Ijmak Sahabat
Al-Ijmâ’ (ijmak) berasal dari kata ajma’a – yujmi’u – ijmâ’[an]. Secara bahasa kata tersebut memiliki dua makna. Pertama, bermakna ‘azam (tekad) dan ketetapan hati atas sesuatu. Kedua, bermakna al-ittifâq (kesepakatan).
Dalam pembahasan ushul fikih, menurut istilah pada ulama ushul, al-ijmâ’ (ijmak) adalah kesepakatan atas hukum kejadian yang terjadi bahwa itu merupakan hukum syariah. Dengan ungkapan lain, ijmak merupakan kesepakatan bahwa hukum syariah atas suatu masalah yang terjadi adalah demikian.
Ijmak yang dimaksud adalah ijmak yang menjadi dalil syariah. Dalam hsl ini hanya Ijmak Sahabat yang bisa dijadikan dalil syariah. Ini berdasarkan substansi dan fakta ijmak yang dimaksud sebagai dalil syariah, juga berdasarkan nas-nas qath’i. Sebab sesuatu yang bisa dijadikan sebagai dalil syariah harus dinyatakan oleh nas yang qath’i.
Menurut para ulama ushul, Ijmak Sahabat adalah kesepakatan para Sahabat Nabi saw. atas hukum kejadian yang terjadi bahwa itu merupakan hukum syariah. Dengan kata lain, Ijmak Sahabat adalah kesepakatan para Sahabat Nabi saw. bahwa hukum syariah atas suatu masalah yang terjadi adalah demikian.
Jadi kesepakatan para Sahabat yang menjadi dalil syariah itu bukanlah kesepakatan mereka atas suatu pendapat atau pandangan. Sebab hal itu tidak mengungkap adanya dalil. Akan tetapi, yang menjadi dalil syariah adalah ijmak mereka bahwa hukum begini adalah hukum syariah; atau bahwa hukum syariah dalam kejadian begini adalah begini; atau bahwa hukum kejadian si Fulan secara syar’i adalah begini.
Jadi Ijmak Sahabat yang mu’tabar tidak lain adalah ijmak atas suatu hukum syariah. Ijmak Sahabat yang demikian menyingkapkan bahwa di situ ada dalil syariah untuk hukum tersebut, juga bahwa mereka berpandangan hukum tersebut meski mereka tidak meriwayatkan dalilnya karena mereka sudah sama-sama tahu.
Ijmak Sahabat itu ada dua jenis: al-ijmâ’ ash-sharîh atau al-ijmâ’ al-qawlî dan al-ijmâ’ as-sukûtî. Al-Ijmâ’ ash-sharîh adalah jika para sahabat sama-sama menyatakan bahwa hukum masalah begini adalah begini. Atau jika disodorkan kepada para sahabat suatu perkara atau kejadian, sementara mereka tidak menyebutkan nas al-Quran dan tidak meriwayatkan nash hadits yang menyangkut perkara atau kejadian itu, kemudian mereka mengatakan bahwa hukum perkara tersebut atau hukum kejadian tersebut adalah begini, dan hukum yang mereka katakan adalah sama, maka hukum tersebut merupakan Ijmak Sahabat yang shârih. Artinya, hukum tersebut merupakan hukum syariah dengan bersandar pada dalil yang berasal dari Rasulullah saw. yang tidak mereka riwayatkan atau tidak mereka katakan satu kepada yang lain, sebab dalil itu sudah sama-sama mereka ketahui.
Adapun al-ijmâ’ as-sukûtî adalah ketika salah seorang sahabat berpendapat atau mengatakan suatu hukum atas satu perkara atau kejadian, sementara hal itu diketahui oleh para sahabat lainnya dan tidak ada seorang pun dari sahabat yang mengingkarinya. Dengan demikian diamnya mereka itu merupakan ijmak. Artinya, diamnya mereka itu merupakan ijmak bahwa hukum syariah atas perkara atau kejadian tersebut adalah begitu. Disebut al-ijmâ’ as-sukûtî sebagai kebalikan dari al-ijmâ’ al-qawlî.
Begitu pula jika para sahabat bersepakat atas suatu pendapat dalam satu peristiwa, maka kesepakatan mereka atas hukum syariah dalam peristiwa itu adalah begini merupakan al-ijmâ’ as-sukûtî.
Demikian juga jika salah seorang sahabat berpendapat atas hukum suatu masalah, sementara hal itu diketahui oleh para sahabat lainnya, tetapi tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Dengan demikian ijmak mereka dengan diamnya mereka itu merupakan ijmâ’[an] sukûtiy[an].
Status al-ijmâ’ as-sukûtî itu sama seperti al-ijmâ’ al-qawlî atau al-ijmâ’ ash-sharîh. Sama-sama merupakan dalil syariah jika memenuhi syarat-syaratnya. Jika tidak terpenuhi semua syaratnya, yakni jika tidak terpenuhi meski hanya salah satu syaratnya, maka tidak merupakan ijmak dan tidak menjadi dalil syariah. Jika tidak memenuhi syarat-syaratnya. itu maka bukan merupakan ijmak melainkan berposisi sebagai mazhab atau pendapat sahabat.
Syarat-syarat tersebut ada tiga: Pertama, hukum syariah yang disepakati secara diam itu termasuk perkara yang biasanya harus diingkari dan tidak boleh didiamkan. Hal itu karena mustahil sahabat berijmak untuk diam atas kemungkaran. Jika perkara itu tidak termasuk perkara yang biasanya harus diingkari maka diamnya para sahabat darinya tidak merupakan ijmak.
Contoh ijmak sukûti, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah mengambil kembali tanah dari Bilal. Pasalnya, Bilal menelantarkan tanah tersebut selama tiga tahun atau lebih. Para sahabat diam atas apa yang dilakukan oleh Umar ra. itu. Dengan demikian hal itu menjadi ijmak sukûti bahwa Khalifah berwenang menarik tanah dari pemiliknya jika pemiliknya menelantarkan tanah tersebut selama tiga tahun berturut-turut atau lebih.
Yunus menuturkan riwayat dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdullah bin Abu Bakar yang berkata: Bilal bin al-Harits al-Muzani pernah datang kepada Rasulullah saw. meminta tanah kepada beliau. Lalu beliau memberi dia tanah yang luas sekali. Ketika Umar bin al-Khathab menjabat khalifah, ia berkata kepada Bilal, “Bilal, sesungguhnya engkau meminta kepada Rasulullah saw. tanah yang luas sekali. Beliau memberikan tanah itu kepadamu. Sungguh Rasulullah saw. tidak menghalangi sesuatu yang diminta. Sungguh kamu tidak mampu (mengolah) tanah yang ada di tanganmu.” Bilal berkata, “Baik.” Khalifah Umar berkata, “Lihatlah mana yang mampu kamu garap dari tanah itu maka pertahankan, sementara mana yang tidak mampu kamu garap maka serahkan kepada kami. Kami akan membagikannya di antara kaum Muslim.” Bilal berkata, “Aku tidak akan melakukan itu. Demi Allah, sesuatu yang diberikan Rasulullah kepadaku.” Khalifah Umar berkata, “Demi Allah sungguh kamu harus melakukan itu.” Lalu Khalifah Umar mengambil dari Bilal bagian tanah yang tidak mampu dia garap dan Umar membagikannya di antara kaum Muslim (HR al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra dan Yahya bin Adam di dalam Kitâb al-Kharâj).
Peristiwa itu terjadi dengan dilihat dan diketahui oleh para sahabat. Perkara itu termasuk perkara yang biasanya mesti diingkari jika tidak dibenarkan oleh syariah. Sebab mengambil apa yang dimiliki oleh seseorang tanpa hak atau tanpa dibenarkan adalah perkara yang biasanya mesti diingkari. Namun nyatanya, tidak ada seorang pun sahabat yang mengingkarinya. Dengan demikian, itu merupakan ijmak sukûti dari sahabat atas hukum bahwa Khalifah berwenang mengambil tanah dari pemiliknya yang telah dia telantarkan tiga tahun berturut-turut atau lebih lalu diberikan atau dibagikan di antara kaum Muslim.
Kedua, peristiwa atau perbuatan itu harus masyhur, yakni diketahui secara luas oleh para sahabat. Jika tidak masyhur, tidak diketahui secara luas di antara para sahabat, dan tidak diketahui oleh para sahabat secara luas, maka diamnya mereka tidak dinilai sebagai ijmak sukûti. Hal itu karena mungkin saja peristiwa atau perbuatan itu tidak sampai kepada mereka, dan tidak mereka ketahui. Karena tidak sampai atau tidak diketahui oleh para sahabat, maka diam mereka atas peristiwa atau perbuatan itu tidak bisa dinilai sebagai diam atas hukum peristiwa atau perbuatan itu sehingga tidak merupakan ijmak mereka.
Ketiga, peristiwa atau hukum itu tidak termasuk apa yang ditetapkan oleh Islam sebagai wewenang Amirul Mukminin sesuai pandangan dan pendapatnya. Contohnya masalah pengelolaan harta Baitul Mal. Syariah menetapkan bahwa Khalifah berwenang mengelola harta Baitul Mal sesuai pendapat dan pandangannya, seperti pemberian dari harta Baitul Mal oleh Khulafaur Rasyidin kepada sebagian orang kaum Muslim dan tidak diberikan kepada sebagian yang lain, atau pemberian secara tidak sama. Bentuk pengelolaan berupa pemberian dengan potret seperti itu didiamkan oleh para sahabat. Model pengelolaan dan pemberian seperti itu bukan merupakan ijmak melainkan ijtihad dari Khalifah. Adapun yang menjadi Ijmak Sahabat di situ adalah ijmak mereka bahwa Khalifah berwenang mengelola harta Baitul Mal sesuai pendapat atau ijtihadnya.
Jika terpenuhi ketiga syarat tersebut maka diamnya para Shabat merupakan ijmak sukûti mereka atas hukum syariah itu, dan itu merupakan dalil syariah. Dalil bahwa ijmak sukûti merupakan dalil syariah adalah mustahilnya secara syar’i para sahabat seluruhnya diam atas suatu kemungkaran. Karena itu diamnya para sahabat atas suatu pandangan sebagai hukum syariah merupakan hujjah syar’iyyah dan merupakan bagian dari dalil syariah.
Di antara contoh Ijmak Sahabat:
- Kakek berhak mewarisi bersama dengan adanya anak dari si mayit jika tidak ada bapak dari si mayit.
- Saudara-saudara kandung (seibu sebapak) dan saudara sebapak terhalang menerima waris jika ada bapak.
- Salat tarawih boleh dilakukan 23 rakaat secara berjamaah.
- Wajib memilih khalifah dalam jangka waktu tiga hari tiga malam sejak kosongnya jabatan khalifah. Sebab Umar bin Khathab menunjuk formatur enam orang sahabat untuk memilih satu di antara mereka sebagai khalifah dan diberi tenggat tiga hari tiga malam. Umar juga menunjuk lima puluh orang untuk menjaga mereka dan membunuh orang dari keenam sahabat itu yang berselisih setelah habis tenggat tiga hari tiga malam itu. Semua sahabat diam terhadap hal itu sehingga hal itu menjadi ijmak sukûti.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]