Potret Buruk Gembong Kekufuran (2)
(QS al-Muddatstsir [74]: 14-16).
وَمَهَّدتُّ لَهُۥ تَمۡهِيدٗا ١٤ ثُمَّ يَطۡمَعُ أَنۡ أَزِيدَ ١٥ كَلَّآۖ إِنَّهُۥ كَانَ لِأٓيَٰتِنَا عَنِيدٗا ١٦
Aku memberi dia kelapangan (hidup) seluas-luasnya. Kemudian dia ingin sekali agar Aku menambahnya. Tidak bisa! Sungguh dia telah menentang ayat-ayat Kami (al-Quran). (QS al-Muddatstsir [74]: 14-16).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wa mahhadtu lahu tamhid[an] (Aku memberi dia kelapangan [hidup] seluas-luasnya). Huruf al-wâwu dalam ayat ini merupakan al-‘athf yang menghubungkan dengan kalimat dalam ayat sebelumnya, yakni: wa banîna syuhûd[an] (dan anak-anak yang selalu bersama dirinya). Ayat ini menambahkan daftar tentang kenikmatan lain yang diberikan kepada al-Walid.
Kata at-tamhîd merupakan bentuk mashdar dari kata mahhada (dengan men-tasydid-kan huruf al-hâ‘). Menurut orang Arab, kata tersebut bermakna at-tawthi’ah (mengantarkan, meratakan).1 Kalimat “mahhada al-firasa” berarti basathahu (menghamparkan karpet, kasur). Kalimat “mahhada al-amra berarti sahhalahu wa yassarahu (dia memudahkan dan melempangkannya).2
Ayat ini memberitakan bahwa Allah SWT telah membentangkan kehidupan dunia dan memberikan kemudahan kepada dia (Al-Walid). Menurut Ibnu Jarir, makna ayat ini adalah: “Aku melapangkan bagi dia penghasilan yang seluas-luasnya.”3
Asy-Syaukani juga berkata, “Demikian pula Aku melapangkan bagi dirinya kehidupan, umur dan kepemimpinan di tengah kaum Quraisy. Aku mengokohkan pula dia dengan berbagai jenis harta, perabotan rumah, dan lain-lainnya.”4
Menurut Ibnu Katsir, makna ayat ini adalah: “Aku memberi dia berbagai macam harta benda dan peralatan serta hal-hal lainnya.”5
Muhammad Ali ash-Shabuni juga berkata, “Kami membentangkan dunia di hadapannya dengan seluas-luasnya. Kami memudahkan bagi dia beban-beban hidupnya, menjadi orang terpandang dan pimpinan, sehingga menjadi orang mulia dan orang yang ditaati di tengah kaum Quraisy.”6
Kemudian Allah SWT berfirman: tsumma yathma’u an azida (Kemudian dia ingin sekali agar Aku menambahnya). Huruf tsumma menunjukkan li at-tarâkhî ar-rutabiyy (adanya jarak dari segi urutan). Artinya, yang lebih besar dari itu semua adalah dia sangat menginginkan tambahan dari berbagai kenikmatan tersebut. Ini dapat diketahui dari perkara yang mudah. Hal ini dapat dipahami dari kemustahilan perkara yang diinginkan yang ditegaskan oleh firman-Nya: Kalla (Tidak bisa).7
Menurut Fakhruddin ar-Razi, tsumma tersebut menunjukkan at-ta’ajjub (keheranan), sebagaimana Anda berkata kepada teman Anda: “Aku menempatkan kamu di rumahku. Kuberi makan dan kumuliakan. Kemudian kamu mencaci kami.” (Ini serupa dengan QS al-An’am [6]: 1). Dengan demikian makna tsumma di sini adalah li al-inkâr wa al-ta’ajjub (untuk menunjukkan pengingkaran dan keheranan).8
Maksudnya, meskipun telah diberi kenikmatan dan kemuliaan yang sangat banyak, al-Walid tetap kafir dan menentang Allah SWT. Dia tidak mau mensyukuri berbagai kenikmatan yang seharusnya dia syukuri. Namun anehnya, dia justru masih sangat menginginkan diberikan tambahan lebih banyak. Digambarkan oleh ayat ini: yathma’u an azida (dia ingin sekali agar Aku menambahnya).
Kata ath-thama’ bermakna thalabu asy-syay’i al-azhim (menginginkan sesuatu yang besar).9 Asy-Syaukani berkata, “Maknanya, setelah semuanya dia miliki, ia masih tamak dan rakus untuk mendapatkan tambahan. Kerakusannya dan ketamakannya itu dibarengi dengan kekufurannya terhadap nikmat-nikmat dan kemusyrikannya kepada Allah SWT.”10
Dalam ayat ini tidak disebutkan dengan jelas perkara apa yang dia inginkan untuk ditambah. Menurut sebagian, tambahan yang sangat diinginkan adalah perkara duniawi. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Kemudian dia berangan-angan dan berharap agar Aku menambahkan harta dan anak yang telah aku berikan kepada dia.”11
Penjelasan serupa dikemukakan oleh Abu Hayyan al-Andalusi, ash-Shabuni, dan lain-lain.12
Keinginan kuatnya untuk mendapatkan tambahan menjadi bukti keserakahan dan kecintaannya terhadap dunia.13
Menurut Fakhruddin ar-Razi, ini senada dengan QS Maryam [19]: 77. 14
Menurut sebagian lainnya, tambahan yang dia inginkan adalah perkara akhirat. Menurut Abdurrahman as-Sa’di, dia ingin mendapatkan kenikmatan akhirat sebagaimana telah mendapatkan kenikmatan dunia.”15
Al-$asan berkata: Dia menginginkan untuk masuk surga, seraya berkata, “Jika Mu%ammad benar maka surga tidak diciptakan melainkan untukku.”16
Kemudian Allah SWT berfirman: Kalla (Tidak bisa!). Kata kalla bermakna rad’[un] wa zajr[un] )penolakan dan pencegahan). Maksudnya, hendaknya pendurhaka yang berdosa ini menghentikan keinginannya yang rusak itu.17
Dengan demikian ayat ini menegaskan bahwa Alalh SWT tidak akan memberikan tambahan lagi kepada dirinya.18
Menurut Ibnu ‘Asyur, kata kalla bermakna rad’[un] wa ibthal[un] (mencegah dan membatalkan) ketamakannya untuk menambah kenikmatan dan memutus harapannya. Tujuannya adalah menyampaikan hak ini kepada dia sekaligus menenteramkan Nabi saw. bahwa al-Walid akan diputus keluasan rezekinya agar tidak menjadi fitnah bagi yang lain. 19
Diriwayatkan bahwa sesudah ayat ini turun, harta al-Walid harta dan anak-anaknya terus-menerus berkurang hingga meninggal. Demikian menurut Muqatil.20
Kemudian Allah SWT berfirman: Innahu kana li ayatina ‘anida (Sungguh dia telah menentang ayat-ayat Kami [al-Quran]). Yang dimaksud dengan ayatina (ayat-ayat Kami) adalah al-Quran.21 Makna ‘anid[an] adalah as-sadid al-‘inad (sangat keras kepala), yakni membangkang terhadap kebenaran. Kata ini merupakan bentuk fa’il dari kata ’anada-ya’nidu, ketika naza’a wa jadala al-haqqa al-bayyina (menentang kebenaran yang jelas). 22
Menurut Mujahid, kata ‘anid[un] ini semakna dengan kata anid[un] (penentang) sebagaimana kata jalis[un] dan jalis[un] (orang yang duduk).23
Menurut Abu Shalih, kata ‘anid[an] berarti muba’id[an] (menjauhi). Qatadah mengatakan maknanya adalah jahid[an] (ingkar). Muqatil memaknai kata ini dengan mu’ridh[an] (berpaling). Mujahid berkata, maknanya: mujanib[an] li al-haqq mu’anid[an] lahu mu’raidh[an] ‘anhu (menjauhkan diri dari kebenaran; menolak sekaligus menentang kebenaran).24
Menurut Ahmad Mukhtar, kalimat ‘anad asy-syakhshu berarti khalafa al-haqq wa raddahu wa huwa ‘arif bihi (menentang dan menolak kebenaran, padahal dia mengetahuinya). Ini sebagaimana makna ‘anid[in] dalam QS Ibrahim [14]: 15. 25
Ini senada dengan penjelasan al-Qurthubi dan asy-Syaukani: kata ‘anada-ya’nidu dengan kasrah adalah khalafa wa radda al-haqq wa huwa ya’rifuhu (orang yang menyimpang dan menolak kebenaran padahal dia mengetahui-nya). Itulah ‘anid dan ‘anid (penentang). Kata al-‘anid adalah unta yang menyimpang dari jalan dan melenceng dari tujuan.26
Hal yang sama juga dikemukakan Ibnu Katsir: ‘anid[an] berarti mu’anid[an] (penentang), yakni mengingkari nikmat-nikmat-Nya sesudah mengetahuinya.27
Makna ini sangat tepat jika dikaitkan dengan sikap Walid bin al-Mughirah terhadap al-Quran. Sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas ra., Walid bin al-Mughirah pernah menemui Nabi saw. Kemudian beliau membacakan al-Quran kepada dia seolah al-Quran itu melembutkan hatinya. Kabar ini sampai ke telinga Abu Jahal. Ia pun datang menemui al-Walid seraya berkata, “Paman, sungguh kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu.” Al-Walid bertanya, “Untuk apa?” Dijawab Abu Jahal, “Untuk diberikan kepadamu karena engkau telah datang menemui Muhammad agar kamu menentang ajaran sebelumnya (ajaran nenek moyang).” Walid bin al-Mughirah menanggapi, “Orang-orang Quraisy tahu, kalau aku termasuk yang paling kaya di antara mereka.” Abu Jahal berkata, “Ucapkanlah suatu perkataan yang menunjukkan kalau engkau mengingkari al-Quran atau engkau membencinya.” Kemudian al-Walid berkata, “Apa menurutmu yang harus kukatakan pada mereka?” Lalu dia berkata, “Demi Allah! Tidak ada di tengah-tengah kalian orang yang lebih memahami syair Arab daripada aku. Tidak juga pengetahuan tentang rajaz dan qashidah-nya serta syai-syair jin yang mengungguli diriku. Apa yang diucapkan Muhammad itu tidak ada yang serupa dengan ini semua. Demi Allah! Apa yang ia ucapkan (al-Quran) itu sangat manis. Sungguh di atasnya sangat indah. Bagian atasnya berbuah, sedangkan bagian bawahnya sangat melimpah. Perkataannya begitu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya serta menghantam apa yang ada di bawahnya.”
Abu Jahal berkata, “Kaummu tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mengatakan sesuatu yang buruk tentang al-Quran itu.” Al-Walid berkata, “Biarkan aku berpikir dulu.” Setelah berpikir, al-Walid mengatakan, “Al-Quran ini adalah sihir yang dipelajari. Muhammad mempelajari al-Quran dari orang lain.” (HR al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Riwayat itu menunjukkan dengan jelas bahwa dia menolak dan mengingkari al-Quran bukan karena ketidaktahuan. Dia sesungguhnya mengetahui bahwa al-Quran adalah ayat-ayat Allah SWT. Dengan demikian, ini merupakan pengingkaran yang paling buruk dan jahat.
Ayat ini menjelaskan alasan penolakan tersebut. Seolah ada yang bertanya, “Mengapa dia tidak ditambah?” Lalu dijawab, “Sungguh dia menjadi penentang ayat-ayat Allah Yang memberi nikmat dan mengingkari nikmat-nikmat-Nya. Orang kafir tidak berhak mendapatkan tambahan.”28
Dengan demikian ayat ini menerangkan bahwa keinginannya untuk mendapatkan tambahan kenikmatan itu ditolak karena pengingkaran dan penentangannya terhadap ayat-ayat Allah SWT.
Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni, dia telah menentang kebenaran, mengingkari ayat-ayat Allah, dan mendustakan Rasul-Nya. Lalu bagaimana orang yang celaka lagi menentang itu masih menginginkan tambahan?”29
Beberapa Pelajaran
Dalam ayat-ayat ini terdapat pelajaran yang sangat banyak. Di antaranya: Pertama, banyaknya kenikmatan yang telah Allah SWT berikan kepada manusia. Pangkal kenikmatan adalah penciptaan. Seandainya tidak Allah ciptakan, niscaya manusia tidak akan merasakan berbagai kenikmatan lainnya. Kenikmatan harta, anak-anak, kekuasaan, dan berbagai kenikmatan lainnya hanya akan didapatkan ketika Allah SWT menciptakan manusia sebagai manusia. Dalam ayat ini, Allah SWT pun pertama-tama menyebut kenikmatan ini kepada manusia yang menentang ayat-ayat-Nya dengan firman-Nya: Dzarni wa man khalaktu wahid[an] (Biarkanlah Aku [bertindak] terhadap orang yang telah Aku ciptakan sendiri).
Setelah itu kemudian menyebut kenikmatan-kenikmatan lainnya, yakni harta yang melimpah, anak-anak yang senantiasa menyertai, dan kelapangan hidup. Kenikmatan Allah SWT sangat banyak hingga mustahil dapat dihitung (QS al-Nahl [6]: 18).
Terhadap berbagai kenikmatan itu semestinya manusia bersyukur kepada Tuhan yang menciptakan dirinya (QS al-Mulk [67]: 23).
Demikian juga dengan pemberian rezeki, semestinya manusia bersyukur (QS al-Baqarah [2]: 172).
Kedua, wujud bersyukur sekaligus hukuman bagi orang yang tidak menolak dan menentang al-Quran. Setelah ayat-ayat ini memberitakan tentang seseorang yang diberikan berbagai kenikmatan yang sangat besar dan masih menginginkan tambahan kenikmatan, kemudian ditegaskan bahwa keinginannya tidak akan terpenuhi. Sebaliknya, justru akan dikurangi dan dilenyapkan. Dalam ayat berikutnya diberitakan bahwa dia akan dimasukkan ke dalam neraka Saqar. Inilah yang dialami oleh Walid al-Mughirah.
Apa penyebabnya? Dengan jelas ayat ini menegaskan bahwa orang tersebut menjadi penentang ayat-ayat Allah SWT. Padahal dia mengetahui bahwa ayat-ayat itu berasal dari Allah SWT. Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindakan yang sama (Lihat: QS Qaff [50]: 24).
Dengan demikian, hukuman itu adalah akibat perbuatan mereka sendiri: tidak mau beriman, bersyukur dan menaati perintah dan larangan Allah SWT.
Dari situ juga dapat dipahami bahwa sikap yang dituntut adalah sebaliknya: mau mengimani Allah Yang memberikan kenikmatan kepada dia serta menaati semua perintah dan larangan-Nya. Seandainya itu yang dilakukan, niscaya dia tidak akan dihukum. Sebaliknya, justru akan ditambah dengan kenikmatan yang jauh lebih besar (Lihat: QS Ibrahim [14]: 7).
WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan Kaki:
1 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391
2 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 2132
3 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 20
4 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 226. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391
5 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 265
6 al-Shabuni, Safwat al-Tafâsîr, vol. 3, 451
7 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 305
8 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 704. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 72
9 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391
10 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391
11 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 21
12 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 329; al-Shabuni, Safwat al-Tafâsîr, vol. 3, 451
13 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 329
14 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 705
15 al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman, 896
16 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 329; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391
17 al-Shabuni, Safwat al-Tafâsîr, vol. 3, 451
18 Lihat al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayn, 776
19 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 305
20 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 329
21 al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4, 466
22 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 305
23 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 71
24 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391
25 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 2132
26 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 71; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 391
27 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 8, 265
28 al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 648; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 329. Lihat juga al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 260
29 al-Shabuni, Safwat al-Tafâsîr, vol. 3, 451