Pemilihan Anggota Majelis Umat, Telaah Kitab Muqaddimah Dustur Pasal 106-107
Anggota Majelis Umat dipilih melalui pemilihan (al-intikhâb), bukan pengangkatan (al-ta’yîn). Sebab, kedudukan anggota Majelis Umat adalah wakil umat dalam hal penyampaian pendapat. Akad wakalah (perwakilan) dianggap absah ketika seseorang diberi kewenangan atau hak oleh pemilik hak untuk mewakili dirinya dalam suatu urusan.
Rakyat adalah pemilik sah hak aspirasi dan pendapat. Mereka berhak menggunakan hak-hak mereka secara mandiri atau mewakilkannya kepada orang lain. Pada saat umat menyerahkan atau mewakilkan haknya kepada seseorang. Karena itu wakil (orang yang mewakili) berhak mewakili umat dalam perkara-perkara yang diwakilkan. Adapun orang yang tidak dipilih umat untuk mewakili urusan mereka tidak memiliki hak mewakili urusan-urusan umat. Atas dasar itu, seseorang baru dianggap absah menjadi anggota Majelis Umat ketika ia dipilih oleh umat sebagai wakil mereka dalam hal penyampaian pendapat.
Anggota Majelis Umat merupakan representasi dari individu-individu atau kelompok-kelompok yang ada di tengah-tengah masyarakat dalam hal penyampaian pendapat. Orang yang menjadi representasi masyarakat yang hidup dalam wilayah yang luas dan penduduknya tidak dikenal tidak mungkin bisa diketahui kecuali dengan memilih orang yang merepresentasikan umat di wilayah tersebut. Dengan adanya pemilihan (al-intikhâb), akan diketahui siapa yang menjadi wakil atau representasi masyarakat di wilayah tersebut.
Nabi Muhammad saw., dalam memilih orang-orang yang akan beliau jadikan rujukan dalam hal penyampaian pendapat, memilih berdasarkan kemampuan, profesionalitas dan personalitas mereka. Beliau memilih berdasarkan pertimbangan “siapa yang dianggap sebagai representasi dari suatu kaum”.
Di dalam kitab-kitab sirah dituturkan sebuah riwayat bahwa setelah Baiat ‘Aqabah II (Baiat Perang), beliau menunjuk 12 orang sebagai wakil dari kaumnya. Rasulullah saw. berkata, “Pilihlah 12 orang wakil dari kalian untuk menjadi penjamin bagi kaumnya masing-masing sebagaimana halnya orang-orang Hawariyyun menjadi penjamin bagi Isa ibn Maryam, sementara aku sendiri menjadi penjamin bagi kaumku.”
Lalu mereka segera memilih dua belas orang wakil mereka.
Dua belas orang yang dikehendaki Nabi saw. bukan berasal dari penunjukkan beliau, tetapi berdasarkan pilihan kaum Muslim. Mereka memilih orang-orang yang dianggap sebagai wakil atau representasi kaum mereka, atas dasar inisiatif mereka sendiri.
Riwayat ini menunjukkan bahwa anggota Majelis Umat dipilih berdasarkan pemilihan (intikhâb), bukan penunjukkan dari kepala negara. Seseorang baru absah menjadi anggota Majelis Umat ketika dipilih oleh umat untuk mewakili mereka dalam urusan penyampaian pendapat.
Pemilihan anggota Majelis Umat melalui tahapan-tahapan sebagai berikut.
Pertama: Di setiap wilayah dipilih anggota Majelis Wilayah. Anggota Majelis Wilayah merupakan representasi atau wakil penduduk yang ada di sebuah wilayah. Mereka dipilih untuk dua tujuan: (1) Menyampaikan informasi-informasi kepada Wali (kepala daerah tingkat I (wilayah) yang berkaitan dengan realitas wilayah dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Informasi-informasi ini tentu akan membantu Wali dalam memenuhi dan menjamin kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang ada di wilayahnya. (2) Menampakkan keridhaan dan keluhan masyarakat terhadap pemerintahan Wali. Keluhan-keluhan dan pengaduan-pengaduan Majelis Wilayah atas pemerintahan seorang Wali bisa menyebabkan seorang wali bisa dicopot dari tampuk kepemimpinan.
Kedua: Setelah pemilihan anggota Majelis Wilayah selesai, anggota Majelis Wilayah memilih anggota Majelis Umat dari kalangan mereka sendiri. Mekanisme seperti ini dibuat untuk menghemat waktu dan biaya serta untuk tidak menyibukkan masyarakat dengan adanya pemilihan yang diulang-ulang. Anggota Majelis Wilayah yang terpilih menjadi anggota Majelis Umat, kedudukannya dalam Majelis Wilayah digantikan oleh orang yang mendapat perolehan suara satu tingkat di bawahnya pada saat pemilihan anggota Majelis Wilayah. Adapun jika di peringkat itu diduduki oleh dua orang, arena perolehan suaranya sama, maka keduanya diundi.
Dengan demikian anggota Majelis Wilayah dipilih secara langsung oleh umat, sedangkan anggota Majelis Umat dipilih oleh anggota-anggota Majelis Wilayah. Kekosongan anggota Majelis Wilayah, akibat terpilih menjadi anggota Majelis Umat, akan diisi oleh orang-orang yang menduduki peringkat di bawahnya pada saat pemilihan anggota Majelis Wilayah.
Ahludz dzimmah (kafir dzimmiy) memilih wakil mereka di Majelis Wilayah. Wakil-wakil mereka yang duduk di Majelis Wilayah memilih di antara mereka untuk duduk di Majelis Umat.
Dari sisi berapa jumlah anggota Majelis Wilayah dan Majelis Umat yang dibutuhkan oleh Daulah Khilafah, maka semua itu didasarkan pada komposisi penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk Daulah Khilafah Islamiyah, maka jumlah anggota Majelis Umat juga bertambah.
Awal dan akhir masa keanggotaan Majelis Umat sama dengan Majelis Wilayah. Masa keanggotaan Majelis Umat dan Wilayah diatur berdasarkan ijtihad Khalifah dengan tetap mempertimbangkan usulan dan aspirasi kaum Muslim.
Khilafah adalah negara yang dari sisi kewilayahan merupakan satu kesatuan dari Wilayah. Tiap-tiap Wilayah dibagi-bagi lagi menjadi al-‘amalah. Wilayah dipimpin oleh seorang wali atau amir, sedangkan al-‘amalah (daerah tingkat II) dipimpin oleh seorang ‘amil. Mekanisme praktis pemilihan anggota Majelis Wilayah dilakukan di setiap Wilayah (daerah tingkat I). Wali di suatu Wilayah diberi kewenangan untuk mengatur hal-hal teknis yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan anggota Majelis Wilayah di Wilayahnya. Hal ini berdasarkan arahan-arahan dari Khalifah atau orang yang diberi kewenangan oleh Khalifah untuk mengatur jalannya pemilihan anggota Majelis Wilayah maupun Majelis Umat.
Setelah terpilih anggota Majelis Wilayah di tiap-tiap Wilayah, anggota Majelis Wilayah di Wilayah melakukan pemilihan di antara mereka sendiri, siapa yang akan mewakili Wilayah tersebut untuk duduk dalam keanggotaan Majelis Umat. Adapun berapa jumlah orang yang dipilih untuk menjadi anggota Majelis Umat dari tiap-tiap Wilayah ditentukan berdasarkan komposisi jumlah penduduk di wilayah tersebut.
Keanggotaan Majelis Umat dan Wilayah
Setiap warga negara yang balig dan berakal berhak menjadi anggota Majelis Umat atau Majelis Wilayah, baik laki-laki maupun perempuan, Muslim maupun kafir. Hanya saja, keanggotaan orang-orang non-Muslim terbatas pada penyampaian pengaduan tentang kezaliman penguasa; atau penyimpangan dalam penerapan dan pelaksanaan hukum-hukum Islam. Alasannya, Majelis Umat dan Wilayah tidak termasuk jabatan pemerintahan dan kekuasaan. Karena itu perempuan dan orang kafir boleh menjadi anggota Majelis Umat.
Tugas dan kewenangan Majelis Umat dan Wilayah tidak masuk dalam kategori tugas yang dilarang dalam hadits riwayat dari Abu Bakrah ra.:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan pemerintahannya kepada seorang perempuan (HR al-Bukhari).
Tugas Majelis Umat dan Wilayah adalah syura (musyawarah) dan muhâsabah (koreksi). Keduanya adalah hak bagi laki-laki maupun perempuan.
Pada tahun ke-13 kenabian, Rasulullah saw. pernah didatangi 75 kaum Muslim. Mereka adalah 73 laki-laki dan 2 perempuan. Mereka membaiat Rasulullah saw di Bukit Aqabah dengan bai’at al-harb (baiat perang). Setelah baiat selesai, Rasulullah saw. memerintahkan mereka untuk memilih 12 orang sebagai wakil dari kaum mereka. Beliau bersabda, dalam hadis panjang yang dituturkan dari Kaab bin Malik ra., “Pilihlah untukku dari kalian 12 orang wakil yang mewakili atas kaum mereka.” (HR Ahmad).
Perintah Nabi saw. di sini ditujukan untuk semua orang yang hadir dalam baiat tersebut, baik laki-laki maupun wanita. Tidak ada takhshîsh (pengkhususan) atas perintah tersebut hanya berlaku bagi laki-laki. Perintah Nabi saw. berlaku umum, baik bagi sahabat laki-laki maupun wanita. Kaum wanita juga terkena perintah tersebut. Dengan demikian kaum wanita juga berhak untuk memilih atau dipilih untuk mewakili kaumnya.
Selain itu baiat yang dilakukan para wanita tersebut terkait dengan urusan politik atau kekuasaan. Hadis di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada larangan bagi wanita untuk membaiat seseorang menjadi kepala negara, atau melibatkan diri dalam urusan-urusan politik, selain urusan yang dilarang oleh syariah, yakni menjadi kepala negara, atau menduduki jabatan yang termasuk dalam kategori kekuasaan dan pemerintahan, seperti menjadi mu’awwin, wali, qâdhi qudhât dan lain sebagainya.
Setelah peristiwa Baiat al-Ridhwan di Hudaibiyyah, Rasulullah saw. juga dibaiat oleh para wanita (Lihat: QS Al-Mumtahanah [60]: 12).
Baiat yang dilakukan oleh para wanita di sini juga terkait dengan urusan kekuasaan, yakni janji setia bahwa mereka tidak akan membangkang kepada Nabi saw. dalam kemakrufan.
Semua ini menunjukkan bahwa wanita memiliki hak politik untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi. Jika demikian keadaannya, wanita berhak menyampaikan aspirasi dan pendapatnya secara langsung, atau mewakilkannya kepada orang lain. Mereka berhak memilih wakil atau dipilih untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat. Ini menunjukkan bahwa wanita berhak menjadi anggota Majelis Umat atau Wilayah.
Selain itu, ditetapkan di dalam riwayat sahih bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., tatkala menghadapi persoalan-persoalan, baik yang terkait dengan urusan hukum syariah, kekuasaan, atau aktivitas-aktivitas negara, beliau biasa mengumpulkan kaum Muslim di Masjid, baik laki-laki dan wanita untuk dimintai pendapat. Di dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa beliau menarik kembali pendapatnya dalam urusan pembatasan mahar, ketika ada seorang wanita membantahnya.
Adapun kebolehan orang kafir menjadi anggota Majelis Umat atau Wilayah ditetapkan berdasarkan firman Allah SWT:
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Karena itu bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak tahu (QS an-Nahl [16]: 43).
Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “ahl adz-dzikr” di sini adalah Ahlul Kitab. Ahlul Kitab adalah orang-orang kafir. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm).
Allah SWT memerintahkan kaum Muslim bertanya kepada Ahlul Kitab. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki hak untuk menyampaikan pendapat mereka.
Hanya saja, orang kafir tidak memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dalam masalah hukum syariah. Sebab, syariah Islam merupakan hukum yang lahir dari akidah Islam, dan digali dari dalil-dalil syariah yang bersumber dari Allah SWT. Hukum syariah juga diterapkan untuk mengatur urusan manusia berdasarkan sudut pandang Islam. Dalam hal ini orang kafir tentu menyakini akidah yang bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu mereka tidak boleh menyampaikan pendapat dalam masalah hukum syariah.
Orang kafir juga tidak memiliki hak untuk memilih seorang khalifah. Mereka pun tidak memiliki hak membatasi calon-calon yang akan diangkat sebagai khalifah. Pasalnya, orang-orang kafir tidak memiliki hak dalam urusan kekuasaan (al-hukm). Allah SWT berfirman:
وَلَن يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لِلۡكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ سَبِيلًا
Sekali-kali Allah tidak akan pernah menjadikan jalan bagi orang-orang kafir menguasai kaum Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Setelah memaparkan berbagai versi penafsiran ulama ahli tafsir atas kata [sabîlâ:jalan], Syaikh Wahbah Zuhaili dalam At-Tafsîr al-Munîr menyatakan: “Di antara maknanya—yang saya anggap kuat—adalah Allah SWT tidak menjadikan jalan bagi orang-orang kafir menghapus negara kaum Mukmin, melenyapkan pengaruh-pengaruh mereka dan menciderai kehormatan-kehormatan mereka.”
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani ra. lebih lanjut menjelaskan bahwa penggunaan huruf [lan] yang berfaedah penafian abadi menunjukkan “ketidakmungkinan orang kafir menguasai orang Mukmin”. Hanya saja, dalam realitasnya kaum Muslim pernah dikuasai orang-orang kafir. Andalusia dan negeri-negeri kaum Muslim banyak yang telah dikuasai oleh orang-orang kafir.
Atas dasar itu, maksud ayat tersebut adalah kaum Mukmin haram dikuasai oleh kaum kafir. Penafsiran seperti ini untuk menyelamatkan al-Quran dari kontradiksi dengan realitas, dan masuk dalam kategori dalâlah al-iqtidhâ‘.
Adapun selain dua perkara di atas, kedudukan orang kafir sama dengan kaum Muslim dalam menyampaikan pendapat dan aspirasi.
WalLâhu al-Musta’ân wa Huwa Waliyyu at-Tawfîq. [Gus Syams]