Cinta Nabi saw.
“Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”
++++
Suatu hari, sebagaimana diceritakan dalam hadis shahih riwayat Imam Muslim, datang seorang Arab kepada Baginda Rasulullah Muhammad saw menanyakan tentang kapan Hari Kiamat akan tiba. Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Rasulullah saw. malah balik bertanya kepada dia, “Apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapi Hari Kiamat?”
Orang itu menjawab, “Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Mendengar jawaban itu, Rasulullah saw. kemudian mengatakan seperti yang dikutip di atas, “Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai.”
Di mana posisi Baginda Rasulullah saw. di Akhirat nanti? Tentu di surga Allah. Tidak mungkin di tempat lain. Artinya, dengan mengatakan, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai,” Rasulullah saw. ingin menegaskan bahwa orang yang mencintai beliau pasti akan Bersama beliau di Surga Allah nanti.
Cinta kepada Nabi saw. memang sesuatu yang sangat esensial. Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari, cinta kepada Nabi saw. dikatakan sebagai penanda kesempurnaan iman; yakni saat beliau lebih dicintai daripada orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia. Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim disebutkan, siapa saja yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya akan merasakan lezatnya iman.
Oleh karena itu, penting bagi kita memastikan diri apakah sudah termasuk orang yang sungguh-sungguh mencintai Nabi saw. Apa tandanya?
Tanda cinta kepada Nabi saw. paling sederhana adalah kegemaran menyampaikan shalawat kepada beliau. Shalawat kepada Nabi saw. diperintahkan oleh Allah, sebagaimana disebut dalam QS al Ahzab ayat 56. Tidak ada perintah Allah, yang Allah turut lakukan, selain shalawat kepada Nabi saw. Tentang hal ini, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Fath al-Baari menjelaskan, bahwa makna shalawat kita kepada Nabi saw. adalah doa meminta kepada Allah agar Dia memuji dan mengagungkan Nabi saw. di Dunia dan Akhirat. Di Dunia dengan memuliakan penyebutan (nama) beliau, memenangkan agama dan mengokohkan syariah yang beliau bawa. Di Akhirat dengan melipatgandakan pahala kebaikan beliau, memudahkan syafaat beliau kepada umatnya dan menampakkan keutamaan beliau pada Hari Kiamat di hadapan seluruh makhluk. Khusus shalawat Malaikat kepada Nabi saw. berarti doa untuk beliau. Adapun shalawat Allah kepada Nabi saw. bermakna pujian Allah atas beliau di hadapan para malaikat-Nya.
Kebaikan shalawat kita kepada Nabi saw. akan kembali kepada kita. Dalam hadis riwayat Imam Muslim disebutkan, siapa saja yang mengucapkan shalawat kepada Nabi saw. sekali, Allah mengucapkan shalawat kepada dirinya 10 kali. Dalam hadis riwayat Imam ath-Thabarani disebutkan, siapa saja yang bershalawat kepada Nabi saw. pada pagi hari 10 kali dan pada sore hari 10 kali akan mendapatkan syafaatnya pada Hari Kiamat.
Namun, bukti paling esensial cinta kita kepada Nabi saw. adalah dengan mengikuti atau ittibaa’ kepada beliau dengan ittibaa’ yang benar (haqq al-ittibaa’). Inilah cinta hakiki kepada Nabi saw., yang sekaligus menjadi bukti cinta kita kepada Allah SWT, sebagaimana disebut dalam al Quran surah Ali Imran ayat 31. Tentang ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan, siapa saja yang mengaku cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak ittibaa’ dengan haqq al-ittibaa’ kepada Nabi Muhammad saw., baik dalam perintah maupun larangan, maka ia berdusta sampai ia betul-betul ittibaa’ kepada beliau dengan haq. Dengan kata lain, haqq al-ittibaa’ adalah dengan mengikuti Sunnahnya dan menaati syariahnya secara kaaffah.
++++
Michael Hart, dalam buku The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, tak menutupi kekagumannya kepada Rasulullah Muhammad saw. Katanya, “Dia adalah orang yang paling berpengaruh sepanjang sejarah kehidupan manusia lebih dari Newton dan Yesus atau siapapun di dunia ini.”
Will Durant, dalam buku The Story of Civilization, menyebut Nabi saw. sebagai pemimpin yang membimbing umat dengan ajarannya; pejuang yang mengangkat harkat dan martabat bangsa jahiliah yang biadab karena panas dan kegersangan gurun; pembaru yang paling sempurna. Belum pernah ada orang yang begitu berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya seperti Nabi. Ia adalah imam di masjid; kepala negara di pemerintahan; panglima di medan pertempuran; psikolog yang mengubah jiwa manusia yang biadab menjadi jiwa yang memancarkan ketinggian peradaban; politikus yang cemerlang. Ia berhasil mempersatukan bangsa-bangsa yang saling bermusuhan, hanya kurang dari ¼ abad. Ia adalah pemimpin ruhani yang melalui peribadatannya telah mengantarkan jiwa pengikutnya ke alam kelezatan samawiyah dan keindahan suasana ilahiah.
Jika kita tidak kagum kepada Nabi saw., maka kalahlah kita dibandingkan dengan Will Durant atau Michael Hart, yang notabene adalah seorang Nasrani. Namun, jika kita hanya kagum, tetapi tidak ittibaa’ kepada beliau, kita sama saja dengan mereka yang bukan Muslim itu.
Sebagai seorang Muslim, kita mestinya tidak hanya kagum, tetapi juga harus ittibaa’ kepada Nabi saw. dengan haqq al-ittibaa’. Salah satu bagian terpenting ittiba’ kita kepada Nabi saw. adalah dengan mengikuti tuntunan beliau dalam mengatur masyarakat, memimpin negara bahkan dunia dengan dasar Islam. Nabi saw. melakukan salah satunya melalui apa yang disebut Shahiifah Madiinah.
Zainal Abidin Ahmad menyebut Shahiifah Madiinah dengan istilah Piagam Madinah. Oleh para ahli, Piagam Madinah dikatakan sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia. Dalam bukunya, Muhammad at Medina, Montgomerry Watt menyatakan bahwa Piagam Madinah adalah dokumen yang mendasari Negara Islam pada awal pembentukannya. Pengakuan serupa juga dilontarkan sosiolog Barat, Robert N. Bellah. Menurut dia, Piagam Madinah merupakan konstitusi termodern pada zamannya.
Ketika bangsa Eropa berada dalam keadaan kegelapan pada Abad Pertengahan (The Dark Age), di Timur Tengah tumbuh dan berkembang pesat peradaban baru yang dipimpin Nabi Muhammad saw. Penyusunan dan penandatanganan persetujuan atau perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk Madinah untuk bersama-sama membangun struktur kehidupan bersama, sebagaimana disebut dalam Piagam Madinah, menuntun Negara Islam yang beliau dirikan menjadi negara modern dalam pengertian sekarang.
Di antaranya, Watt menunjuk klausul kaum Yahudi yang dimasukkan ke dalam ummah sebagai pandangan penting tentang bagaimana Islam menghargai pluralitas. Nabi Muhammad saw. telah mencontohkan prinsip konstitusionalisme dalam perjanjiannya dengan segenap warga di Madinah. Hamilton Alexander Rosskeem Gibb, guru besar bahasa Arab di Oxford University, menyebut Piagam Madinah adalah bukti bahwa Nabi Muhammad saw. seorang pemimpin yang mempunyai perhatian yang sangat besar untuk menstabilkan masyarakat Madinah yang plural.
Kesatuan umat yang dicetuskan Nabi Muhammad saw. melalui Piagam Madinah menunjukkan bahwa beliau diakui sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan politik, yang semuanya mendasarkan pada Islam. Lihatlah, salah satu poin penting dalam Piagam Madinah, dikatakan: Jika di antara kalian timbul perselisihan tentang sesuatu masalah yang bagaimanapun, kembalikanlah itu kepada Allah dan kepada Muhammad saw.
Ketentuan ini tidak bisa diartikan lain bahwa dalam menyelesaikan masalah haruslah kembali pada Islam; kepada al-Quran dan as-Sunnah.
++++
Demikianlah semestinya setiap Muslim ittibaa’ kepada Nabi saw. dalam seluruh perkara. Apalagi dalam urusan yang amat penting menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Termasuk dalam memandang dunia. Tidak ada tatanan yang lebih baik daripada tatanan Islam. Tidak ada kekuatan yang mampu menebarkan kebaikan kecuali kekuatan Islam.
Dengan keyakinan semacam itulah, tata masyarakat dan negara yang telah digariskan Nabi saw. diteruskan oleh Khulafur Rasyidin dan para khalifah sesudah mereka hingga Khilafah Utsmani yang runtuh pada 1924.
Kini, ke sanalah semestinya energi umat diarahkan, yakni untuk ittibaa’ kepada Nabi saw. dalam perkara yang sangat penting ini, bukan malah diajak untuk memusuhi ajaran Islam, yang itu sama saja memusuhi ajaran beliau, sambil mencari-cari rujukan yang jauh sekali dari apa yang telah ditunjukkan oleh beliau. Jika demikian, lantas di mana bukti cintanya kepada Nabi saw.? Jika begitu sikap kepada Nabi saw., masih layakkah berharap akan bersama Nabi saw. di Surga-Nya nanti? [H. Muhammad Ismail Yusanto]