Inilah Sistem Baku Khilafah
Makna syar’i dari istilah khalifah identik dengan Al-Imâm al-A’zham (Pemimpin Teragung). Imam al-Ramli mendefinisikan:
الخَلِيْفَةُ هُوَ اْلإِمَامُ اْلأَعْظَامُ الْقَائِمُ بِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِى حَرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Khalifah adalah imam agung yang menduduki jabatan Khilafah Nubuwwah dalam melindungi agama dan pengaturan urusan dunia.1
Penulis Kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah menampilkan definisi yang lebih praktis:
الخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ اْلأُمَّةِ فِي الْحُكْمِ وَ السُّلْطَانِ وَ فِي تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ
Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam pelaksanaan hukum dan pemerintahan serta dalam menerapkan hukum-hukum syariah.2
Asal-usul kata khilafah kembali pada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa. Khalifah adalah subjek pemimpin. Khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Istilah khalifah, imam dan amirul mukminin adalah sinonim. Demikian juga dengan istilah Khilafah dan Imamah. 3
Imam al-Mawardi mendefinisikan:
الإِمَامَةُ مَوْضُوْعَةٌ لِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ في حَرَاسَةِ الدِّيْنِ وَ سِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ
Imamah menduduki posisi untuk Khilafah Nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi.4
Definisi khilafah yang jâmi’[an] dan mâni’[an] adalah sebagai berikut:
اَلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا فِي الدُّنْيَا لِإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِي وَحَمْلِ الدَّعْوَة الإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى الْعَالَمِ
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.5
Jelaslah, istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah dan imamah memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, yang besumber dari dalil-dalil syariah.
Konsep Baku Khilafah
Kewajiban menegakkan Khilafah didasarkan pada al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat dengan perintah yang tegas. Anggapan tidak ada konsep baku Khilafah adalah tidak benar. Yang beranggapan demikian tidak paham bagaimana istinbâth hukum dari al-Quran dan as-Sunnah. Mereka terjebak dengan pengambilan hukum hanya secara mantûq (tekstual).
Jika dikatakan tidak ada konsep baku Khilafah karena tidak ada bentuk dan struktur rinci tentang Khilafah yang dicontohkan Rasulullah, maka hal itu menunjukkan ketidakcermatan memahami as-Sunnah (perkataan, perbuatan dan persetujuan Rasulullah) dan Ijmak Sahabat. Jika dikatakan tidak ada bentuk baku Khilafah karena di dalamnya terdapat ikhtilaf di kalangan ulama, maka ini menunjukkan ketidakpahaman tentang syariah dan fikih. Pasalnya, dalam fikih apapun selalu ada perkara yang muttafaq ‘alayh (yang disepakati) dan mukhtalaf fîhi (yang diperselisihkan). Namun, hal itu bukan alasan untuk menolak fikih tersebut.
Berikut adalah bukti kebakuan konsep Khilafah:6
- Asas dan pondasi kepemimpinan Khilafah dalam Islam.
Asas dan fondasi kepemimpinan Khilafah dalam Islam adalah tauhid atau akidah Islam. Asas dan fondasi inilah yang akan menentukan tata letak bangunan kehidupan di atasnya. Bangunan kehidupan Islam wajib dibangun di atas asas akidah Islam. Hal ini sebagaimana prinsip kehidupan yang digariskan Rasulullah saw. dan para Sahabatnya dalam kepemimpinan Islam.
Al-’Allamah Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan: Akidah Islam adalah dasar negara. Segala sesuatu yang menyangkut institusi negara, perangkat negara dan pengawasan atas tindakan negara harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Akidah Islam menjadi asas undang-undang dasar dan perundang-undangan syar’i. Segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar (dustûr) dan perundang-undangan (qanûn) harus terpancar dari akidah Islam.7
- Pedoman dan standar konstitusi Negara Khilafah.
Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa Islam menetapkan segala bentuk perundang-undangan dalam Negara Khilafah—mencakup Undang-undang Dasar (dustûr) dan perundang-undangan (qanûn) harus terpancar dari akidah Islam. Maksudnya, harus bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i.8
Al-Quran dan as-Sunnah wajib menjadi pedoman dan standar utama dalam perumusan konstitusi dan kebijakan negara: mencakup persoalan pokok; standar baku menentukan apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan menurut Allah dan Rasul-Nya. Manusia tak berhak mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Beberapa prinsip dasar dalam menyusun konstitusi Negara dalam pandangan Islam adalah sebagai berikut:
- Konstitusi dan undang-undang syariah harus selalu merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah serta yang ditunjuki oleh keduanya sebagai pedoman, yakni Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i. Konstitusi syariah harus dijiwai oleh akidah Islam dan hukum-hukum syariah.
- Khalifah adalah pihak yang berwenang melakukan adopsi hukum tertentu (hukum Islam) bagi Negara. Dengan kata lain, Khalifah adalah pemegang kewenangan tertinggi dalam mengadopsi konstitusi syariah.
- Agar proses ijtihad tidak berhenti, konstitusi syariah hanya memuat aturan-aturan pokok yang bersifat luwes dan tidak kaku. Ini ditujukan agar Khalifah ataupun aparatus negara lainnya (semisal mu’âwin, wali dan qâdhi) tetap bisa melakukan proses ijtihad berdasarkan kaidah-kaidah umum yang termaktub dalam konstitusi. Jika konstitusi syariah tersebut berisikan aturan-aturan yang sangat rinci, hal semacam ini tentu akan mematikan kreativitas dari aparatur Negara, terutama pada qâdhi, untuk melakukan proses ijtihad. Jika ini terjadi, lambat laun proses ijtihad akan terhenti, bahkan bisa terhenti sama sekali.
- Khalifah tidak mengadopsi hukum-hukum tertentu yang menyangkut masalah akidah dan ibadah. Ini didasarkan pada kenyataan: Pertama, pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa ketika Khalifah mengadaopsi hukum tertentu untuk dua masalah ini (akidah dan ibadah), timbul fitnah besar yang sangat membahayakan eksistensi kaum Muslim. Kedua, motif utama dari adopsi (tabanni) hukum tertentu oleh Kepala Negara adalah untuk mengatur urusan kaum Muslim dengan sebuah hukum, dan untuk menjaga eksistensi dan kesatuan Khilafah Islamiyah.
- Jika ada nas-nas qath’i yang menjelaskan prinsip-prinsip akidah, maka Khalifah mesti mengadopsi perkara-perkara tersebut meskipun hal itu menimbulkan fitnah di kalangan Muslim dan bertentangan dengan fakta tabanni. Misalnya, perkara akidah tidak boleh ditetapkan berdasarkan dalil-dalil zhanni (dugaan). Begitu juga perkara-perkara ibadah yang mesti dipersatukan untuk menjaga keutuhan Daulah Islam dan kaum Muslim, hukumnya harus diadopsi oleh Khalifah. Misalnya, penetapan waktu haji, puasa dan hari raya.
- Dalam penyusunan konstitusi syariah, Khalifah tidak boleh mendesainnya sebagai konstitusi syariah berdasarkan madzhab tertentu, atau malah menjadikan Khilafah sebagai negara mazhab atau kelompok. Untuk itu, konstitusi Negara harus inklusif dan berdiri di atas semua kelompok, mazhab dan keragaman lainnya.
- Kekuasaan dalam kepemimpinan Islam bukan tujuan, namun metode untuk mewujudkan visi ukhrawi yang jauh melampaui unsur-unsur.
Kekhilafahan adalah amanah untuk menegakkan aturan Allah SWT sebagaimana digambarkan dalam QS Fathir [35]: 39. Allah SWT pun menegaskan amanah tersebut dalam ayat-ayat al-Quran lainnya: QS. Al-An’am [6]: 165, QS an-Naml [27]: 62. Kata khalâ’if (atau khulafâ’) dalam ayat-ayat mulia ini adalah jamak dari kata khalifah.9
Sebagai khalifah di muka bumi, setidaknya umat manusia ditugaskan untuk: Pertama, mengabdi kepada Allah; Kedua, mengatur kehidupan dunia ini memakmurkan dunia dengan ilmu dan tuntunan Allah SWT.10
- Visi kepemimpinan dalam Islam.
Visi kepemimpinan dalam Islam mencakup paling tidak tiga hal sebagai berikut:
- Visi melanjutkan kehidupan Islam (isti’nâf al-hayâh al-islâmiyyah), menggambarkan visi untuk kembali hidup di bawah naungan Islam. Caranya dengan menegakkan syariah Islam dalam setiap sendi kehidupan dengan landasan akidah Islam. Visi ini meniscayakan tegaknya kembali peradaban Islam, yang berdiri kokoh di atas landasan tauhid (akidah Islam), sebagaimana tegaknya kehidupan Islam di masa Rasulullah saw. dan para shahabatnya. Dengan ungkapan lain, Khilafah bukan tujuan. Khilafah adalah metode syar’i untuk menegakkan syariah. Tegaknya syariah merupakan kunci meraih keridhaan-Nya demi kebaikan dunia dan akhirat.
- Visi menyatukan kaum Muslim di atas asas akidah Islam. Islam secara tegas mengajarkan umatnya untuk menjunjung tinggi persatuan di atas asas akidah Islam dan diikat dalam institusi kepemimpinan Islam (Khilafah Islam). Hal itu tersurat dan tersirat dalam al-Quran, as-Sunnah dan aqwâl para ulama mu’tabar. Al-Hafizh al-Qurthubi, misalnya, menegaskan bahwa Imam atau Khalifah itu menyatukan kalimat kaum Muslim. Ketika menafsirkan QS al-Baqarah [2]: 30, ia menyatakan bahwa Khalifah ditaati dan didengar perintahnya untuk menyatukan kalimat kaum Muslim.11
- Visi menegakkan dakwah Islam demi meraih kembali predikat khayru ummah. Visi ini seiring dan sejalan dengan tugas Rasulullah saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia, bersifat universal. Hal ini meniscayakan visi dakwah tanpa melihat warna kulit (suku bangsa) dan asal-usul (wilayah). Wajib dipahami bahwa Allah SWT menjadikan kaum Muslim sebagai umat terbaik. Allah SWT menunjukkan kemuliaan tersebut berikut karakteristik yang harus melekat padanya. Salah satunya aktivitas dakwah berdasarkan firman Allah dalam QS Ali Imran [3]: 110.
- Pilar-pilar Negara Khilafah.
Para ulama telah menjelaskan empat pilar politik Islam dalam sistem Khilafah sebagai berikut:
- Kedaulatan di tangan syariah (as-siyâdah li asy-syar’i). Ini akan menjamin penegakan hukum al-Quran dan as-Sunnah dalam kehidupan, mengundang keberkahan dari Allah, menebarkan rahmat bagi alam semesta.
- Kekuasaan milik umat (as-sulthân li al-ummah), yakni dengan adanya hak baiat untuk mengangkat Khalifah hanyalah pada umat Islam. Khalifah dibait oleh umat untuk menegakkan hukum al-Quran dan as-Sunnah, yang menjamin terealisasinya kepemimpinan yang amanah menegakkan syariah Islam.
- Kewajiban adanya satu kepemimpinan Khalifah untuk seluruh umat (wujûb al-khalîfah al-wâhid li al-muslimîn), yang menjamin realisasi kesatuan kaum Muslim dalam satu institusi super power untuk menegakkan Islam dalam kehidupan.
- Khalifah berhak mengadopsi hukum (li al-khalîfah haq at-tabanni), yang menjamin kesatuan kaum Muslim dan menjaga merekadari ancaman perpecahan. Adopsi hukum yang berkaitan dengan kesatuan kaum Muslim, yang tanpa kesatuan ini kaum Muslim akan berpecah-belah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Yuana Ryan Tresna]
Gambar: Konsep Baku Ketatanegaraan Islam (Khilafah)12
Catatan kaki:
1 Lihat al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.
2 Lihat Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 20.
3 Lihat Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini, Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
4 Lihat Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
5 Lihat Mahmud Abd al-Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 225-230.
6 Lihat Irfan Rhamdan Wijaya dan Yuana Ryan Tresna, Konsep Baku Khilafah Islamiyyah, Yogyakarta: Penerbit Quwwah, hlm. 143-202.
7 Lihat Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hlm. 5.
8 Lihat Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, hlm. 8.
9 Lihat Abu Manshur al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 174.
10 Lihat Dr. Majid ‘Irsan al-Kailani, Tathawwuru Mafhum al-Nazhriyyah al-Tarbawiyyah al-Islamiyyah: Dirasah Manhajiyyah fi al-Ushul al-Tarikhiyyah li al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Beirut: Dar Ibn Katsir, cet. II, 1405 H, hlm. 25-26.
11 Lihat Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz I, hlm. 264.
12 Lihat Irfan Rhamdan Wijaya dan Yuana Ryan Tresna, Konsep Baku Khilafah Islamiyyah, hlm. 200.