayat tersebut. Ada yang mengatakan bahwa kata lawwâhah di sini merupakan bentuk mubâlaghah dari kata lâha-yalûhu yang berarti zhahara (tampak) oleh penglihatan. Makna kata basyar sesuai dengannya adalah manusia. Dengan demikian ayat ini bermakna sesungguhnya neraka itu tampak oleh manusia. 34
Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Hasan dan Ibnu Kisan. Mereka mengatakan bahwa makna ayat ini adalah neraka itu akan tampak oleh manusia dari jarak tempuh lima ratus tahun. Hal itu disebabkan karena kebesaran, kedahsyatan dan kengeriannya. Ini seperti diberitakan dalam QS al-Humazah [102]: 6-7; QS al-Nazi’at [79]: 36).35
Sebagian mufassir lainnya lebih memilih kata lawwâhah bermakna musawwidah (penghangus), yakni, yang mengubah warna kulit menjadi hitam.36
Di antara yang berpendapat demikian adalah Abu Razin yang berkata, “Api neraka itu menghanguskan kulit hingga menjadi hitam, yang hitamnyanya lebih gelap dari kelamnya malam.”37
Penjelasan senada juga dikemukakan Mujahid.38
Demikian pula Zaid bin Aslam yang mengatakan bahwa neraka itu menghanguskan dan membakar kulit.39
Qatadah juga menafsirkannya sebagai harrâqat al-jild (pembakar kulit). Ibnu Abbas berkata, “Pembakar kulit manusia.” 40
Menurut Abu Hayyan al-Andalusi dan Syihabuddin al-Alusi dan Ubnu ‘Adil, ini merupakan pendapat jumhur.41
Kemudian Allah SWT berfirman: ‘Alayha tis’ata ‘asyara (Di atasnya ada sembilan belas [malaikat penjaga]).
Ini masih menjelaskan tentang sifat atau keadaan lainnya tentang Neraka Saqar. Dhamîr al-hâ‘ pada kata ‘alayha kembali pada kata Saqar. Maknanya: di atas Neraka Saqar itu ada sembilan belas malaikat penjaga. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Di atas Neraka Saqar itu ada sembian belas penjaga.” 42
Al-Baghawi dan al-Khazin berkata, “Di atas neraka itu ada sembilan belas malaikat. Mereka adalah penjaganya, yakni Malaikat Malik beserta delapan belas lainnya.”43
Para penjaga itu adalah para malaikat. Ini diberitakan dalam ayat berikutnya: Wa ma ja’alna ashaba an-nari illa mala’ikah (Yang Kami menjadikan penjaga neraka itu hanya dari malaikat). Para malaikat itu berperangai keras dan kasar (Lihat: QS at-Tahrim [66]: 6).
Menurut sebagian ahli tafsir, maksud ayat ini adalah di atas neraka itu ada sembilan belas malaikat, dan mereka adalah penjaganya. Pendapat ini dipilih asy-Syaukani dan lain-lain.44
Ats-Tsa’labah berkata, “Hal ini tidak bisa diingkari. Sebabnya, jika satu malaikat saja dapat mencabut seluruh jiwa makhluk, maka lebih memungkinkan sembilan belas malaikat dapat menyiksa sebagian makhluk.”45
Sebagian lainnya mengatakan sembilan belas jenis para malaikat. Menurut sebagian lainnya, sembilan belas barisan para malaikat. Ada pula yang mengatakan sembilan belas pemimpin; masing-masing pemimpin membawahi sekelompok malaikat.46
Menurut Ibnu Katsir, barisan terdepan adalah Malaikat Zabaniyah. Badannya besar dan sifatnya keras. 47
Itulah azab yang akan ditimpakan kepada penentang al-Quran. Sungguh sangat mengerikan. Semoga kita tidak termasuk di dalamnya.
WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 399
2 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah bi al-Qahirah, al-Mu’jam al-Wasîth (tt: Dar al-Da’wah, tt), 522
3 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 24; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 365; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 517; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiyy 1420 H), 177; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 365; Zainuddin al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 149
4 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiryyah, 1964), 77
5 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 707; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Waj—z fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 395
6 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 392; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 5, 177; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 365; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (adilMadinah: Matabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 465. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 77; Ibnu ‘Adil, al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, vol. 19, 515; Ismail al-Istambuli, Rûh al-Bayán, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 231
7 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân fi Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 30 (Beirut: Dar Thawq al-Najah, 2001), 399
8 Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân, vol. 10 (Damaskus: Dar al-Yamamah, 1995), 279
9 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 433
10 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 77;
11 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 365; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 139
12 Lihat al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân fi Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 30, 399; Ismail al-Istambuli, Rûh al-Bayán, vol. 10, 231
13 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 268
14 al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-Suwar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 59
15 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 393
16 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 1, 232. Lihat juga Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasîth, vol. 1 (Kairo: Dar al-Da’wahm tt), 66
17 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30. 708. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 393
18 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 77;
19 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30. 708. Pendapat ini juga disampaikan oleh al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 229
20 al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 650
21 al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 517
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 268
23 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30. 708
24 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30. 708
25 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29 (Tunisa: ar al-Tunisiyah, 1984), 312
26 Ismail al-Istambuli, Rûh al-Bayán, vol. 10, 231
27 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 77; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 393
28 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 27
29 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3, 2045
30 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 330; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Waj—z fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5, 395; . Lihat juga al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân fi Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 30, 400
31 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3, 2045
32 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 139
33 al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar a-Qalam, 1992), 124
34 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 393
35 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 332, dan kengerian. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 393
36 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 365
37 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 268; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 28
38 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 365
39 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 28; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 268
40 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 268; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 28
41 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 139; Ibnu ‘Adil, al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, vol. 19, 517
42 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 28
43 al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 5, 177; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 364 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330
44 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 393
45 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 393
46 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 393
47 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 268