Takrifat

Larangan

An-Nahyu (larangan) merupakan isim dari nahâ – yanhâ – nahy[an]. Nahâ artinya mencegah atau melarang (Kamus al-Munawwir). Menurut Imam asy-Syaukani dan Syaikh Wahbah az-Zuhaili, secara bahasa an-nahyu bermakna al-man’u (larangan). Imam asy-Syaukani menambahkan: Dikatakan, “Nahâhu ‘an kadzâ,” maknanya: Mana’ahu ‘anhu (dia mencegah/melarangnya darinya) (Asy-Syaukani, Irsyâdu al-Fuhûl; Zz-Zuhailiy, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, 1/232).

Artinya, an-nahyu adalah tuntutan untuk mencegah diri dari perbuatan (thalab al-kaffi ‘an al-fi’l) atau tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab tarki al-fi’l).

Adapun secara istilah, para ulama ushul mendefinisikan an-nahyu (larangan) dengan redaksi yang berbeda-beda meski secara garis besar memiliki kesamaan makna.

Abu al-Husain al-Bashri (w. 436 H) rahimahulLâh mengatakan di dalam Al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqh (1/168): Larangan (an-nahyu) adalah ucapan orang kepada yang lain, “Lâ taf’al (Jangan kamu lakukan),” menurut sisi ketinggian (‘alâ jihhati al-isti’lâ`) jika dia tidak menyukai perbuatan itu. Tujuannya adalah agar orang itu tidak melakukannya.

Menurut Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani asy-Syafi’i (w. 489 H) rahimahulLâh di dalam Qawâti’u al-Adillah (1/138) dan ‘Ala`uddin al-Bukhari al-Hanafi (w. 730) rahimahulLâh di dalam Kasyfu al-Asrâr Syarhu Ushûl al-Bazdawiy (1/256), “Hakikat larangan (an-nahyu) adalah istid’â`u tarki al-fi’li bi al-qawl min man huwa dûnahu (seruan melalui ucapan untuk menginggalkan perbuatan dari orang yang di bawahnya).”

Abu al-Muzhaffar rahimahulLâh menambah-kan: Wa qîla huwa qawl al-qâ‘il li ghayrihi lâ taf’alu ‘alâ jihhati al-isti’lâ‘ (Dikatakan bahwa larangan adalah ucapan orang yang berkata kepada yang lain, “Jangan engkau lakukan,” menurut sisi ketinggian).

Al-Isnawi rahimahulLâh di dalam Syarhu al-Isnâwî mengatakan: Larangan adalah ucapan orang yang menuntut untuk meninggalkan (sesuatu) berupa dalâlah prioritas. Ibnu Badran al-Hanbali (w. 1346 H) rahimahulLâh di dalam Al-Madkhal ilâ Madzhab al-خmâm Ahmad (hlm. 105) dan asy-Syaukani (w. 1250 H) rahimahulLâh di dalam Irsyâd al-Fuhûl (hal. 96) mendefinisikan: Larangan adalah al-qawl al-insyâ’iy ad-dâlu ‘alâ thalabi kaffi ‘an fi’l[in] ‘alâ jihhati al-isti’lâ` (instruksi yang menunjukkan tuntutan mencegah dari perbuatan menurut sisi ketinggian).

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz III menyatakan: An-Nahyu adalah thalab at-tarki ‘alâ wajhi al-isti’lâ` (Larangan adalah tuntutan meninggalkan (sesuatu) menurut cara ketinggian [isti’lâ’]).

Dari berbagai redaksi pengertian larangan (an-nahyu) yang disampaikan para ulama ushul itu dapat dipahami bahwa dalam jatidiri an-nahyu itu ada unsur al-isti’lâ‘ (dominasi) dan al-‘uluw (ketinggian). Al-Isti’lâ‘ adalah sifat pada larangan itu sendiri, yakni dalam nada suara atau cara pemberian perintah, atau dalam qarinah yang menyertai. Adapun al-‘uluw adalah sifat pada pihak yang memberi larangan, yakni bahwa pihak yang memberi larangan adalah lebih tinggi martabatnya dari pihak yang dilarang dalam fakta perkaranya. Meski para ulama ushul berbeda dalam keharusan adanya dua unsur itu. Sebagian hanya menyatakan unsur al-isti’lâ‘ (ketinggian), tanpa harus ada unsur al-‘uluw (lebih tinggi). Sebagian yang lain mengharuskan adanya kedua unsur itu sekaligus.

‘Iyadh bin Nami bin ‘Awadh as-Sulami di dalam Ushûl al-Fiqh al-ladzî lâ Yasa’u al-Faqîh Jahlahu menjelaskan, maksud ‘alâ wajhi al-isti’lâ` diketahui dari konteks kalam atau dari cara berbicara, bahwa yang melarang itu yasta’lî (mendominasi) pihak yang dilarang, baik posisi/martabatnya lebih tinggi dari pihak yang dilarang atau lebih rendah dalam faktanya. Berdasarkan hal itu, jika budak berkata kepada tuannya, “Jangan lakukan begini!” dengan nada yang menunjukkan dia lebih tinggi atasnya, maka ucapannya itu disebut larangan, dan dia layak mendapat ta`dîb karena dia melarang tuannya.

Menurut sebagian lainnya, kedua unsur itu tercakup dalam unsur al-isti’lâ’ dari larangan yang hakiki. Sebabnya, larangan yang hakiki itu mengandung kedua unsur itu. Unsur al-isti’lâ‘ itu terjadi dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, dengan orang mengatakan kepada yang lebih rendah secara isti’lâ‘: jangan lakukan. Itu merupakan hakikat dalam ucapan pihak yang menuntut untuk meninggalkan perbuatan itu. Jika tuntutan itu keluar dari pihak yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi dalam bentuk permohonan (at-tadharru’) dan asy-syafâ’ah maka itu tidak disebut larangan (an-nahyu), melainkan disebut doa (du’â‘) dan permintaan (iltimâs).

Hanya saja, tidak semua bentuk thalab at-tarki bermakna atau merupakan larangan. Menurut Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, thalab at-tarki (tuntutan untuk meninggalkan perbuatan) yang merupakan larangan adalah thalab yang hakiki, yakni yang hakiki menuntut untuk meninggalkan perbuatan/sesuatu. Jika tidak begitu maka bukan larangan.

Larangan ada tiga bentuk:

 

  1. Yang thalab-nya bukan hakiki.

Ini ada tiga bentuk. Pertama: Yang dimaksudkan bukanlah melaksanakan upaya meninggalkan perbuatan itu.

Di antaranya bermakna at-taswiyah. Contohnya dalam firman Allah SWT:

ٱصۡلَوۡهَا فَٱصۡبِرُوٓاْ أَوۡ لَا تَصۡبِرُواْ سَوَآءٌ عَلَيۡكُمۡۖ ١٥

Masukklah kalian ke dalamnya (rasakanlah panas apinya). Baik kalian bersabar atau tidak, sama saja bagi kalian (QS ath-Thur [52]: 16).

 

Maknanya adalah at-taswiyah (penyamaan), yakni adanya kesabaran atau tidak adalah sama saja, yakni tidak berguna.

Berikutnya yang diinginkan adalah at-tahqîr (meremehkan):

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيۡنَيۡكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعۡنَا بِهِۦٓ أَزۡوَٰجٗا مِّنۡهُمۡ ١٣١

Janganlah kamu arahkan kedua matamu pada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka (QS Thaha [20]: 131).

 

Maknanya, meremehkan kesenangan dunia yang ada pada pihak lain.

Berikutnya,  yang diinginkan adalah untuk al-ihânah (pelecehan). Contohnya dalam firman Allah SWT:

قَالَ ٱخۡسَئُواْ فِيهَا وَلَا تُكَلِّمُونِ  ١٠٨

Allah berfirman, “Tinggallah kalian dengan hina di dalamnya, dan janganlah kalian berbicara dengan Aku.” (QS al-Mu’minun [23]: 108).

 

Makna bentuk larangan di sini adalah melecehkan atau menghina pihak yang dilarang.

Yang diinginkan adalah untuk menyatakan al-ya‘su (keputusasaan):

قُل لَّا تَعۡتَذِرُواْ لَن نُّؤۡمِنَ لَكُمۡ قَدۡ نَبَّأَنَا ٱللَّهُ مِنۡ أَخۡبَارِكُمۡۚ ٩٤

Katakanlah, “Janganlah kalian mengemuka-kan ‘uzur. Kami tidak percaya lagi kepada kalian (karena) sungguh Allah telah memberitahu kami berita kalian yang sebenarnya.” (QS at-Taubah [9]: 94).

 

Kedua: Larangan itu tidak berada dalam kemampuan pihak yang dituntut.

Di antaranya larangan dalam makna at-tahaddiy wa at-ta’jîz (tantangan dan menyatakan ketidakmampuan). Contohnya dalam firman Allah SWT:

فَأَجۡمِعُوٓاْ أَمۡرَكُمۡ وَشُرَكَآءَكُمۡ ثُمَّ لَا يَكُنۡ أَمۡرُكُمۡ عَلَيۡكُمۡ غُمَّةٗ ثُمَّ ٱقۡضُوٓاْ إِلَيَّ وَلَا تُنظِرُونِ  ٧١

Bulatkanlah keputusan kalian dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutu kalian (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusan kalian itu dirahasiakan. Lalu lakukanlah terhadap diriku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku (QS Yunus [10]: 71).

 

Larangan wa lâ tunzhirûn (jangan kalian beri tangguh) itu bermakna tantangan dan menyatakan ketidakmampuan pihak yang dilarang itu.

Ketiga: Larangan yang disandarkan kepada bukan al-mukallaf secara tidak hakiki.

Di antaranya dalam bentuk at-tarâjiy dan attamanniy. Seperti ungkapan: Lâ taghib ayyuha al-qamar (Jangan tenggelam, hai bulan).

 

  1. Tuntutan itu bukan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.

Hal itu di antaranya tuntutan dari pihak yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi dalam bentuk doa. Contohnya dalam firman Allah SWT:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ ٢٨٦

Duhai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (QS al-Baqarah [2]: 286).

 

Juga dalam bentuk tuntutan kepada orang yang setara, yakni dalam bentuk al-iltimâs. Hal itu seperti dalam ungkapan saudara-saudara Nabi Yusuf  kepada sesamanya.

قَالَ قَآئِلٞ مِّنۡهُمۡ لَا تَقۡتُلُواْ يُوسُفَ وَأَلۡقُوهُ فِي غَيَٰبَتِ ٱلۡجُبِّ ١٠

Seorang di antara mereka berkata, “Janganlah kalian membunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur…” (QS Yusuf [12]: 10).

 

Semua yang disebutkan di atas bukanlah an-nahyu (larangan) yang hakiki dalam pembahasan ini.

 

  1. Yang thalab-nya hakiki.

An-Nahyu (larangan) yang dimaksudkan di sini adalah larangan yang hakiki, yakni yang berasal dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah. Larangan seperti itu ada dua bentuk:

  • Larangan sebagian orang kepada sebagian yang lain seperti larangan tuan kepada hamba sahayanya, atau larangan pemimpin kepada bawahannya.
  • Berupa larangan yang syar’i, yakni larangan dari Allah SWT dan Rasul saw.

 

Karena pembahasan ushul fikih itu berkaitan dengan hukum syariah, maka larangan yang dimaksudkan adalah larangan yang darinya di-istinbaath hukum syariah, dan itu adalah larangan yang berasal dari Allah SWT atau Rasul saw.

Dengan demikian seperti yang dinyatakan oleh Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl bahwa an-nahyu secara syar’i adalah thalab at-tarki al-haqîqî ‘alâ wajhi al-isti’lâ` ayyu min al-a’lâ ilâ al-adnâ wa al-ladzi huwa min Allâh wa rasûlihi (Tuntutan untuk meninggalkan [sesuatu] yang bersifat hakiki menurut sisi ketinggian, yakni dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah dan itu adalah dari Allah SWT dan Rasul-Nya saw.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seven − five =

Back to top button