Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Migas dalam Islam
Rancangan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi Undang-undang (UU) masih banyak menuai kritik bahkan demonstrasi yang meluas dari berbagai kalangan. Beberapa pasal dianggap membuka karpet merah untuk asing, menguntungkan pengusaha dan merugikan pekerja/buruh. Draft final yang diserahkan oleh Tim Perumus per tanggal 9 Oktober 2020 terdiri dari 1052 pasal. Tulisan ini akan membahas sebagian pasal atau bab yang ada di UU Omnibuslaw Ciptaker yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya laut, migas dan ketenagakerjaan. Tulisan ini akan membahas kritik terhadap undang-undang tersebut sekaligus solusi pengelolaan sumberdaya laut dan migas menurut Sistem Ekonomi Islam.
Pengelolaan Sumberdaya Laut dalam UU Ciptaker
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) secara tegas menolak UU Cipta Kerja yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). UU tersebut akan merugikan masyarakat dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, UU ini memberikan sentralisasi kewenangan kepada pemerintah pusat yang dapat mengurangi fungsi kontrol terhadap tingkat eksploitasi sumberdaya kelautan dan perikanan. Pada Pasal 7 hal 41 menyebutkan RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Padahal Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga teknis yang mumpuni dan berwenang dalam hal pengelolaan perikanan. Kewenangan yang sangat besar di Pemerintah Pusat, jika tidak didukung dengan good governance, berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Kedua, perizinan disederhanakan untuk kepentingan investor dan pelaku usaha besar.
Simplifikasi perizinan yang diatur oleh RUU Cipta Kerja dapat mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem. Perubahan membuat perizinan berusaha hanya diwajibkan untuk usaha tertentu, yakni yang dianggap berdampak tinggi. Perubahan yang tidak kalah merugikan adalah beralihnya izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Hal ini berpotensi mengurangi esensi pengawasan, pengendalian dan pencegahan. Hingga saat ini, Pemerintah telah menetapkan 15 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) demi mendukung investasi. Bila dipadukan dengan RUU Cipta Kerja, kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun, dan terumbu karang) yang menjadikan jutaan nelayan menggantungkan hidupnya menjadi ancaman nyata.
Ketiga, terdapat indikasi bahwa operasi kapal asing untuk menangkap ikan di ZEE Indonesia akan dibuka pasca-RUU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja mempertahankan ketentuan mengenai kapal asing yang ada pada UU Perikanan, tetapi menghapuskan kewajiban penggunaan ABK Indonesia sebanyak 70% perkapal.
Keempat, perubahan sistem perizinan menjadi risk-based approach (pendekatan berbasis risiko) tidak didukung dengan penentuan kelembagaan dan metodologi yang jelas dan kredibel. Akibatnya, penentuan risiko dikhawatirkan dapat bersifat subjektif. Dampaknya, kegiatan usaha yang tidak dianggap berisiko tinggi tidak diwajibkan untuk memiliki izin.
Kelima, penghapusan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN) yang mereduksi peran sains dalam pertimbangan perumusan kebijakan. Komnas KAJISKAN merupakan lembaga independen yang berwenang mengkaji potensi perikanan di Indonesia secara ilmiah. Tanpa lembaga tersebut, penentuan potensi dapat diintervensi oleh kepentingan politik dan hasil kajian tidak kredibel.
Keenam, perubahan definisi nelayan kecil yang tidak lagi membatasi ukuran kapal dapat mengurangi esensi affirmative action terhadap nelayan kecil. Dengan definisi yang tidak jelas, nelayan-nelayan yang sekarang tidak tergolong sebagai nelayan kecil nantinya bisa mencuri keuntungan yang awalnya menjadi hak nelayan kecil, seperti subsidi nelayan kecil dan area tangkap dekat pantai).
Ketujuh, RUU Cipta Kerja meminimalisir partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan pemanfaatan pesisir. Pelibatan masyarakat pada tahap penyusunan AMDAL dibatasi. Komisi Penilai AMDAL yang bersifat multi-stakeholder dihapuskan. Implikasinya, pemanfaatan wilayah pesisir berpotensi mengesampingkan pertimbangan nasib masyarakat yang bergantung pada kelestarian ekosistem pesisir.
UU Cipta Kerja membuka peluang eksploitasi berlebih sumberdaya kelautan. Akhirnya, nelayan kecil dan tradisional bisa merugi dan terpinggirkan. Pelaksanaan UU ini juga bisa mempercepat kerusakan ekosistem pesisir dan kekayaan laut.
Pengelolaaan Migas dalam UU Omnibus Law Ciptaker
Pengelolaan minyak dan gas dalam UU Omibus Law Ciptaker masih tidak banyak perubahan, yaitu liberalisasi dan swastanisasi sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). UU ini membuka kran selebar-lebarnya bagi swasta baik lokal maupun asing untuk terlibat dalam pengelolan migas baik sektor hulu maupun hilir. Perubahan dalam UU Omnibus Law ini hanya menguatkan peran pemerintah pusat dalam perizinan dan perubahan dalam sanksi bagi yang melakukan pelanggaran.
Menurut Divisi Hukum Jatam Nasional Jamil ada beberapa perubahan dalam UU Cipta Kerja yang berdampak terhadap UU Migas.
Pertama: Ada unsur penyelewengan frasa “dikuasai oleh negara” yang diatur Pasal 4 UU Migas. Ketentuan itu mengatur migas sebagai sumberdaya alam (SDA) strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. Penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Namun, dalam RUU Cipta Kerja frasa “dikuasai oleh negara” dimaknai hanya dengan dilaksanakan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan usaha migas oleh negara dari hulu sampai hilir berdasarkan prinsip efisiensi dan kemudahan investasi.
Kedua: Mempertegas kekuasaan Presiden dengan mengubah Pasal 5 UU Migas, yakni kegiatan usaha migas dapat dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Ketiga: Izin untuk usaha hilir migas hanya perlu satu izin dari Presiden. Jamil memaparkan Pasal 23 UU Migas mengatur kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha dari Pemerintah. Izin usaha ini terdiri dari 4 jenis, yaitu izin usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga. RUU Cipta Kerja mengubah dari 4 menjadi 1 perizinan, yaitu perizinan berusaha. “Akibatnya nanti proses pengawasan menjadi tidak jelas.”
Keempat: Sanksi hanya dapat diberikan oleh pemerintah pusat. Jamil melihat RUU Cipta Kerja menghapus kewenangan pemerintah daerah untuk memberikan sanksi administratif hingga pencabutan izin. Dalam perubahan Pasal 25 UU Migas, RUU Cipta Kerja mengatur sanksi administratif berupa denda. Sebelumnya ketentuan denda ini merupakan bagian dari sanksi pidana.
Perubahan Pasal 53 RUU Cipta Kerja memuat norma sanksi pidana yang tidak dapat dikenakan sebelum sanksi administratif. Menurut Jamil, jika pihak yang melakukan pelanggaran telah melaksanakan sanksi administratif, dia akan lepas dari jerat pidana. “Jika pasal ini diketok, perusahaan yang melakukan pelanggaran tidak dapat dijatuhi sanksi pidana jika mereka sudah melaksanakan sanksi administratif. Ini tidak memberi rasa keadilan bagi publik.
Konsep Sistem Ekonomi Islam dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Migas
Sektor kelautan dan tambang migas yang depositnya cukup banyak dalam sistem ekonomi Islam masuk kategori miliki umum. Dalam sistem kapitalis, kepemilikan umum ini bisa diserahkan kepada swasta atau individu. Sebaliknya, dalam pandangan Islam harta milik umum atau milik rakyat wajib dikelola oleh negara. Rasulullah saw. telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadis. Nabi saw. bersabda, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud).
Dalam penuturan Anas ra. hadis tersebut ditambah dengan redaksi: wa tsamanuhu haram (harganya haram). Artinya, dilarang untuk diperjualbelikan.
Barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai dan laut semuanya telah ditetapkan oleh syariah sebagai kepemilikan umum. Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama: Pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar dll bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum. Dalam konteks ini negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemadaratan bagai masyarakat.
Kedua: Pemanfaatan di bawah pengelolaan Negara.Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat—karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar—seperti minyak bumi, gas alam dan barang tambang lainnya dikelola oleh negara. Negaralah yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Hasilnya dimasukkan ke kas Baitul Mal. Khalifah berwenang mendistribusikan hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemaslahatan umat.
Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat—untuk konsumsi rumah tangga—dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan semata. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi, Namun, boleh menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar jika dijual untuk keperluan produksi komersial. Jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, boleh Pemerintah mencari keuntungan semaksimal mungkin. Hasil keuntungan penjualan kepada rakyat untuk kepentingan produksi komersial dan expor ke luar negeri digunakan:
- Dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi.
- Dibagikan kepada kaum Muslim atau seluruh rakyat. Pemerintah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan. Barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya Emas, Perak, Tembaga, Batu Bara dijual ke luar negeri dan keuntungannya—termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri—dibagi keseluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya. []