Tarikh

Kaidah Islam Dalam Memilih Pejabat Publik (Bagian Ketiga – Habis)

Kaidah kesembilan: Seseorang harus diuji sebelum diangkat sebagai pegawai. Hal ini dilakukan oleh Khalifah Umar, yang menunjukkan akan kehati-hatian beliau dalam memilih pembantunya. Tujuannya adalah agar benar-benar terpilih pejabat yang kompeten dalam bidangnya dan tampak terlihat nyata motivasi untuk menjadi pelayan masyarakat. Bukan untuk mengejar jabatan dan menumpuk kekayaan. Apalagi disalahgunakan oleh Khalifah untuk bagi-bagi jabatan sebagai balas jasa kepada koalisi politiknya ketika hasrat politiknya menjadi pimpinan menjadi kenyataan.

Pada masa Khalifah Umar, orang-orang sebelum diangkat sebagai pegawai, menurut Ahmad bin Qais, melalui proses uji. Kadang-kadang pengujian tersebut berlangsung dalam waktu yang lama. Dalam istilah sekarang melakukan pemagangan dulu. Ahmad berkata: Saya datang menghadap Umar ra. Dia kemudian memintaku untuk bersamanya selama satu tahun. Setelah satu tahun saya bersamanya, Umar al-Faruq berkata kepadaku,Saya telah mengujimu. Saya melihat kamu mengerjakan kebaikan ketika di hadapan orang. Saya mengharap kamu melakukan hal sama ketika tidak ada orang. Kami pernah membahas bahwa penyebab hancurnya umat ini karena orang munafik di antara mereka.”

Umar bin al-Khaththab bertanya kepada dia, “Tahukah kamu, mengapa saya menahanmu untuk selalu bersamaku?” Umar menjelaskan bahwa dia ingin mengujinya untuk dijadikan gubernur. Setelah menguji, Umar mengangkatnya sebagai gubernur.1

Apa yang dilakukan dan diucapkan Khalifah Umar adalah realitas dan hal yang sering terjadi pada pejabat, yakni mempunyai sifat munafik. Di hadapan orang, apalagi di hadapan rakyat banyak, ia bermanis muka. Seolah-olah mendengarkan dan perhatian terhadap apa yang disampaikan dan dikeluhkan oleh rakyat. Namun, itu semua hanyalah sandiwara. Dicitrakan dekat dengan masyarakat, namun sejatinya jauh dan tidak menghiraukan rakyatnya. Kebijakan dan tindakannya tidak untuk kepentingan rakyatnya, tetapi untuk kepentingan partainya dan atau kepentingan para konglongmerat yang menjadi bohirnya. Seperti kenaikan iuran BPJS, naiknya harga-harga pada layanan publik, penguasaan atas tambang-tambang yang diserahkan ke asing, dll. Tampak seperti dekat dengan rakyat, namun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan justru menyengsarakan rakyat. Hal inilah yang dikatakan oleh Khalifah Umar sebagai pejabat munafik. Inilah yang sejak awal mau diberantas dengan proses pengujian yang cermat, cepat dan tepat.

Di antara nasihat Khalifah Umar kepada Ahnaf, “Ahnaf, siapa yang sering tertawa, kewibawaannya berkurang. Siapa yang sering bercanda, dia akan diremehkan. Siapa yang sering melakukan sesuatu, dia akan paham. Siapa yang banyak bicara, dia banyak kesalahannya. Siapa yang banyak melakukan kesalahan, rasa malunya berkurang. Siapa yang mempunyai sedikit rasa malu, ia sangat jarang berlaku wira’i. Siapa yang jarang berlaku wira’i, hatinya akan mati.”2

Ini adalah pesan mendalam dari Khalifah Umar untuk para pegawainya, tanpa kecuali. Semuanya diminta untuk fokus melakukan pelayanan kepada masyarakat. Hal-hal yang mubah, namun tidak penting, agar sekuat tenaga dihindari karena memang akan berpotensi untuk menimbulkan hal-hal yang kurang baik, seperti sering tertawa, sering bercanda, banyak bicara dll. Apalagi ketika pejabat banyak bicara, namun tidak dalam kapasitasnya, justru malah membuat gaduh dan tuduhan tidak tepat. Seperti opini radikal yang lebih menyudutkan umat Islam, rencana membuat kebijakan larangan berpakaian celana cingkrang, pakai cadar, menghapus kurikulum syariat Islam karena di tuduh sudah basi, dll. Semua itu menunjukkan banyak bicara, membuat gaduh yang itu jauh dan menyelisihi dari fakta dan dalil syariah. Setelah dikritik oleh banyak pihak baru menyatakan bahwa itu baru rencana dan akan ditinjau ulang. Ini adalah salah satu contoh pejabat yang terlalu banyak bicara, namun tidak berdasarkan dalil. Akhirnya justru membuat kegaduhan dan menantang syariat Islam.

Kaidah kesepuluh: Mengangkat gubernur dari kaumnya. Khalifah Umar sering mengangkat gubernur dari kaumnya (putra daerah, pen.). Namun, putra daerah juga bukan semata-mata akhirnya menjadi syarat utama pejabat diangkat di daerah tertentu. Khalifah Umar melakukan hal ini jika ada kemaslahatannya dan orang-orang yang pantas untuk diangkat gubernur dari kasus tersebut. Artinya, Khalifah Umar akan mengangkat pejabat di suatu daerah dari putra daerah jika ada kemaslahatan yang lebih besar didapat. Alasannya, bisa jadi putra daerah lebih memahami situasi dan kondisi serta karakter masyarakat dan potensi daerahnya dibandingkan dengan yang lain. Namun, jika memang ada pejabat dari daerah lain yang mempunyai kriteria lebih dibandingkan dengan putra daerah, maka pejabat yang lebih kafa’ah dan amanahlah yang akan dipilih.

Khalifah Umar, misalnya, pernah mengangkat Jabir bin Abdullah al-Bajalli sebagai komandan pasukan Bajlah3 yang dikirim ke Irak. Umar juga mengangkat Salman al-Farisi sebagai gubernur Madain, Nafi’ bin Harist sebagai gubernur Makkah dan Utsman bin Abu al-Ash sebagai gubernur Thaif. Khalifah Umar berpikiran bahwa para gubernur yang diangkat dari kaumnya lebih mampu menyelesaikan masalah-masalah tertentu.4

Dari paparan awal hingga akhir tampak jelas bahwa syariah Islam memberi tuntunan yang jelas lagi rinci bagaimana memilih dan menyeleksi calon pejabat publik yang nantinya akan sepenuhnya melayani rakyatnya. Bukan pejabat yang justru mementingkan kepentingan pribadi, keluarga dan partainya semata. Kepentingan rakyat hanya sebagai jargon, kampanye dan bualan semata. Jauh dari apa yang diucapkan dengan realita yang terjadi.

Inilah yang menjadikan syariah Islam sebagai sistem yang sempurna dan paripurna. Salah satunya memberikan syariah yang jelas tentang bagaimana pejabat publik. Ini sekaligus juga menjadi jawaban, bahwa Islam juga mengatur tentang pemerintahan dan sistem bernegara. Bukan sekadar agama ritual semata. Jadi sangatlah aneh jika ada sebagian umat Islam yang mengatakan bahwa Islam tidak mengatur masalah pemerintahan. Justru fakta di atas menunjukkan bahwa Islam memberikan kaidah detail tentang bagaimana memilih pejabat publik.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]

 

Catatan kaki:

1        Al-Wilayah ‘ala Al-Buldan, jilid 1, halaman 142 dan Manaqib Amirul Mukminin, halaman 117

2        Sifatu Ash-Shafwa, jilid 1 halaman 278

3        Al-Wilayah ‘ala al-Buldan, jilid 1 halaman 142

4        Ibid

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve + 18 =

Back to top button