Ibrah

Jahil

JAHIL. Dari bahasa Arab: ja-hi-la. Maknanya bodoh. Bukan berarti tidak pintar. Atau tidak cerdas. Apalagi idiot. Bodoh di sini bisa jadi karena tak berilmu. Nihil pengetahuan. Atau bisa saja berpengetahuan, tetapi pengetahuannya terkalahkan oleh egonya. Hawa nafsunya. Gengsinya. Kesombongannya. Atau kepentingannya.

Orang seperti Abu Jahal jelas bukan orang idiot. Dia pintar. Cerdas. Karena itulah dia menjadi salah satu pemuka masyarakat Arab. Sama dengan Abu Lahab, Walid bin al-Mughirah, dll. Namun jelas, Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah dan yang semacamnya itu jahil. Mereka bodoh. Walid bin al-Mughirah, misalnya, adalah orang yang cerdas. Dia jelas amat paham bahwa al-Quran adalah wahyu Allah SWT. Bukan karangan Muhammad saw. Namun, dia tetap menolak al-Quran. Karena apa? Karena ego, gengsi, kesombongan dan kepentingan pribadinya.

Begitu pula mengapa masyarakat Arab sebelum Nabi Muhammad saw. diutus disebut masyarakat Arab Jahiliah? Tentu bukan karena orang-orangnya bodoh-bodoh. Tidak. Mereka hanya tidak mau berpikir jauh. Enggan merenung. Lalu menolak ilmu yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Kecuali sebagian orang yang memang hanif, lurus dan ikhlas. Mereka itulah yang akhirnya mau masuk Islam. Contohnya Bilal. Ia berasal dari kalangan jelata dan budak. Kalangan ini biasa diindentikkan dengan kebodohan. Namun, tidak dengan Bilal. Bilal sesungguhnya cerdas. Dia pintar. Bahkan daripada tuannya yang notabene pemuka Arab saat itu. Sebab, Bilal lebih memilih Islam. Daripada menjadi penyembah berhala, seperti tuannya. Penyembah berhala jelas. Mereka hakikatnya bodoh. Bagaimana tidak?! Mereka menyembah sesuatu yang mereka ciptakan sendiri. Yang tak berdaya. Tidak memberikan manfaat. Tidak juga memberikan madarat. Bahkan yang mereka sembah itu tak berdaya sedikit pun meski hanya mengusir lalat atau nyamuk yang menempel di tubuhnya. Betapa bodohnya mereka.

Masyarakat Arab disebut jahiliyah karena mereka lebih memilih kesesatan daripada petunjuk. Lebih memilih hukum manusia warisan nenek moyang ketimbang hukum Allah SWT. Padahal jelas, selain hukum Allah SWT adalah hukum jahiliyah (QS al-Maidah [5]: 50).

Bagaimana dengan hari ini? Ternyata tak jauh beda. Banyak orang cerdas dan pintar, tetapi mereka hakikatnya bodoh. Mereka ini yang lebih memilih ajaran sekular daripada ajaran Islam. Lebih memilih ideologi buatan manusia (Kapitalisme atau Sosialisme) ketimbang ideologi yang berasal dari wahyu Allah SWT (Islam). Lebih memilih hukum warisan penjajah daripada hukum syariah. Lebih memilih sistem demokrasi Barat dan bentuk negara republik sekular yang kufur daripada sistem Khilafah yang diamanahkan oleh Rasulullah saw. dan diwariskan oleh Khulafur Rasyidin. Inilah bentuk kejahilan atau kebodohan yang nyata.

Sayang, ‘penyakit’ ini banyak tidak disadari oleh pengidapnya. Dia merasa sehat-sehat saja. Padahal dia sakit. Bahkan mungkin sakitnya sudah akut. Jika sudah demikian, penyakit kebodohan menjadi amat berbahaya. Pertama: Bisa menjadikan pengidapnya membenci bahkan memusuhi kebenaran yang tidak dia ketahui. Sesuai pepatah, “Al-Mar’u ‘aduww[un] ma jahila (Seseorang sering memusuhi apa saja yang tidak dia ketahui).” (Al-Mawardi, Adab ad-Dunya’  wa ad-Din, 1/27).

Banyak orang membenci Khilafah, misalnya, karena ketidaktahuan. Tak tahu apa itu hakikat Khilafah. Tak tahu Khilafah adalah satu-satunya institusi penerap syariah. Tak tahu bahwa kewajiban menegakkan Khilafah sudah menjadi Ijmak Sahabat. Bahkan Ijmak Ulama Ahlus Sunnah wal jamaah. Tak tahu Khilafah akan membawa ragam kebaikan. Yang tertanam dalam benak mereka: Khilafah memecah-belah. Khilafah adalah ancaman. Khilafah berbahaya. Karena itu Khilafah harus dicegah. Bahkan harus diperangi. Mereka yang bersikap demikian, sebagian karena korban pembodohan pihak lain yang sengaja memanipulasi dan menstigmatisasi Khilafah.

Akhirnya, tak sedikit yang juga membenci para pengusung Khilafah, khususnya Hizbut Tahrir, juga karena kebodohan. Mereka tak tahu tentang hakikat Hizbut Tahrir. Bodoh terhadap ide-ide yang diemban oleh Hizbut Tahrir. Mereka sedikit pun tidak paham kedudukan agung mu’assis (pendiri) Hizbut Tahrir Al-‘Alim al-‘Allamah al-Mujtahid Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, di hadapam para ulama terkemuka yang mukhlis dan jujur.

Kebodohan semacam ini tentu berbahaya. Apalagi jika kebodohan tersebut dibarengi dengan sikap arogan (sombong). Sebabnya, kata Nabi saw., “Al-Kibr bathar al-Haqq wa ghamt an-nas (Sombong itu menutup diri dari kebenaran dan cenderung merendahkan orang lain).” (HR Muslim).

Kedua: Sering menjadikan pengidapnya tak tahu diri. Tak bisa mengukur diri sendiri. Dia menyangka dialah yang pintar. Orang lain bodoh. Padahal dialah yang bodoh. Ilmunya belum ‘nyampe’. Sesuai kata-kata berhikmah yang dituturkan oleh Ibn Mu’taz, “Al-‘Alim ya’rifu  al-jahila li annahu kana jahil[an]. Wa al-jahilu lam ya’rifu al-‘alima li annu lam yakun ‘alim[an] (Orang alim [berilmu] tentu bisa memahami orang bodoh karena ia pernah menjadi bodoh. Orang bodoh tak akan bisa memahami orang alim [berilmu] karena ia belum pernah menjadi orang alim [berilmu]).  (Al-Mawardi, Adab ad-Dunya’ wa ad-Din, 1/27).

Dengan kata lain, sebagaimana juga kata pepatah, “Al-‘Alim lam ya’rifhu illa al-‘alim (Orang alim [berilmu] tak mungkin bisa dipahami kecuali oleh orang yang juga alim [berilmu]).”

Misal, banyak kalangan tak berilmu berani menyalahkan bahkan menyesatkan Al-‘Alim al-‘Allamah al-Mujtahid Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, mu’assis Hizbut Tahrir. Padahal ilmu mereka sendiri belum ada apa-apanya dibandingkan dengan beliau. Berbeda jika yang menilai adalah sama-sama ulama. Contohnya penilaian sekaligus kekaguman Al-’Alim al-Muhaddits Sayyid Mamduh, Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi, Syaikh Abdul Qadim Zallum, dll kepada Syaikh Taqi.

‘Ala kulli hal, memang tak tercela menjadi orang awam. Yang sedikit ilmu. Asal ia selalu menyadari keawaman (kebodohan)-nya. Dengan itu ia mau terus belajar. Terus menggali ilmu. Tetap berburu pengetahuan. Agar ia menjadi orang alim atau berpengetahuan.  Inilah yang oleh Khalil bin Ahmad disebut: Rajul[un] la yadri wa yadri annahu la yadri (Seseorang yang tidak tahu tetapi dia tahu bahwa dirinya tidak tahu) (Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadlihi, 2/48).

Jangan sampai kita menjadi orang awam (bodoh), tetapi sok tahu. Enggan mencari tahu (ilmu) hanya karena diri merasa sudah tahu. Inilah orang yang disebut oleh Khalil bin Ahmad: Rajul[un] la yadri wa la yadri annahu la yadri (Orang yang tidak tahu dan dia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu) (Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadlihi, 2/48).

Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen + 20 =

Check Also
Close
Back to top button