Persatuan Asia Tenggara Di Bawah Khilafah: Visi Politik Sultan Aceh (5)
Kronologi Ekspansi Belanda
Setelah mengemukakan status kedudukan kesultanannya yang senantiasa loyal kepada Khilafah Utsmaniyah, Sultan Manshur Syah beralih untuk membahas kondisi geografis negeri Jawi. “Sebagian daerah Timur terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil,” tulis Sultan Manshur Syah dalam suratnya yang berbahasa Arab. “Di antaranya adalah pulau kami, Sumatera; Pulau Borneo; Pulau Sunda, atau biasa juga disebut Pulau Jawa; juga Pulau Bugis. Setiap pulau terdiri dari berbagai negeri. Setiap negeri memiliki bandar-bandar di pesisir laut yang asin dan kota-kota yang sangat banyak di daratan.”1
Di surat yang dikirim setahun sebelumnya, Sultan Manshur Syah sudah mengemukakan bagaimana kondisi kehidupan masyarakat yang mendiami pulau-pulau tadi dalam bahasa Melayu: “Dahulu negeri Jawi sekaliannya orang Muslimin dan kuatlah dengan berbuat ibadah dan tetaplah agama Islam dan sambunglah kehidupan segala orang faqir dan miskin dan lainnya.”2
Bagi Sultan Manshur Syah, jauh sebelum dirinya hidup, penduduk negeri Jawi atau Asia Tenggara sudah begitu terikat dengan Islam, dengan syariat yang kokoh ditegakkan dan kehidupan sosial masyarakatnya yang seimbang dan tentram. Namun keadaan damai tersebut tidak selamanya bertahan. Dengan getir, Sultan Manshur Syah melanjutkan penuturannya:
Lalu Allah menghendaki segala yang Dia kehendaki. Telah datang satu golongan Nasrani yang disebut Belanda, atau disebut juga Flemenk. Mereka memasuki Pulau Sunda dan menetap di dalamnya, setelah dengan penuh makar dan tipudaya mereka membeli keridhaan sultan di sana dengan jumlah tertentu dari penghasilan setiap tahunnya. Setelah mereka memantapkan diri di Sunda barulah kemudian mereka mengurangi hak sultan dalam jumlah yang banyak di setiap tahunnya. Sampai kemudian mereka berhasil menguasai pulau secara keseluruhan berikut seluruh negerinya pula. Mereka mengangkat sultan-sultan dari pihak mereka. Pihak yang bersedia tunduk patuh kepada mereka dalam segala sesuatu mereka pertahankan di atas tahta kerajaan dengan (aturan) dari pihak mereka. Mereka juga mempermudah orang seperti itu untuk mengendalikan rakyatnya, memberi dia kekuasaan untuk merendahkan serta memperkerjakan rakyat dengan berbagai pekerjaan berat sepanjang hari. Orang yang tidak mau patuh kepada mereka dibuang ke tempat yang jauh.3
Kisah yang diceritakan Sultan Manshur Syah tentang kedudukan Belanda di Pulau Sunda (Jawa) adalah sejarah panjang yang terbentang selama 200 tahun. Itu semua bermula dari usaha serikat dagang para kapitalis Belanda di Hindia Timur, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), dalam merebut kota Jayakarta pada 30 Mei 1619 dan menjadikannya sebagai markas besar Kompeni Belanda dengan nama kota yang baru: Batavia.
Mapannya kedudukan Belanda di kota ini benar-benar menjadi duri dalam daging bagi para penguasa Muslim di Pulau Jawa. Beberapa sultan besar di Jawa pada abad ke-17, seperti Sultan ‘Abdullah Muhammad Maulana al-Matarami alias Sultan Agung Hanyokrokusumo (k. 1613-1645) dan Sultan Abu al-Fath ‘Abdul-Fattah al-Bantani alias Sultan Ageng Tirtayasa (k. 1651-1682), terang-terangan menyatakan kemuakkannya kepada perilaku politik culas Batavia. Pengepungan demi pengepungan mereka lakukan, namun sayang tetap tak mampu mengusir Belanda dari sana. Yang lebih menyedihkan lagi, sikap para pengganti Sultan Agung Mataram maupun Sultan Ageng Banten malah bersikap manis terhadap Belanda. Merekalah yang akhirnya menjadi target dari intervensi Kompeni Belanda dengan kedok perjanjian dagang dan upah atas dukungan Belanda pada kekuasaan mereka.4 Tentu, meminjam bahasa Sultan Manshur Syah dari Aceh, intervensi tersebut amat dipenuhi “makar dan tipudaya” (makran wa khadî’atan).
Karena itu makin mapanlah kekuasaan Belanda di Pulau Jawa secara de facto. Eksisnya Kesultanan Banten, Mataram—yang kemudian dipecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta—adalah karena “pihak yang bersedia tunduk patuh kepada mereka (Belanda) dalam segala sesuatu, mereka pertahankan di atas takhta kerajaan dengan (aturan) dari pihak mereka”.5
Ketika grup kapitalis VOC bangkrut dan bubar pada 1 Januari 1800, Batavia dan seluruh aset tidak bergerak di Asia Tenggara diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Beberapa tahun kemudian, negeri Belanda di Eropa sana berhasil ditaklukkan oleh Napoleon Bonaparte (k. 1804-1815) dari Prancis. Pemerintahan Napoleon di Belanda mengirim H.W. Daendels pada 1808 untuk menjadi Gubernur Jenderal di Jawa. Daendels yang lalim pun memerintahkan para penguasa Jawa untuk memaksa rakyatnya membuat proyek Jalan Raya Pos (Grote Postweg), yaitu sebuah jalan raya raksasa yang terbentang dari Anyer sampai Panarukan.6
Tentu perselingkuhan para penguasa Jawa dengan Belanda telah membuat berang kaum Muslim di pulau ini, karena Belanda telah, menurut Sultan Manshur Syah, “memberikan para penguasa Jawa itu kekuasaan untuk merendahkan serta memperkerjakan rakyat dengan berbagai pekerjaan berat sepanjang hari”. Karena itu banyaklah gerakan-gerakan Muslim yang “tidak mau patuh kepada mereka” dan mengobarkan jihad di jalan Allah untuk melenyapkan mereka. Yang paling masyhur di antaranya adalah perlawanan rakyat semesta Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro (1785-1855). Beliau menyatakan perang melawan ‘kapir’ Belanda dan sekutu-sekutu mereka dari kalangan Jawa, ‘kapir murtad’.7
Walau harus membayar korban nyawa sebanyak 15.000 orang dari pihaknya,8 Belanda berhasil menang perang pada tahun 1830. Setelah itu Pangeran Diponegoro dan para panglimanya, sebagaimana yang dijelaskan Sultan Manshur Syah dari Aceh, “dibuang ke tempat yang jauh”.9
Sistem Tanam Paksa
Setelah tahun 1830, Belanda menguasai Jawa tanpa adanya lagi perlawanan-perlawanan yang berarti. Makin menjadi-jadilah kelaliman mereka terhadap kaum Muslim Jawa. Dalam suratnya yang berbahasa Arab, Sultan Manshur Syah melanjutkan laporannya kepada Khalifah Abdülmecid I di Istanbul: “Mereka juga memberikan kewenangan untuk rakyat melalimi sesamanya sehingga mereka berhasil merendahkan seluruh penduduk Pulau di setiap negerinya. Sebagian rakyat ada yang direkrut untuk menjadi tentara. Sebagian yang lain dijadikan kuli pikul. Lainnya lagi, laki-laki dan wanita, diperkerjakan untuk menanam dan mencabut, dan rakyat dikenakan denda dalam jumlah yang sudah ditentukan.”
Menurut data yang dilansir Kartodirdjo dari laporan Raffles dalam The History of Java, penduduk Jawa pada abad ke-19 berjumlah 4.615.270. Di antaranya lebih dari 1,5 juta hidup di daerah Kesultanan dan sekitar 3 juta ada di daerah yang langsung diperintah oleh pemerintah kolonial Belanda.10
Banyak dari rakyat Jawa yang direkrut paksa oleh Belanda untuk menjadi tentara mereka. Pada tahun 1810, Daendels berhasil memiliki pasukan berkekuatan 18.000 tentara yang sebagian besar terdiri dari rakyat Jawa; walau banyak dari mereka yang desersi alias kabur dari dinas ketentaraan yang dipaksa Daendels. Bahkan jumlah orang Jawa yang desersi dari pasukan Daendels mencapai 70 orang perhari.11
Amat tepat bahasa yang digunakan Sultan Manshur Syah, bahwa banyak rakyat Jawa yang “laki-laki dan perempuannya dipekerjakan untuk menanam dan mencabut”. Ya, Sultan Manshur Syah sedang membicarakan kebijakan ekopol “Sistem Tanam Paksa” yang di-framing oleh Van den Bosch dengan istilah pencitraan humanis penuh hoax: “Sistem Budidaya” (cultuurstelsel). Memang, pasca-menghadapi amukan Diponegoro, pemerintah kolonial Belanda menghadapi masa-masa bokek setelah jutaan gulden-nya terbakar menjadi mesiu dan bahan bakar perang yang menagih kematian ribuan pasukannya. Karena itu, untuk memasok kembali kas negaranya, Belanda menjalankan pemikiran ekopol semau gue ala Van den Bosch yang memaksa rakyat Jawa menanam berbagai tanaman yang keuntungan panennya dinikmati elit-elit Batavia belaka. Selama rentang tahun 1841-1850, Belanda menerima keuntungan sebesar 14.100.000 gulden. Sebuah nominal raksasa yang harus dibayar ribuan nyawa penduduk karena kelaparan. Salah satu kabupaten di Cirebon, misalkan, antara tahun 1843 sampai 1848 saja jumlah penduduknya berubah dari yang tadinya berpopulasi 336.000 menjadi 120.000 jiwa. Di kabupaten lain 89.500 menjadi 9.000. Banyak jiwa Muslim Jawa yang melayang karena mereka dipaksa menahan lapar dan memproduksi pangannya sendiri untuk mengejar target produksi yang diwajibkan Batavia.12 [Bersambung] [Nicko Pandawa]
Catatan kaki:
1 BOA. I.HR, 73/3511 (2)
2 BOA. I.HR, 66/3208 (6)
3 BOA. I.HR, 73/3511 (2)
4 M.C. Ricklefs, dkk., Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), 238-245
5 BOA. I.HR, 73/3511 (2)
6 M.C. Ricklefs, dkk., Sejarah Asia Tenggara, 294; Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), 291
7 Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the end of an Old Order in Java, 1785-1855, (Leiden: KITLV Press, 2008), 245
8 M.C. Ricklefs, dkk., Sejarah Asia Tenggara, 298
9 BOA. ف.HR, 73/3511 (2)
10 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 289
11 Peter Carey, The Power of Prophecy, 175-177
12 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 312