Afkar

Ulama, Penegakan Khilafah dan Jebakan Penjajah

Ulama adalah pelita di tengah kegelapan. Kebaikan pada diri umat Islam ini akan terus ada selama ada para ulama yang menjadi pelita di tengah-tengah mereka. Kedudukan mereka yang tinggi—karena ilmu dan dakwahnya—akan menjadi kebaikan bagi umat dan penguasa. Sebaliknya, rusaknya ulama akan menjadi sebab kerusakan pada umat dan penguasa. Imam al-Ghazali mengatakan, “Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa. Tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama.”1

Lebih dari satu abad setelah keruntuhan Khilafah Islam, berbagai upaya telah dilakukan oleh kaum Muslim dari masa ke masa. Dalam sejarahnya, ulama memiliki peran yang sangat penting. Mereka menjadi benteng ilmu bagi Khilafah Islam. Mereka dan menjadi penggerak perjuangan untuk mewujudkan kembali Khilafah yang saat ini sudah tidak ada. Perjuangan tersebut tidak pernah sepi dari jebakan negara kafir penjajah yang tidak menghendaki Khilafah hadir kembali.

 

Ulama Adalah Pelita

Ulama bagaikan bintang bagi penduduk bumi. Abu Muslim al-Khaulani berkata, “Ulama bagi penduduk bumi bagaikan bintang di langit. Ketika menampakkan diri kepada manusia, mereka akan mendapat petunjuk. Jika tidak menampakkan diri kepada manusia, mereka akan kebingungan.”2

Keutamaan ulama karena keutamaan ilmu mereka serta adanya pujian dari Allah dan Rasul-Nya kepada mereka.  Allah SWT berfirman,

يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ  ١١

Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu di antara kalian ke beberapa derajat. Allah Mahatahu atas apa saja yang kalian kerjakan (QS al-Mujadilah [58]: 11)

 

Imam Badruddin Ibnu Jama’ah memberikan penjelasan atas firman Allah SWT dalam QS Ali ‘Imran ayat 18, “Allah SWT memulai dengan Diri-Nya (dalam persaksian), lalu malaikat-malaikat-Nya, kemudian orang-orang yang berilmu. Cukuplah hal ini sebagai bentuk kemuliaan, keutamaan, keagungan dan kebaikan (buat mereka).”3

Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kepada siapa saja yang tidak mengetahui untuk kembali kepada mereka (ulama) dalam segala hal. Di dalam ayat ini terdapat pujian terhadap para ulama, juga rekomendasi Allah SWT agar orang-orang yang tidak berpengetahuan bertanya kepada mereka. Masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan keagungan ilmu dan para ulama (Lihat, misalnya:  QS an-Nahl [16]: 43; QS al-Ankabut [29]: 4; QS al-Bayyinah [98]: 8; dan QS Fathir [35]: 28).

Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Kedua ayat ini (QS Fathir ayat 28 dan QS al-Bayyinah ayat 8) mengandung makna bahwa ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Orang-orang yang takut kepada Allah adalah sebaik-baik manusia. Dari sini disimpulkan bahwa ulama adalah sebaik-baik manusia.”4

Dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda:

إِنَ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ

Ulama adalah pewaris para nabi (HR at-Tirmidzi).

 

Imam Ibnu Jama’ah al-Kinani mengatakan, “Cukup derajat ini menunjukkan satu kebanggaan dan kemuliaan. Martabat ini adalah martabat yang tinggi dan agung. Sebagaimana tidak ada kedudukan yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah, begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris para nabi.”5

 

Keteladanan Ulama dalam Politik

Pada saat tegak Khilafah Islam, sejarah telah mencatat peran penting para ulama. Peran penting mereka paling tidak dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama: Amar makruf nahi mungkar dan muhaasabah kepada penguasa. Kedua: Menjadi rujukan bagi Khalifah dalam masalah hukum syariah mana yang akan diadopsi. Ketiga: Menjadi qaadhi (hakim) pada Khilafah Islam yang menyelesaikan persengketaan di tengah manusia.

Dalam kitab-kitab Tarikh tercatat dengan tinta emas sepak terjang para ulama dalam melakukan aktivitas politik. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Thawwus.  Dalam kitab Wafiyyah al-A’yaan, Ibn Khalikan meriwayatkan pertemuan antara Ibnu Thawwus yang didampingi oleh Malik bin Anas dengan Abu Ja’far al-Manshur.6 Abdullah bin Thawwus menyampaikan nasihat tegas kepada Abu Ja’far Al-Manshur dan ia tidak mau berserikat dalam kemaksiatan. Ibnu Thawwus tetap teguh tanpa rasa takut meski menghadapi penyiksaan.

Ulama seperti inilah yang kita rindukan. Tidak takut kepada siapapun kecuali Al-Khaaliq yang menciptakan dia.

Masih tentang ulama, al-Qadhi Ibn Iyadh berkata7, “Ulama itu adalah ibarat ‘bunganya’ umat ketika musim semi. Jika orang sakit melihat ulama, kalaulah tidak menyembuhkan, paling tidak akan meringankan. Jika orang fakir melihat ulama, orang tersebut merasa menjadi kaya.” Semua ini cukup untuk bagi kita untuk menggambarkan apa dan bagaimana ulama itu.

Syaikh Yusuf an-Nabhani, seorang ulama muta’akhiriin, telah memberikan keteladanan yang luar biasa. Selama masa penjajahan Inggris, beliau menolak menjadi mufti di Palestina karena tidak diizinkan untuk berhukum dengan hukum Islam. Beliau juga dikenal sebagai pembela utama Khilafah Utsmaniyah, terutama pada masa Khalifah Abdul Hamid II bin Abdul Majid Khan al-Ghazi. Bahkan secara khusus beliau menulis kitab Al-Ahaadits al-Arba’iin fii Wujuub Thaa’ah Amir al-Mu‘miniin dan Khulaashah al-Bayaan fii Ba’dhi Ma’atsir Mawlanaa alh-Shulthaan ‘Abdil Hamiid ats-Tsani wa Ajdaadihi Ali Utsmaan serta karya-karya lainnya. Tujuannya adalah untuk meneguhkan kedudukan Khilafah dan mengajak umat Islam untuk membela dan mendukung Khilafah. Beliau  juga mengajak umat agar mengemban Jihad fi Sabilillah dalam melawan kafir penjajah semisal Inggris, Prancis dan Rusia. Karena itu beliau menulis kitab Al-Ahaadits al-Arba’iin fii Fadhl al-Jihaad wa al-Mujaahidiin. Beliau aktif mengkritisi berbagai pemikiran yang menyerang syariah Islam serta kesatuan umat dan Daulah Islam.8

 

Peran Ulama dalam Penegakan Khilafah

Saat tidak ada perisai yang melindungi umat Islam, sunnah ditelantarkan dan kezaliman terjadi secara terbuka, maka peran ulama sangat penting. Ikhtiar mengembalikan Khilafah Islam untuk mewujudkan kehidupan Islam harus diupayakan oleh setiap Muslim, khususnya para ahli ilmu. Oleh karena itu, peran penting ulama dalam mengembalikan Khilafah Islam adalah: Pertama, menjadi sumber ilmu dan rujukan dalam aktivitas dakwah. Kedua, berada di garda terdepan dalam dakwah kolektif bersama umat. Ketiga, melakukan koreksi terhadap penguasa zalim dan membela hak-hak umat yang ditelantarkan.

Aktualisasi peran ulama saat ini seperti yang digambarkan oleh Syaikh Ali Bin Haj  dalam Fashl al-Kalaam fii Muwaajahah Dzulm al-Hukkaam,9 yaitu:  Pertama, ulama memadukan ilmu dan amal, yaitu mengaitkan antara ilmu yang dia  kuasai dengan aktivitas yang dia lakukan. Kedua, selalu membela dan memperjuangkan hak-hak umat.

Dalam konteks dakwah jama’i (kolektif) sebagaimana yang diwajibkan Allah SWT  dalam QS Ali Imran [3]: 104, para ulama memiliki peran strategis. Pengertian “umat” dalam ayat tersebut menurut Imam ath-Thabari adalah jamaah. Adapun menurut Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni dalam tafsirnya Shafwah at-Tafaasir adalah jamaah atau hizb. Kelompok tersebut aktivitasnya adalah mengajak pada al-khayr, yakni mengajak pada Islam dan (menerapkan) syariahnya, serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Oleh karena aktivitasnya bersifat politik, maka kelompok yang dimaksud dalam ayat ini adalah partai politik.

Ketika Islam belum diberlakukan sebagai sistem kehidupan, maka yang dilakukan partai politik adalah mengajak kaum Muslim pada Islam. Artinya, mengajak berhukum pada hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan dan berjuang untuk menerapkan syariah-Nya. Selain itu, dalaalah iltizaam dari nas-nas tentang kewajiban tahkiim juga mengharuskan untuk menegakkan institusi untuk menerapkan hukum Allah tersebut.

Praktisnya, apa yang seharusnya dilakukan oleh para ulama adalah melaksanan izaalah al-munkaraat ketika menyaksikan kemungkaran. Secara kolektif mereka  pun berada di garda terdepan  bersama-sama dengan kaum Muslim yang lain melaksanakan aktivitas dakwah kepada Islam dan syariahnya dengan dakwah isti’naaf al-hayaah al-islaamiyyah dengan menegakkan Khilafah, serta melakukan amar makruf nahi mungkar, utamanya muhaasabah li al-hukkaam (melakukan koreksi kepada penguasa).

Kondisi objektif kita saat ini adalah adanya kerusakan di segala sisinya. Hal itu selaras dengan firman Allah di dalam QS ar-Rum ayat 41. Di sinilah peran penting ulama, yaitu berupaya menghilangkan kerusakan multi dimensi yang terjadi.

Mengapa peran ulama sangat ditunggu? Pertama: Pemahaman tentang Allah SWT yang akan melahirkan sikap hanya takut pada azab Allah, sikap ikhlas, serta ta’at pada Allah. Kedua, pemahaman tentang batasan-batasan atau larangan-larangan yang telah ditetapkan Allah serta hal-hal yang Dia fardhukan, yang diperlukan untuk melaksanakan ketaatan kepada-Nya.

 

Mewaspadai Jebakan Negara Penjajah

Perjuangan ulama untuk mengembalikan Khilafah bukan perkara yang luput dari tantangan, seperti adanya jebakan negara kafir penjajah. Para ulama harus memiliki kesadaran politik. Hal itu karena saat ini kita hidup dalam perang pemikiran dengan negara kafir penjajah. Mereka menggunakan cara-cara licik dan jahat untuk menjebak kaum Muslim ke dalam konspirasi memukul perjuangan Islam dalam rangka mewujudkan perubahan dan menegakkan Khilafah. Beberapa perkara yang harus menjadi perhatian para ulama adalah sebagai berikut:

Pertama, para ulama harus memiliki pemahaman, kesadaran dan pandangan jauh ke depan serta penguasaan berbagai perkara. Maksud perkara-perkara ini adalah pemahaman Islam berupa akidah dan hukum. Karena itu merupakan kaidah yang kuat, dinding yang kokoh dan katup pengaman pertama bagi umat Islam. Allah SWT, Rasul-Nya dan para Sahabat telah memberikan bimbingan atas pentingnya kesadaran, penguasaan perkara dan pemahaman yang shahih. Termasuk pemahaman itu juga adalah mengetahui apa yang terus-menerus direncanakan oleh kaum kafir. Mereka tidak menginginkan kebaikan untuk umat Islam (Lihat: QS al-Anfal [8]: 36).

Penguasaan perkara itu juga mencakup pengetahuan tentang apa yang terjadi di sekitar umat Islam berupa peristiwa dan berbagai konspirasi. Inilah yang dibicarakan pada awal QS ar-Rum.10 Ayat ini mengabarkan kepada kaum Muslim pada awal dakwah tentang suatu peristiwa yang jauh dari lingkaran mereka, dan mereka berada dalam keadaan yang paling sulit, mendapatkan penyiksaan dan gangguan.

Rasulullah saw. mengajari kita bagaimana menangani perkara melalui pemahaman, kesadaran dan penguasaan perkara. Beliau menggambarkan seorang Muslim dan sikapnya terhadap masalah, kehati-hatian dan kesadarannya.

لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

Tidak selayaknya seorang Mukmin digigit dari satu lubang yang sama dua kali (HR Muttafaq ‘alaih).

 

Kedua, para ulama harus waspada terhadap kaum kafir, dan tidak mentaati mereka dalam perkara apapun, sekalipun mereka menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Para ulama tidak boleh bergabung dengan lembaga-lembaga internasional atau regional mereka sekalipun mereka mengklaim tujuan-tujuan luhur dan tujuan-tujuan mulia selama lembaga-lembaga tersebut masih ada di bawah kepemimpinan dan kekuasaan orang kafir. Para ulama juga tidak berpartisipasi dengan mereka dalam perang apa pun sekalipun perang itu melawan negara yang menjadi musuh kaum Muslim, baik itu negara kafir yang terikat perjanjian atau berdamai.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تُطِيعُواْ فَرِيقٗا مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ يَرُدُّوكُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡ كَٰفِرِينَ  ١٠٠

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman (QS Ali Imran [3]: 100).

 

Liga Bangsa-bangsa (LBB), misalnya, merupakan lembaga yang dibentuk untuk memukul Daulah Islamiah. Sejumlah negara dikumpulkan untuk tujuan ini pada tahun 1919 setelah Perang Dunia ke-1 (PD I). Perkara itu berlanjut sampai ada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga internasionalnya yang dibentuk pasca PD II pada tahun 1945.

Umat Islam tidak boleh berpartisipasi dalam lembaga-lembaga ini meskipun menyerukan yang makruf dan melarang yang mungkar. Sebabnya, perkara ini dibungkus dengan tujuan-tujuan jahat, ditargetkan untuk memukul Islam dan kaum Muslim dan usaha-usaha kaum Muslim dalam mewujudkan perubahan. Dulu Turki Utsmani berpartisipasi dengan beberapa negara Eropa dalam PD I. Lalu negara-negara Eropa itu memperalat Khilafah Turki Utsmani dalam tujuan-tujuan yang tidak melayani kaum Muslim. Itu menjadi sebab penghancuran Khulafah Turki Utsmani secara militer dan jatuh di bawah belas kasihan negara penjajah. Lalu Khilafah Turki Ursmani terpecah-belah dan hancur.

Allah SWT telah memberikan permisalan yang jelas dalam kisah masjid adh-dhiraar.  Kaum munafik dan kafir di belakang mereka menargetkan kaum Muslim di pusat negeri mereka. Hal tu melalui aktivitas kebaikan, yaitu membangun masjid! Jadi aktivitas itu di dalamnya tampak kebaikan, tetapi menyimpan aktivitas jahat, yaitu makar terhadap kaum Mukmin.11

Bukti jebakan itu adalah ketika kita menyaksikan sebagian tokoh mencoba menggantikan peran Khilafah dalam kepemimpinan tunggal dunia dengan PBB atas nama prinsip maqaashid syarii’ah.

 

Penutup

Peran ulama dalam menegakkan Khilafah adalah perkara yang niscaya. Khilafah bukan hanya kewajiban, tetapi juga akan menjadi solusi persoalan umat. Para para ulama harus memiliki kesadaran politik yang baik agar tidak terjebak oleh perangkap negara-negara penjajah. Para ulama juga harus memiliki kesadaran tentang hakikat Daulah Islam sehingga perkara ini menjadi jelas bagi kaum Muslim.  Sebabnya, negara kafir penjajah akan terus berusaha menyesatkan kaum Muslim, dan mengalihkan mereka dari tujuan mulia mereka. Para ulama juga harus selalu menebarkan spirit harapan dalam jiwa umat dan mengingatkan masa lalu umat secara terus menerus, dan mengokohkan pemahaman Islam, sehingga tidak runtuh di depan makar negara penjajah.

WalLaahu a’lam bi ash-shawwaab. [Yuana Ryan Tresna]

 

Penulis adalah Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Bandung.

 

Catatan kaki:

1        Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, juz 2, hlm. 238.

2        Lihat Ibnu Jama’ah, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim, hlm. 89

3        Lihat Ibnu Jama’ah, hlm. 82.

4        Lihat Ibnu Jama’ah, hlm. 83.

5        Lihat Ibnu Jama’ah, hlm. 85

6        Lihat Ibn Khalikan, Wafiyyah al-A’yan, juz II, hlm. 511.

7        Lihat Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, Fashl al-Kalam fi Muwajahati Dzulm al-Hukkam, hlm. 255.

8        Lihat Abdurrahman al-Khaddami, Biografi Syaikh Yusuf an-Nabhani, https://tsaqofah.id/biografi-syaikh-yusuf-an-nabhani/, tanggal akses: 8 Februari 2023

9        Lihat Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, hlm. 255-258.

10      Lihat QS. al-Rum, ayat 1-6.

11      Lihat QS. al-Taubah, ayat 107-108.

.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five + eight =

Back to top button