Takrifat

Perintah Dan Larangan Tidak Menunjukkan Kebalikannya

Perintah (al-‘amr) dan larangan (an-nahyu) merupakan bagian dari jenis ucapan atau al-kalâm, yang merupakan bagian dari ketentuan bahasa. Memahami makna yang ditunjukkan (dalâlah) dari kalam atau lafal itu hanya merujuk pada bahasa, yakni merujuk kepada ahlu al-lughah yang membuat lafal, makna yang mereka inginkan dan bagaimana mereka memahami makna (dalâlah) dari ucapan atau lafal. Sama sekali tidak menurut akal atau logika (manthiq).

Penunjukan atau dalâlah menurut ahlu al-lughah itu hanya ada dua jenis yakni manthûq dan mafhûm. Manthûq adalah dalâlah (makna) yang dipahami dari kalâm atau lafal pada posisi pengucapannya secara pasti. Itu adalah makna yang dipahami langsung dari ucapan atau lafal itu. Manthûq ini mencakup dalâlah al-muthâbaqah dan dalâlah at-tadhammun.

Adapun mafhûm adalah makna yang dipahami tidak langsung dari ucapan atau lafal, melainkan dipahami dari makna ucapan atau lafal itu menurut kelazimannya di dalam benak saat mendengar ucapan atau lafal itu. Mafhûm ini dalam bentuk dalâlah al-iltizâm yang mencakup dalâlah al-iqtidhâ’, dalâlah al-isyârah, dalâlah at-tanbîh wa al-îmâ‘, dan dalâlah al-mafhûm baik mafhûm al-muwâfaqah atau mafhûm al-mukhâlafah.

Perintah dan larangan dalam pembahasan ushul yang dimaksudkan adalah perintah dan larangan yang berasal dari Asy-Syâri’. Perintah dan larangan itu merupakan seruan dari Asy-Syâri’ yang menunjukkan hukum. Artinya, perintah dan larangan itu memiiki makna hukum (dalâlah al-hukmi).

Penunjukan perintah dan larangan itu merujuk kepada ahlu al-lughah. Pasalnya, syariah tidak menetapkan penunjukan tertentu, tetapi syariah menggunakan penunjukkan menurut bahasa. Penunjukan perintah dan larangan, yakni makna yang ditunjukkan oleh perintah dan larangan itu, dan penunjukkannya terhadap hukum, adalah secara manthûq, bukan secara mafhûm, termasuk bukan secara mafhûm al-mukhâlafah.

Perintah adalah tuntutan melakukan perbuatan menurut aspek ketinggian. Sebaliknya, larangan adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan menurut aspek ketinggian. Jadi seruan dalam perintah dan larangan itu dalam bentuk tuntutan. Karena perintah dan larangan yang dimaksudkan adalah perintah dan larangan dari Asy-Syâri’, maknanya bahwa khithâb atau seruan dalam perintah dan larangan itu merupakan tuntutan dari Asy-Syâri’.

Seruan (khithâb) dalam perintah adalah tuntutan untuk melakukan (thalab al-fi’li). Di dalam perintah tidak ada makna tuntutan untuk meninggalkan perbuatan, yakni tidak ada makna larangan. Artinya, perintah itu bukan larangan sama sekali. Adapun seruan dalam larangan adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at-tarki). Di dalam larangan, tidak ada makna tuntutan untuk melakukan perbuatan, yakni di dalam larangan tidak ada makna perintah. Artinya, larangan itu bukan perintah sama sekali.

Para pemilik bahasa (ahlu al-lughah) telah menetapkan redaksi tertentu untuk perintah dan redaksi untuk larangan. Redaksi perintah itu berbeda dengan redaksi larangan. Redaksi perintah ditetapkan untuk menyatakan perintah, tidak sama sekali ditetapkan untuk menyatakan atau memberikan faedah larangan. Sebaliknya, redaksi larangan ditetapkan untuk menyatakan larangan, dan sama sekali tidak untuk menyatakan atau memberi faedah perintah. Jadi perintah dan larangan itu memiliki penunjukkan makna sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain.

Penetapan redaksi untuk perintah dan redaksi sendiri untuk larangan itu menunjukkan bahwa perintah tidak menunjukkan larangan. Sebaliknya, larangan juga tidak menunjukkan perintah.

Demikian pula perintah atas sesuatu tidak menunjukkan larangan atas kebalikannya. Larangan atas sesuatu juga tidak menunjukkan perintah atas sebaliknya. Jika perintah menunjukkan larangan atau perintah atas sesuatu menunjukkan larangan atas sebaliknya, tentu tidak perlu ditetapkan redaksi sendiri untuk perintah yang berbeda dengan larangan. Jika larangan juga menunjukkan perintah  atau larangan atas sesuatu menunjukkan perintah atas sebaliknya, tentu tidak perlu ditetapkan redaksi sendiri untuk larangan itu yang berbeda dengan redaksi untuk perintah.

Perintah Allah SWT “wa aqîmû ash-shalâta (tegakkanlah shalat oleh kalian)” memiliki makna atau dalâlah berupa perintah shalat, yakni tuntutan untuk melakukan shalat. Di dalamnya tidak ada makna atau dalâlah larangan dari selain shalat. Artinya, di dalamnya tidak ada tuntutan untuk meninggalkan selain shalat. Jadi perintah shalat itu tidak memberi faedah larangan atau tuntutan untuk meninggalkan misalnya kerja, bermain, berbicara, tidur, duduk, makan dan sebagainya.

Dalam perintah “aqîmû (tegakkanlah)” itu tidak memiliki dalâlah atau makna secara mafhûm, yakni tidak memiliki dalâlah al-iltizâm. Sebabnya, di dalamnya tidak terpenuhi ketentuan dalâlah secara mafhûm, yakni maknanya tidak memiliki atau menunjukkan kelaziman, baik dalâlah al-iqtidhâ`, dalâlah al-isyârah, dalâlah at-tanbîh wa al-îmâ`, mafhûm al-muwâfaqah atau mafhûm al-mukhâlafah.

Larangan “lâ ta`kulû ar-ribâ (jangan kalian memakan riba)”, mengandung makna atau dalâlah larangan memakan riba, yakni tuntutan untuk meninggalkan memakan riba. Di dalamnya tidak ada makna atau dalâlah berupa perintah atas sebaliknya atau lawannya, yakni tidak ada tuntutan untuk memakan selain riba. Larangan “lâ ta`kulû (jangan kalian memakan)”, maknanya tidak memiliki atau menunjukkan pemahaman kebalikannya. Ia tidak mengandung kelaziman kebalikannya, sebagaimana ketentuan mafhûm al-mukhâlafah. Jadi larangan dari memakan riba bukan perintah memakan selain riba. Apalagi jika larangan memakan riba itu menjadi perintah memakan selain riba. Hal itu justru dapat menjadi perintah memakan sesuatu yang haram. Sebabnya, selain riba juga banyak harta lainnya yang juga haram dan dilarang memakannya seperti harta pencurian, harta penipuan, harta hasil judi, harta dari akad yang batil, atau harta yang zatnya haram atau najis, dan lainnya.

Perintah dan larangan Asy-Syâri’ itu menunjukkan hukum tertentu. Perintah adakalanya menunjukkan hukum wajib dan kadang menunjukkan hukum sunnah. Bahkan ada perintah yang menunjukkan hukum mubah. Sebaliknya, larangan kadang menunjukkan hukum haram dan kadang menunjukkan hukum makruh. Hukum-hukum itu merupakan hukum sendiri-sendiri yang berbeda dari yang lain. Ia bukan sebagai kelaziman, lawan atau kebalikan dari hukum lainnya; melainkan masing-masing—baik wajib, manduub, makruh atau haram—merupakan thalab tersendiri yang ditunjukkan oleh nasnya masing-masing, baik berupa perintah atau larangan. Wajib bukanlah kelaziman, lawan atau kebalikan dari haram. Haram bukanlah kelaziman, lawan atau kebalikan dari wajib. Perintah yang menunjukkan wajibnya sesuatu tidak bermakna haramnya lawan atau selain sesuatu itu. Larangan yang menunjukkan haramnya sesuatu, bukan bermakna wajibnya lawan atau selain sesuatu itu. Sunnah atau manduub juga bukan kelaziman, lawan atau kebalikan dari makruh. Makruh bukan kelaziman, lawan atau kebalikan dari manduub. Jadi perintah yang menunjukkan manduub-nya sesuatu tidak menunjukkan makruhnya lawannya. Larangan yang menunjukkan makruhnya sesuatu tidak bermakna manduub-nya lawan sesuatu itu.

Tidak dikatakan bahwa meninggalkan yang wajib adalah haram atau meninggalkan yang manduub adalah makruh; meninggalkan yang haram adalah wajib; atau meninggalkan yang makruh adalah manduub. Tidak dikatakan demikian. Yang benar adalah bahwa meninggalkan yang wajib adalah dosa; melakukan yang haram adalah dosa. Dikatakan bahwa meninggalkan yang manduub atau melakukan yang makruh adalah tidak berdosa.

Adanya dosa atas meninggalkan yang wajib, atau melakukan yang haram, dan tidak adanya dosa atas meninggalkan yang manduub atau melakukan yang makruh, hal itu datang dari ada tidaknya penyimpangan atas apa yang dituntut oleh Allah SWT, baik tuntutan melakukan (perintah) atau tuntutan meninggalkan (larangan), bersifat tegas (jâzim) atau bukan tegas (ghayru jâzim). Adanya dosa atas meninggalkan yang wajib bukan datang dari bahwa perintah atas sesuatu bermakna larangan atas sebaliknya, yakni wajibnya melakukan sesuatu menunjukkan haramnya meninggalkan sesuatu itu. Dengan demikian ketika tidak melakukan yang wajib itu berarti melakukan keharaman meninggalkan yang wajib itu. Tidak demikian. Namun, dosa atas meninggalkan yang wajib itu datang dari penyimpangan terhadap tuntutan yang tegas (jâzim) dari Allah untuk melakukan sesuatu itu. Demikian juga dosa atas melakukan sesuatu yang haram datang dari penyimpangan terhadap tuntutan tegas dari Allah SWT untuk meninggalkan sesuatu itu.

Adapun tidak adanya dosa atas meninggalkan yang manduub atau melakukan yang makruh, hal itu karena tidak ada penyimpangan terhadap tuntutan, yakni perintah atau larangan dari Allah, sebab tuntutannya tidak bersifat tegas (jâzim).

Dengan semua itu, jelas bahwa perintah atas sesuatu bukanlah larangan dari sebaliknya atau selainnya. Larangan dari sesuatu bukanlah perintah atas sebaliknya atu selainnya.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

10 + three =

Back to top button