Takrifat

Makna Asal Perintah Adalah Tuntutan

Redaksi perintah (shîghat al-amri) dengan semua macamnya, yang dinyatakan di dalam nas al-Quran dan as-Sunnah, dimaksudkan untuk menunjukkan sejumlah makna. Para ulama berbeda-beda dalam menetapkan jumlah makna tersebut.

‘Alauddin al-Mirdawi al-Hanbali (w. 885 H) di dalam At-Tahbîr Syarhu at-Tahrîr fî Ushûl al-Fiqhi menyebutkan tiga puluh enam makna. Imam Tajudin as-Subki (w. 771 H) di dalam Jam’u al-Jawâmi’ dan Ibnu Badran al-Hanbali (w. 1346 H) di dalam Al-Madkhal ilâ Madzhab Ahmad menyebutkan dua puluh enam makna. Fakhruddin ar-Razi (w.606 H) di dalm Al-Mahshûl dan Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menyebutkan lima belas makna. Imam Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H) di dalam  Al-Ibhâj fî Syarhi al-Minhâj, Imam Jamaluddin al-Isnawi (w. 772) di dalam Nihâyah as-Sawl Syarhu Minhâj al-Wushûl, Al-Qadhi Ibnu Mas’ud al-Hanafi (w. 747 H) di dalam Tanqîh al-Ushûl dan Sa’duddin at-Taftazani (w. 793 H) di dalam Syarhu at-Talwîh ‘alâ at-Tawdhîh yang merupakan syarh Tanqîh al-Ushûl  menyebutkan enam belas makna.

Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz 3 menyebutkan enam belas makna yaitu: al-îjâb (mewajibkan), an-nadab (sunnah), al-irsyâd (arahan), al-ibâhah (mubah), at-tahdîd (ancaman) wa al-indzâr (peringatan), al-imtinân ‘alâ al-‘ibâd (menyatakan nikmat kepada hamba), al-ikrâm bi al-ma`mûr (memuliakan yang diperintah), at-taskhîr (merendahkan), at-ta’jîz (menyatakan ketidakmampuan lawan), al-ihânah (penghinaan), at-taswiyah (penyamaan), ad-du’â’ (doa), at-tamanni (angan-angan), al-ihtiqâr (memandang rendah), at-takwîn (pembentukan/penciptaan) dan al-khabar (informasi).

Lantas apakah redaksi perintah menunjukkan semua makna itu secara hakikat, secara majaz, secara isytiraak (yakni merupakan lafal musytarak), atau sebagiannya secara musytarak dan sebagian lainnya secara majaz, atau dengan cara lainnya?

Imam al-Amidi (w. 631 H) menjelaskan di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm: “Jika terbukti bahwa redaksi uf’ul (lakukanlah) zhaahir pada ath-thalab wa al-iqtidhâ` (tuntutan) maka perbuatan yang dituntut haruslah lebih raajih (kuat) untuk dilakukan daripada ditinggalkan. Jika terhalang untuk ditinggalkan maka wajib. Jika tidak terhalang untuk ditinggalkan maka adakalanya pe-raajih-annya karena ada maslahat ukhrawi sehingga menjadi manduub dan adakalanya karena ada maslahat duniawi sehingga merupakan al-irsyâd.

Para ulama ushul berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berkata bahwa redaksi perintah itu musytarak di antara semua makna itu. Ini adalah mazhab Syiah. Di antara mereka ada yang berkata bahwa redaksi perintah tidak memiliki dalaalah atas wajib, nadab (sunnah) dengan kekhususannya, melainkan adalah hakikat pada kadar musytarak di antara wajib dan nadab. Ini adalah hasil pentarjihan melakukan atas meninggalkan. Di antara mereka ada yang berkata bahwa redaksi perintah itu secara hakikat menunjuk pada wajib dan secara majaz pada selainnya. Ini adalah mazhab Syafii radhiyalLâh ‘anhu dan jamaah dari mutakallimin seperti Abu al-Husain al-Bashri. Ini juga adalah pendapat al-Jubasyi dalam satu dari dua pendapatnya. Di antara mereka ada yang berkata bahwa redaksi perintah itu secara hakikat menunjukkan nadab (sunnah).  Ini adalah mazhab Abu Hasyim dari kalangan Muktazilah dan selain mereka, dan jamaah dari fuqaha. Ini juga dinukilkan dari Imam Syafii rahimahulLaah.

Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLaah menjelaskan di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz 3 sub-bab shîghatu al-amri: “Sesungguhnya redaksi perintah itu ditetapkan secara bahasa untuk menunjukkan ath-thalab (tuntutan), bukan ditetapkan untuk wajib, nadab, ibâhah, at-ta’jîz dan makna-makna lainnya yang telah disebutkan. Redaksi perintah tidak lain menunjukkan—dengan dalaalah-nya—pada makna tuntutan (ath-thalab) disertai qarînah (indikasi) yang menjelaskan apa yang diinginkan dengan tuntutan itu. Artinya, pada asalnya, dalaalah redaksi perintah dalam semua kalimat itu sesuai penetapan secara bahasa tidak lain adalah untuk tuntutan (ath-thalab), bukan yang lain. Hanya saja, lafal tuntutan (ath-thalab) itu bersifat umum mencakup semua tuntutan. Lalu datang qarînah yang menjelaskan jenis tuntutan yang diinginkan dengan redaksi perintah itu. Dalam semua kalimat itu, redaksi perintah menunjukkan atas tuntutan, yakni menunjukkan pada maknanya yang telah ditetapkan untuknya di dalam bahasa. Selain tuntutan itu datang qarînah yang menunjukkan apa yang diinginkan dengan tuntutan di dalam kalimat tersebut, yakni menunjukan jenis tuntutannya: apakah untuk tuntutan yang tegas (thalab[un] jâzim[un]), atau tuntutan yang tidak tegas (thalab ghayru jâzim), atau tuntutan yang bersifat pilihan (thalab li at-takhyîr), atau tuntutan untuk at-ta’jîz, atau tuntutan untuk merendahkan (li al-ihânah) dan yang lainnya. Atas dasar itu, makna-makna redaksi perintah yang telah disebutkan adalah makna yang diinginkan dengan tuntutan itu, yakni jenis tuntutan itu, dan bukan makna redaksi perintah itu sendiri. Jadi redaksi perintah datang untuk menunjukkan tuntutan (ath-thalab) sebagaimana maknanya secara bahasa; lalu dikaitkan dengan qarînah yang menunjukkan yang diinginkan dengan tuntutan itu. Dengan demikian redaksi perintah bersama dengan qarînah-nyalah yang menunjukkan atas wajib, nadab, ibâhah, at-ta’jîz, al-ihânah dan sebagainya.

Adapun redaksi perintah tanpa qarînah tidak lain hanya menunjukan atas tuntutan (ath-thalab), bukan yang lain, dan tanpa qarînah, redaksi perintah sama sekali tidak menunjukkan sesuatu selain hanya tuntutan.

Redaksi perintah itu juga bukan lafal musytarak di antara semua makna itu. Sebab, al-musytarak itu adalah lafal yang ditetapkan untuk semua maknanya. Misalnya, lafal al-’ayn untuk mata air, mata dan mata uang. Adapun redaksi perintah secara bahasa tidak ditetapkan untuk masing-masing makna itu, bahkan tidak ditetapkan untuk salah satu dari makna itu, melainkan secara bahasa ditetapkan untuk ath-thalab (tuntutan). Makna-makna ini adalah menjelaskan jenis tuntutan (naw’ ath-thalab), yakni menjelaskan bahwa perintah-Nya dalam firman-Nya:

فَأۡتُواْ بِسُورَةٖ مِّن مِّثۡلِهِۦ ٢٣

Karena itu buatlah oleh kalian satu surat (saja) yang semisal al-Quran itu (QS al-Baqarah [2]: 23).

 

Ini adalah tuntutan untuk at-ta’jîz (menyatakan ketidakmampuan pihak yang ditantang). Allah SWT berfirman:

ذُقۡ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡكَرِيمُ  ٤٩

Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia (QS ad-Dukhan [44]: 49).

 

Ini adalah tuntutan untuk merendahkan (al-ihânah). Begitulah. Karena itu redaksi perintah bukan merupakan lafal musytarak.

Redaksi perintah bukan secara hakikat untuk wajib dan majaz untuk selainnya.  Sebabnya, hakikat adalah lafal yang digunakan dalam makna yang ditetapkan untuknya dalam istilah percakapan, sedangkan majaz adalah lafal yang digunakan pada selain makna yang ditetapkan untuknya karena adanya qarînah yang menghalangi diinginkannya makna asli itu..

Istilah percakapan (ishthilâh at-takhâthub) di sini adalah bahasa Arab. Redaksi perintah secara bahasa tidak ditetapkan untuk wajib, melainkan ditetapkan untuk tuntutan (ath-thalab), bukan yang lain. Jadi redaksi perintah secara bahasa bukan hakikat untuk wajib. Demikian juga bukan hakikat pada nadab, ibâhah (mubah), at-ta’jîz, al-ihânah dan makna-makna lainnya yang disebutkan sebelumnya. Sebabnya, secara bahasa redaksi perintah tidak ditetapkan untuk makna manapun dari makna-makna itu sehingga bukan hakikat pada makna-makna itu.

Demikian juga, redaksi perintah bukan secara majaz bermakna al-ibâhah. Sebabnya, redaksi perintah tidak digunakan pada selain makna yang ditetapkan untuknya karena adanya qarînah yang menghalangi makna asli yang diinginkan. Namun, redaksi perintah itu secara bahasa digunakan pada makna yang ditetapkan untuknya, pada semua kalimat yang disebutkan dalam makna-makna yang ditunjukkan oleh redaksi perintah, yang aslinya adalah ath-thalab. Makna an-nadab, al-ibâhah, at-ta’jîz, al-ihânah dan makna lainnya yang diinginkan dari redaksi perintah adalah tuntutan, seperti al-wujûb. Penggunaan redaksi perintah dalam semua itu seperti penggunaannya dalam al-wujûb. Redaksi perintah itu tidak digunakan dalam makna-makna lainnya, melainkan ada qarînah di samping thalab tersebut, yang menunjukkan makna-makna itu. Jadi makna-makna itu bukan karena redaksi perintah saja, tetapi gabungan redaksi perintah disertai qarînah. Misalnya, firman Allah SWT:

وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ ٨٨

Makanlah makanan dari apa saja yang telah Allah karuniakan kepada kalian (QS al-Maidah [5]: 88).

 

Redaksi perintah di sini menunjukkan makna al-imtinân. Makna ini bukan diambil dari lafal kulû (makanlah) atau dari lafal min mâ razakumulLâh, tetapi diambil dari pengaitan kata kulû dengan min mâ razakumulLâh. Lafal min mâ razakumulLâh merupakan qarînah yang menunjukkan bahwa maksudnya bukan perintah kepada mereka untuk makan, tetapi imtinân (menyatakan kenikmatan) atas mereka dengan apa yang telah dikaruniakan kepada mereka.

Begitu pula firman Allah SWT:

ٱدۡخُلُوهَا بِسَلَٰمٍ ءَامِنِينَ  ٤٦

Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman (QS al-Hijr [15]: 46).

 

Ini memberikan makna al-ikrâm (memuliakan). Makna ini ditunjukkan oleh lafal udkhulûhâ bersama dengan qarînah bi salâm[in] âmin[în]. Begitu pula pada semua makna lainnya.

Makna-makna tersebut bukan ditunjukkan oleh lafal perintah saja, tetapi ditunjukkan oleh redaksi perintah bersama dengan qarînah yang menyertainya. Qarînah itu tidak menghalangi makna asli redaksi perintah yang dikehendaki, yakni ath-thalab (tuntutan). Akan tetapi, qarînah itu menjelaskan jenis thalab (tuntutan) yang diinginkan. Karena itu penunjukkan makna itu bukan secara majaz. Sebabnya, di dalam majaz itu qarînah menghalangi makna asli yang diinginkan. Hal itu tidak terjadi di sini.

Dengan demikian redaksi perintah itu bukan secara majaz menunjukkan makna-makna itu.

Alhasil, aslinya, redaksi perintah adalah untuk makna ath-thalab (tuntutan). Qarînah yang menyertai perinta itulah yang lantas menjelaskan maknanya, yakni jenis tuntutan itu..

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one + five =

Back to top button