Tarikh

Bea Cukai di Negara Khilafah

Adakah bea cukai dalam syariah Islam? Kalaupun ada, bagaimana praktiknya? Adakah contoh pada masa Khilafah Islam? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan menarik. Karena secara faktual, situasi dan kondisi sekarang sangat tidak mungkin jika sebuah negara bisa berdiri sendiri tanpa bantuan atau peran dari negara lain.

Tidak bisa dipungkiri, sumberdaya alam dan teknologi yang berkembang pada masing-masing negara sangat berbeda satu sama lain. Walhasil, produksi barang dan jasa pada masing-masing negara akan berbeda-beda. Wajar jika saat ini, ada negara yang menjadi lumbung pertanian, namun miskin barang dan jasa yang berkait erat dengan teknologi. Ada juga negara yang karena industrinya berkembang cepat, membutuhkan banyak bahan mentah energi yang itu ada di negara yang lain. Masih banyak lagi contoh bahwa sebuah negara yang pada akhirnya membutuhkan negara yang lain dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasanya.

Jadi, pertukaran barang dan jasa antarnegara saat ini menjadi hal yang tidak bisa terelakkan. Masing-masing saling membutuhkan. Pertanyaan pentingnya adalah dengan siapa akan melakukan pertukaran ini? Bagaimana mekanismenya? Apakah pertukaran ini mensyaratkan menampakkan daya tawar tinggi atau kemuliaan diri ataukah justru sebaliknya, di bawah tekanan negara lain?

Ini semua ternyata dijawab dengan jelas dan gamblang oleh syariah Islam. Bahkan Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan contoh riil dalam pemberlakuan bea cukai ini.

Dalam Buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab, Dr. Muhammad Ash-Shalabi menuturkan bahwa pemberlakuan cukai untuk barang-barang ekspor dan impor zaman Khalifah Umar telah diterapkan. Nama petugas penarik cukai adalah Al-‘Asyir.1 Pajak model ini belum ada pada maaa Nabi Mulummad saw. dan Khalifah pertama Abu Bakar. Sebab, masa tersebut adalah masa penyebaran dakwah, jihad di jalan Allah dan proses pendirian Negara Islam.

Pada masa Umar bin al-Khaththab, wilayah Negara Islam semakin bertambah luas ke arah Barat maupun ke arah Timur.

Pertukaran barang Negara Khilafah dengan yang lain adalah merupakan suatu tuntutan. Hal ini harus dimanfaatkan untuk kepentingan umat. Khalifah Umar bin aI-Khaththab memiliki ide untuk menerapkan pajak atas barang yang masuk ke Negara Islam. Sebagaimana halnya negara-negara non-Islam menerapkan pajak terhadap para pedagang Islam yang datang ke tempat mereka. Tujuan lain dari Khalifah Umar adaIah untuk melakukan perlakuan yang sama.

Para ahli sejarah sepakat bahwa Khalifah Umar adaIah khalifah yang pertama menerapkan pajak 10% atas barang-barang impor.2 Kisahnya bermula ketika orang-orang Manbaj (sebuah wilayah  yang terletak di belakang Laut Aden) mengirim surat kepada Khalifah Umar yang berisi keinginan mereka untuk membawa harta perniagaan ke Negara Islam. Mereka bersedia membayar pajak sebesar 10 kepada Negara Islam. Setelah menerima surat tersebut, Khalifah Umar al-Faruq kemudian bermusyawarah dengan para Sahabat Nabi Muhammad saw. Mereka menyetujui keinginan para saudagar Manbaj tersebut.

Sebelum menentukan besaran cukai, Al-Faruq terlebih dulu ingin mengetahui seberapa besar negara non-lslam dalam mengambil cukai dari para pedagang Muslim yang masuk ke wilayah mereka. Khalifah bertanya kepada para saudagar Muslim yang mendatangi negara Etiopia, tentang berapa banyak negara tersebut mengambil pajak dari mereka. Mereka menjawab, “Mereka mengambil 10  dari dagangan kami.” Mendengar jawaban ini, Khalifah Umar menyuruh kepada para pegawainya untuk menarik pajak 10% dari barang dagangannya non-Muslim.3

Khalifah Umar juga bertanya kepada Utsman bin Hanif, “Berapa banyak orang kafir harbi mengambil dagangan jika kalian sampai ke negara mereka?” Jawab dia, “10%.” Mendengar jawaban ini, Khalifah Umar menginstruksikan kepada para pejabatnya untuk menarik pajak 10% atas barang dagangannya non-Muslim.4

Dari apa yang terjadi di atas Tampak bahwa terjadi Ijmak Sahabat (Kesepakatan Sahabat) tentang siapa yang dikenai bea cukai dan besarannya. Walau keputusan tentang pungutan bea cukai diambil oleh Khalifah Umar, sebelum pengambilan keputusan sudah dimusyawarakan terlebih dulu dengan para sahabat yang lain. Ketika diputuskan, tidak ada satupun sahabat yang menolak keputusan Khalifah Umar atau Sahabat mendiamkan. Kita tahu bahwa salah satu karakter dari Sahabat adalah ketika ada kemungkaran maka akan langsung mengoreksinya. Apalagi sampai melanggar syariah Islam.

Kondisi ini menjadi dalil bahwa pungutan bea cukai telah menjadi Ijmak Sahabat. Ijmak Sahabat atas bea cukai hanya dikenakan kepada negara kafir yang juga mengenakan cukai ke pedagang muslim ketika akan berdagang ke negeri kafir tersebut. Besaran cukai pun akan disamakan dengan besaran cukai yang dikenakan kepada pedagang Muslim.

Untuk memastikan pelaksanaan kebijakan penerapan bea cukai kepada pedagang dari negara kafir, Khalifah Umar membentuk bagian khusus bahkan mengangkat pegawai khusus. Petugas ini biasanya menjadi satu dengan petugas penarik zakat, jizyah dan kharajiyah. Khalifah Umar mengangkat pegawai penarik pajak cukai 10% sekaligus mengambil zakat dari para pedagang jika mencapai nishab dan genap satu tahun. Anas bin Malik berkata, “Umar bin al-Khaththab mengutusku untuk menarik pajak dari orang-orang lrak. Jika kekayaan orang Islam mcncapai 200 Dirham, ambillah darinya 5 Dirham. Jika lebih dari 200 Dirham, maka setiap kelipatan 40 pajaknya 1 Dirham.5

Menurut Asy-Syaibani, Khalifah Umar al-Faruk pernah mengutus Ziyad bin Jarir untuk menarik zakat dari penduduk ‘Ain at-Tamri. Khalifah Umar meminta dia untuk mengambil zakat, jizyah dan kharajiyah sebesar 2,5%, 5% dari Ahlul Dzimmah dan 10 % dari orang kafir harbi.” Gaji para ‘asyir (penarik zakat/pajak) dari harta yang mereka kumpulkan.6

Dari paparan di atas bisa diambil patokan jika nantinya Khilafah berdiri dan melakukan perdagangan dengan negara-negara kafir maka akan diberlakukan hal yang sama. Khilafah akan menerapkan pajak atas dagangan mereka yang masuk ke Negara Islam sebesar pajak yang mereka ambil dari pedagang Islam. Jika melakukan sebaliknya, yakni menghapuskan pajak maka Khilafah juga akan melakukan hal yang sama, yakni menghapus pajak.

Jadi, bisa kita pahami bahwa Khilafah dalam menghadapi perang dagang dengan negara kafir nantinya dengan penuh percaya diri bahkan menunjukkan kemuliaannya. Tidak akan pernah tunduk apalagi sampai di bawah tekanan asing. Tekanan yang akhirnya menunjukkan ketundukan bahkan sikap terjajah. Nurut semua dengan apa yang diinginkan oleh negara asing/kafir.

Namun, jika ada kondisi negara yang akhirnya menuntut pemenuhan atas barang tertentu karena memang ada kelangkaan di dalam negeri maka Khalifah akan menetapkan aturan cukai secara khusus. Khilafah, jika ingin mengimpor sebagian produk negara kafir karena memang ada kebutuhan yang harus terpenuhi di dalam negeri, dimungkinkan untuk memotong cukai atau bahkan membebaskan sama sekali. Agar produk-produk tersebut bisa segera masuk ke negeri Khilafah hingga di anggap cukup semua kebutuhan yang ada.

Khalifah Umar pernah menginstruksikan kepada para pegawainya untuk mengambil pajak sebesar 5% kepada orang-orang kafir harbi yang membawa minyak dan biji-bijian ke Hijaz. Dalam keadaan tertentu bahkan beliau menginstruksikan kepada para pegawainya untuk membebaskan pajak sama sekali kepada mereka.

Diriwavatkan oleh Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya bahwa Khalifah Umar menerapkan pajak 10% terhadap pakaian katun dan 5% terhadap gandum dan minyak dengan tujuan memperbanyak masukan barang-barang tersebut.7

Peraturan-peraturan yang dibuat oleh Khalifah Umar ini sangat bermanfaat dalam mempermudah proses pertukaran barang antara orang-orang Islam dengan non-Muslim. Banyak sekali barang-barang seperti kebutuhan pokok yang akhirnya masuk ke negara Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]

 

Catatan kaki:

       Ahlu Adz-Dzimati fi Al-Hadharati Al Islamiyah, hal. 63.

2        Abu Yusuf, Al Kharaj, hal 271 dan Iqthishodiyyatu Al-Harbi, hal. 23.

       Siyasatu Al-Mali fi Al-Islami, hal. 128.

       Mausu’ah Fikihi Umar bin Al-Khathab, hal. 651.

5        Muhammad Al-‘Imadi, At-Tijaratu wa Thuruquha fi Al-Jizirati Al-‘Arabiyyati, hal. 332.

       Al-Hayatu Al-Iqtishadiyyatu fi Al-‘Ushuri Al-Ula, hal. 101.

       Siyasatu Al-Mali fi Al-Islami, hal. 123.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen + 12 =

Back to top button