Takrifat

Mafhûm al-mukhâlafah Yang Tidak Diamalkan (2)

(Bagian  Kedua)

Sebelumnya telah dijelaskan kondisi pertama yang menjadikan mafhûm al-mukhâlafah tidak dapat diamalkan. Berikut ini hal atau kondisi lainnya yang menjadikan mafhûm al-mukhâlafah tidak diamalkan.

Kedua: Al-Ismu (isim) tidak punya mafhûm. Hukum yang dikaitkan dengan al-ism (isim) tidak memiliki mafhûm al-mukhâlafah. Baik itu berupa isim jenis maupun isim ‘alam dan yang posisinya seperti isim ‘alam, yakni al-laqab dan al-kunyah; juga baik berupa isim jâmid maupun isim musytaq yang bukan sifat.

Contohnya, sabda Rasul saw.: “Fî al-ghanami as-sâ`imati zakat[un]  (Di dalam domba yang digembalakan ada zakat).” Pengaitan hukum adanya zakat dengan isim al-ghanam tidak memiliki mafhûm, yakni tidak dapat dipahami mafhûm al-mukhâlafah-nya bahwa pada selain al-ghanam tidak ada zakat.

Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa isim atau al-laqab memiliki mafhûm al-mukhâlafah. Hanya saja, pendapat ini lemah (marjûh).

Imam al-Haramain al-Juwayni di dalam kitabnya, Al-Burhân, ketika mengomentari ad-Daqaq mengatakan: Para ulama ushul membodohkan ad-Daqaq dan siapa yang berkata dengan ucapannya. Mereka (para ulama ushul) mengatakan, “Ini keluar dari hukum lisan. Sebab, siapa yang berkata, ‘Ra`aytu Zayd[an] (Aku melihat Zaid),’ secara pasti tidak mengharuskan bahwa dia tidak melihat yang lainnya. Ijmak ulama terjadi atas kebolehan peng-’ilat-an dan al-qiyâs. Itu mengharuskan bahwa pengkhususan riba dengan isim tidak menunjukkan atas penafiannya dari selainnya. Seandainya kita katakan dengan itu niscaya batallah al-qiyâs.

Imam asy-Syaukani di dalam, Irsyâd al-Fuhûl, mengatakan, “Alhasil, orang yang mengatakan dengannya (mafhûm al-ism) secara keseluruhan atau sebagian tidak mendatangkan hujjah secara bahasa, syar’i dan ‘aqli. Sudah diketahui bersama dari lisan orang Arab (bahasa Arab) bahwa orang yang berkata, ‘Ra`aytu Zayd[an]  (Aku melihat Zaid,’ secara pasti tidak berkonsekuensi bahwa dia tidak melihat yang lainnya. Adapun jika qariinah (indikasi) menunjukkan atas pengamalannya, maka yang demikian  tidak lain karena qarinah, dan itu keluar dari obyek perbedaan.”

Dengan demikian isim, baik isim jenis maupun isim ‘alam, termasuk al-laqab dan al-kunyah dan isim jâmid maupun isim musytaq yang bukan shifat tidak memiliki mafhûm al-mukhâlafah. Isim musytaq yang bukan sifat, yaitu ism musytaq yang tidak menjadi sifat. Contohnya kata ath-tha’âm. Kata ini tidak pernah dijadikan sifat. Dalam seluruh penggunaannya adalah untuk menunjuk al-math’ûm (yang dimakan). Jadi kata ath-tha’âm dalam semua nas syariah tidak memiliki mafhûm.

Ketiga, bukan berupa washf[un] mufhim[un]. Shifat, termasuk di dalamnya isim musytaq yang merupakan shifat, yang memiliki mafhûm al-mukhâlafah, hanya washf[un] mufhim[un] (sifat yang mengandung konotasi [makna lain]). Adapun washf[un] ghayru mufhim (sifat yang tidak mengandung konotasi [makna lain]) adalah sama seperti isim, tidak memiliki mafhûm al-mukhâlafah. Yang dimaksud ghayru mufhim adalah ghayru munâsib (tidak sesuai atau tidak cocok) dengan hukumnya. Contohnya, sabda Rasul saw.:

لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ

Orang yang meminta memiliki hak meski dia berada di atas kuda (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah).

 

Mafhûm al-mukhâlafah hadis ini menunjukkan bahwa selain orang yang meminta (ghayru as-sâ‘il) tidak punya hak dalam zakat. Mafhûm al-mukhâlafah ini tidak diamalkan. Sifat as-sâ‘il itu ghayru mufhim, yakni ghayru munâsib (tidak sesuai) dengan hukum pemberian zakat. Sebabnya, sesuai nas, orang yang meminta dan yang tidak meminta diberi dari zakat selama dia termasuk delapan ashnaf.

Contoh lainnya ucapan Umar bin al-Khaththab ra., “Laysa li muhtajirin haqq[un] ba’da tsalâtsi sinîn (Tidak ada hak bagi orang yang memagari tanah setelah (menelantarkan tanahnya selama) tiga tahun.” Sifat al-muhtajir (orang yang memagari) itu ghayru mufhim, yakni gahyru munâsib. Jadi riwayat itu tidak menunjukkan bahwa selain orang yang memagari, kepemilikannya atas tanah setelah dia menelantarkan tanahnya tiga tahun berturut-turut tidak hilang. Namun, semua pemilik tanah pertanian, baik dia peroleh karena memagari tanah mati, menghidupkan tanah mati, dari warisan, dari membeli atau lainnya, jika dia menelantarkan tanahnya tiga tahun berturut-turut maka tidak ada lagi hak kepemilikannya atas tanah itu.

Keempat, tidak ada mafhûm dari lafal innamâ. Menurut para ahli bahasa, lafal innamâ secara bahasa tidak menunjukkan atas pembatasan (al-hashr) sehingga mafhûm al-mukhâlafah-nya tidak diamalkan. Lafal innamâ diucapkan kadang dengan maksud untuk pembatasan dan kadang tidak dimaksudkan untuk menyatakan pembatasan. Qarînah atau indikasilah yang menentukan apakah lafal innamâ itu menunjukkan pembatasan atau tidak. Selama lafal innamâ itu tidak secara pasti menunjukkan pada pembatasan (alhashr), tetapi dapat menunjukkan bukan pembatasan, maka mafhûm al-mukhâlafah dalam lafal innamâ tidak diamalkan.

Contohnya sabda Rasul saw.:

إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيئَةِ

Tidak lain riba itu pada naasi’ah (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).

 

Riba tidak terbatas pada naasi’ah saja. Pasalnya, ada Ijmak Sahabat atas keharaman riba al-fadhl. Hanya ada seorang Sahabat yang awalnya berbeda pendapat, yakni Ibnu Abbas ra. Ia berpendapat bahwa riba hanya pada naasi’ah saja. Kemudian Ibnu Abbas menarik pendapatnya.

Kelima, jika nas itu dinyatakan sebagai kondisi galibnya (kharaja makhraja al-ghâlib), maka mafhûm al-mukhâlafah-nya tidak diamalkan.

Imam al-Qarafi (w. 684 H) mengatakan di dalam Syarh Tanqîh al-Fushûl, bahwa menurut para ulama, mafhûm ash-shifat, jika dinyatakan sebagai makhraja al-ghâlib (kondisi pada galibnya), maka tidak menjadi hujjah dan tidak menunjukkan penafian hukum dari yang tidak diucapkan (al-maskût ‘anhu). Sebabnya, shifat yang dominan terhadap hakikat itu bersifat lazim di dalam benak untuk hakikat itu karena ghalabah (dominannya). Penyebutannya bersama hakikat itu ketika menghukuminya adalah karena dominannya kehadiran shifat itu di dalam benak, bukan untuk memberi faedah penafian hukum dari yang tidak diucapkan (al-maskût ‘anhu). Adapun jika shifat itu tidak dominan atas hakikat itu, maka tidak menjadi kelazimannya di dalam benak. Karena itu shifat itu disebutkan bersama hakikat tersebut tidak lain untuk faedah tertentu, yaitu untuk membatasi atau mengkhususkan hukum dengan hakikat itu sehingga memberi faedah penafian hukum dari yang tidak diucapkan (al-maskût ‘anhu).

Contohnya firman Allah SWT:

وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ ٢٣

Anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri (TQS an-Nisa’ [4]: 23).

 

Mafhûm al-mukhâlafah dari shifathujûrikum (dalam pemeliharaan kalian)” tidak berlaku karena itu dinyatakan makhraja al-ghâlib. Pada galibnya, anak tiri itu berada dalam pemeliharaan ayah tiri.

Keenam, jika nas itu dinyatakan li ziyâdati imtinân (untuk meningkatkan syukur) maka mafhûm al-mukhâlafah-nya tidak diamalkan. Misal, firman Allah SWT:

وَمِن كُلّٖ تَأۡكُلُونَ لَحۡمٗا طَرِيّٗا ١٢

Dari masing-masing laut itu kalian dapat memakan daging yang segar (QS Fathir [35]: 12).

 

Mafhûm al-mukhâlafah dari sifat thariyan (yang segar) tidak diamalkan. Selain pada galibnya begitu, sifat itu dinyatakan sebagai pernyataan kenikmatan yang lebih besar untuk meningkatkan syukur. Jadi bukan berarti yang dapat dimakan yang segar saja. Baik yang segar atau tidak segar, dapat dimakan.

Ketujuh, jika disebutkan untuk tafkhîm (mengagungkan) dan kesempurnaan, mafhûm al-mukhâlafah-nya tidak diamalkan. Ini seperti sabda Rasul saw.:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ

Muslim adalah orang yang kaum Muslim selamat dari lisan dan tangannya. Mukmin adalah orang yang diamanahi oleh orang-orang atas darah dan harta mereka (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasai).

 

Mafhum al-mukhâlafah dari sifat al-Muslim dan al-Mu‘min tidak diamalkan. Sifat itu disebutkan untuk tafkhîm dan menyatakan kesempurnaan. Jadi bukan berarti, orang yang tidak diamanahi oleh orang lain lantas dia bukan Mukmin.

Kedelapan, harus mustaqill[un] (independen) dan bukan sebagai taba’iyah (mengikuti). Contohnya firman Allah SWT:

وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ ١٨٧

Janganlah kalian mencampuri mereka itu (istri-itri kalia), sedangkan kalian sedang beritikaf di dalam masjid (QS al-Baqarah [2]: 187).

 

Lafal fî al-masâjid yang menyifati lafal ‘âkifûna itu, mafhûm al-mukhâlafah-nya tidak diamalkan. Jadi bukan berarti jika tidak sedang itikaf di masjid lantas boleh mencampuri istri. Orang yang beritikaf (al-mu’takif) tidak boleh mencampuri istrinya baik dia sedang di masjid atau tidak.

Kesembilan, lafal itu tidak menyatakan awlawiyah, yakni bermakna qillah (minimal) atau shaghîr (kecil), maka tidak ada mafhuum al-mukhâlafah-nya. Yang ada min bâb al-awlâ atau mafhûm al-muwâfaqah min al-adnâ ilâ al-a’lâ. Contohnya QS al-Isra’ [17]: 23. Tidak ada mafhûm al-mukhâlafah dari kata “uff[in] (ah)”. Yang ada adalah min bâb al-awlâ, yakni apalagi yang lebih dari sekadar kata “uff[in] (ah)” yang dapat menyakiti orangtua, maka lebih dilarang (haram) lagi.

Begitu pula, jika lafal itu untuk tanbîh (peringatan/pemberitahuan), yakni menyatakan yang besar untuk juga memperingatkan atau memberitahukan yang kecil, maka tidak memiliki mafhûm al-mukhâlafah. Yang ada adalah mafhûm al-muwâfaqah tanbîh min al-a’lâ ilâ al-adnâ. Con-tohnya dalam firman Allah QS Ali Imran [3]: 75.

Semua hal atau kondisi itu menjadikan mafhûm al-mukhâlafah tidak diamalkan.

WalLâh a’lam wa ahkam.  [Yoyok Rudianto]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

16 + three =

Back to top button