Telaah Kitab

Telaah Kitab: Ketentuan Menyewakan Lahan Pertanian (Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 135)

Telaah Kitab kali ini mengkaji Pasal 135 mengenai larangan menyewakan tanah pertanian. Redaksi pasal tersebut berbunyi:

يُمْنَعُ تَأْجِيْر اْلأَرْضِ لِلزِّرَاعَةِ مُطْلَقاً سَوَاءٌ أَكَانَتْ خَرَاجِيَّةً أَمْ عُشْرِيَّةً، كَمَا تُمْنَعُ الْمُزَارَعَةُ . أَمَّا الْمُسَاقَاة فَجَائِزَة مُطْلَقا .

Dilarang menyewakan tanah untuk pertanian secara mutlak, baik tanah kharajiyyah maupun ‘usyriyyah, sebagaimana muzâra’ah juga dilarang. Adapun musâqât boleh.

 

Dalil yang mendasari pasal ini cukup banyak. Seluruhnya menunjukkan larangan menyewakan lahan pertanian.

Rafi’ bin Hudaij berkata: Pada zaman Rasulullah saw. kami melakukan mukhabarah (mengarapkan tanah lahan kepada orang lain atas perjanjian bagi hasil). Pada suatu hari ia didatangi oleh salah seorang pamannya yang memberitahu bahwa Rasullah saw. melarang suatu perbuatan yang sebenarnya bermanfaat bagi mereka. Jika mentaati larangan beliau pasti akan memperoleh manfaat yang lebih besar. Rafi’ bertanya, “Larangan mengenai apa?” Pamannya menjawab: Rasulullah saw. telah bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَه أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا وَلاَ يُكْرِيْهَا بِثُلُثٍ وَلاَ بِرُبُعٍ وَلاَ بِطَعَامٍ مُسَمَّى

Siapa saja yang mempunyai lahan hendaklah ia tanami dan tidak ia sewakan dengan sepertiga, seperempat atau dengan bahan pangan tertentu (HR Abu Dawud).

 

Abdullah bin Umar ra. juga berkata:

مَا كُنَّا نَرَى بِالْمُزَارَعَةِ بَأْساً حَتَّى سَمِعْنَا رَافِعٌ بْنُ خُدَيْجٍ يَقُوْلُ: نَهَى رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا

Pada mulanya kami berpendapat bahwa bagi hasil atas lahan (muzâra’ah) tidak ada salahnya, tetapi kemudian Rafi’ bin Hudaij memberitahu bahwa Rasulullah saw. melarang hal itu (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Nasa’i).

 

Jabir ra. juga mengatakan:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَن الْمُخَابَرَةِ

Rasulullah saw. telah melarang mukhâbarah (bagi hasil) (HR Muslim).

 

Mukhâbarah dan muzâra’ah memiliki makna yang sama, yakni bagi hasil atas lahan pertanian.

Jabir ra. juga mengatakan:

كَانُوْا يَزْرَعُوْنَهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ

Orang-orang pernah melakukan muzâra’ah (bagi hasil tanah lahan) dengan sepertiga, seperempat, atau setengah.  Lalu Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang mempunyai tanah, hendaknya ia tanami atau ia berikan kepada orang lain. Jika ia tidak mau melakukan hal itu, hendaknya ia menahan tanahnya.” (HR al-Bukhari).

 

Zaid bin Tsabit ra. juga mengatakan:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُخَابَرَةِ قُلْتُ: وَمَا الْمُخَابَرَةُ ؟ قَالَ: أَنْ تَأْخُذَ الْأَرْضَ بِنِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ رُبْعٍ

Rasullah saw. telah melarang mukhâbarah (bagi hasil). Zaid bertanya, “Apa itu mukhâbarah?” Ia menjawab, “Seseorang yang mengambil setengah, atau sepertiga, atau seperempat dari hasil tanahnya.” (HR Abu Dawud).

 

Dalam riwayat lain dari Dhuhair bin Rafi’ dituturkan:

دَعَانِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : مَا تَصْنَعُوْنَ بِمَحَافِلِكُمْ؟ قُلْتُ : نُؤَجِّرُهَا عَلَى الرُّبُعِ أَوْ عَلَى اْلأَوْسَقِ مِنَ التَّمَرِ وَالشَّعِيرِ. قَال: لاَ تَفْعَلُوْا، اِزْرَعُوْهَا أَوْ أَمْسِكُوْهَا

Rasulullah saw. pernah memanggilku seraya bersabda, “Apakah yang kalian lakukan dengan tanah ladang kalian?” Aku menjawab, “Kami menyewakan tanah dengan seperempat atau kadang-kadang dengan beberapa wasq (1 wasq=130,56 kg) kurma atau gandum.” Beliau bersabda, “Jangan kalian lakukan. Tanamilah tanah kalian atau tahanlah.” (HR Muttafaq ‘alayhi).

 

Abu Said ra. meriwayatkan:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَن الْمُحَاقَلَةِ

Rasulullah saw. melarang al-muhâqalah (HR an-Nasa’i dan Muslim).

 

Muhâqalah adalah menyewakan lahan dengan hinthah (gandum).

Rasulullah saw. pun telah bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحَهَا، فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ

Siapa saja yang memiliki lahan, hendaklah ia tanami atau ia memberikan tanah itu kepada orang lain. Jika ia menolak, tahanlah (sita) tanahnya (HR al-Bukhari).

 

Di dalam Shahîh Muslim juga dituturkan:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُؤْخَذَ لِلْأَرْضِ أَجْرٌ أَوْ حَظٌّ

Rasulullah saw. telah melarang mengambil sewa atau bagian atas tanah (HR Muslim).

 

Di dalam Sunan an-Nasâ’i juga dituturkan:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِذًا نُكْرِيهَا بِشَيْءٍ مِنْ الْحَبِّ، قَالَ: لا، قَالَ: وَكُنَّا نُكْرِيهَا بِالتِّبْنِ، فَقَالَ: لا، وَكُنَّا نُكْرِيهَا عَلَى الرَّبِيعِ، قَالَ: لا، ازْرَعْهَا أَوْ امْنَحْهَا أَخَاكَ

Rasulullah saw. telah melarang menyewakan tanah.  Kami berkata, “Ya Rasulullah, jika demikian kami akan menyewakannya dengan biji-bijian.”  Beliau menjawab, “Jangan.”  Usaid bin Dhuhair  berkata, “Kami akan menyewakannya dengan jerami.  Beliau  bersabda, “Jangan.” Usaid bin Dhuhair berkata, “Kami akan menyewakannya dengan ar-rabî` (sungai atau wadi). Beliau bersabda, “Jangan.  Garaplah lahan itu atau berikan kepada saudaramu.” (HR an-Nasa’i).

 

Abdullah bin ‘Umar ra. pernah bertemu dengan Rafi` bin Khudaij ra. dan bertanya kepada dia.  Rafi’ bin Khudaij berkata:

سَمِعْتُ عَمَّيَّ وَكَانَا قَدْ شَهِدَا بَدْرًا يُحَدِّثَانِ أَهْلَ الدَّارِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ كِرَاءِ الْأَرْضِ

Aku pernah mendengar dua pamanku, keduanya ikut dalam Perang Badar, berkata, “Sungguh Rasulullah saw. telah melarang menyewakan tanah.” (HR Muslim).

 

Disebutkan di dalam riwayat tersebut bahwa Abdullah bin Umar ra. lalu meninggalkan sewa lahan.

Hadis-hadis di atas dengan sharih menyebutkan larangan menyewakan lahan (ta’jîir al-ardh).  Memang larangan (an-nahyu) konteks asalnya hanya berfaedah pada tuntutan untuk meninggalkan. Namun, qarînah-qarînah di dalam riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bahwa tuntutannya bersifat pasti.  Atas dasar itu, hukum menyewakan lahan adalah haram.

Adapun keharaman muzara’ah, Imam Abu Dawud mengeluarkan sebuah riwayat dari Jabir yang berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ لَمْ يَذَرٍ الْمُخَابَرَةِ فَلْيُؤَذِّنْ بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ

Siapa saja yang tidak meninggalkan mukhâbarah, berarti ia telah memproklamirkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya (HR Ibnu Hibban dan al-Hakim).

 

Larangan penyewaan tanah secara mutlak ditunjukkan dalam redaksi hadis riwayat Imam an-Nasa’i:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كِرَاءِ الْأَرْضِ. قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذًا نُكْرِيهَا بِشَيْءٍ مِنْ الْحَبِّ. قَالَ: لَا. قَالَ: وَكُنَّا نُكْرِيهَا بِالتِّبْنِ. فَقَالَ: لَا. قال: كُنَّا نُكْرِيهَا عَلَى الرَّبِيعِ. قَالَ: لَا، ازْرَعْهَا أَوْ امْنَحْهَا أَخَاكَ

Rasulullah saw. melarang menyewakan tanah.  Kami berkata, “Ya Rasulullah, jika demikian kami akan menyewakannya dengan biji-bijian.” Beliau  menjawab, “Jangan.” Usaid bin Dhuhair  berkata, “Kami akan menyewakannya dengan jerami.”  Beliau bersabda, “Jangan.” Usaid bin Dhuhair berkata, “Kami akan menyewakannya dengan ar-rabi` (sungai atau wadi).  Beliau bersabda, “Jangan.  Garaplah lahan itu atau berikan kepada saudaramu.” (HR an-Nasa’i).

 

Hadis ini menunjukkan dengan sangat jelas larangan kirâ‘ al-ardh (penyewaan lahan) secara mutlak.  Pada saat para Sahabat hendak memberikan batasan-batasan atas larangan penyewaan, beliau dengan tegas menolak.

Di dalam hadis di atas juga dijelaskan bahwa pemilik lahan pertanian hanya diberi opsi menggarap lahannya, atau memberikan lahannya kepada orang lain jika ia sudah tidak mampu lagi menggarap lahan tersebut. Atas dasar itu,  penyewaan lahan pertanian dengan kompensasi apapun merupakan perkara yang dilarang di dalam syariah Islam.

Di antara ketentuan penting yang berhubungan dengan lahan pertanian adalah kewajiban pemilik lahan untuk menggarap lahannya secara maksimal.  Pemilik lahan pertanian wajib menggarap lahannya agar kepemilikan atas lahan tersebut tetap terjaga.  Jika ia sudah tidak sanggup lagi menggarap lahannya, hendaknya ia memberikan lahan miliknya kepada orang lain.  Ia dilarang menyewakan lahannya dengan kompensasi apapun secara mutlak.   Ia juga dilarang melakukan muzâra’ah (bagi hasil atas lahan) dengan prosentase tertentu.

Hukum syariah seperti ini tidak saja menjaga produktivitas lahan pertanian secara maksimal. Ini juga mendorong para pemilik lahan pertanian untuk bekerja keras dan menggarapnya hingga batas akhir dari kesanggupannya.   [Gus Syams]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − fifteen =

Back to top button