Nak, Semua Muslim Itu Saudaramu
Seorang anak mendekati ayahnya dan bertanya, “Abi, kalau Kakak Ali, Adik Nabila atau Paman Akbar dan Bibi adalah saudara kita, Kakak mengerti. Tapi kenapa Muslim Uighur yang jauh di Cina sana juga dibilang saudara kita?”
Sang ayah menggeser duduknya lantas meraih anaknya dan mendudukkan di sampingnya. “Kenapa Kakak bertanya begitu?”
“Ini sekolah Kakak menggalang dana bantuan untuk dikirim ke Muslim Uighur. Katanya kita harus peduli dengan saudara kita.”
*****
Pernahkah kita mendapat pertanyaan dari anak kita seperti di atas? Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka seolah tidak pernah terpuaskan dengan informasi yang mereka dapat. Sebagai orangtua, kita memiliki kewajiban untuk menjelaskan dengan benar. Tentu agar penjelasan itu menjadi mafhum yang pada anak dan memotivasi anak untuk beramal.
Anak Harus Memahami Makna Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah Islamiyah hari ini hampir menjadi kata kosong tanpa makna. Kaum Muslimin di sebagian penjuru dunia menghadapi permasalahan-permasalahan berat. Namun, tidak ada Muslim di wilayah lain yang peduli dan datang mengulurkan bantuan, melepaskan mereka dari masalahnya.
Muslim Rohingya menjadi korban genosida yang dilakukan rezim Myanmar. Namun, negara-negara Muslim besar hanya berteriak-teriak saja. Tidak bisa memberikan bantuan dan pembelaan nyata. Ketika ada pembela yang berani mengangkat masalah ini ke Mahkamah Internasional, pembela itu hanya negara kecil di Afrika yang tidak meniliki pengaruh kuat di dunia. Gambia, negara tersebut, tentu kalah taring dibandingkan Arab Saudi, Turki atau Indonesia dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.
Begitu pula nasib Muslim Uighur di Xinjiang Cina yang saat ini menghadapi penganiayaan dan penghapusan identitas kemusliman mereka. Tak ada negara Muslim yang sanggup bersuara lantang untuk membelanya. Yang berteriak lantang justru AS, hanya untuk menyudutkan Cina, rival perang dagangnya, di kancah perpolitikan dunia.
Belum lagi persoalan bangsa Palestina yang tak kunjung selesai dan terus ditekan oleh zionis Yahudi. Ada pula persoalan Muslim Kashmir yang dijajah India, Muslim Suriah yang dibantai penguasa Syiah Bashar Assad. Ada Muslim Yaman, Irak, Libia dan lainnya yang terus dibuat konflik di negaranya. Semua luput dari perhatian kaum Muslim.
Dengan alasan persoalan dalam negeri, atau bukan masalah negara kita, negara-negara mayoritas Muslim diam saja atas persoalan yang menimpa sesama Muslim di negara lain. Sekat-sekat negara dan nasionalisme telah melunturkan persaudaraan Islam.
Anak-anak kita, merekalah yang kelak akan menjadi pemimpin dunia. Mereka yang akan mewarisi perjuangan kita saat ini dan melanjutkannya sampai Islam kembali tegak di muka bumi. Dari tangan mereka kita berharap kaum Muslim yang terzalimi di berbagai belahan dunia saat ini, memperoleh uluran bantuan untuk mendapatkan kembali hak-haknya dan menggapai kemenangan.
Karena itulah, mengajarkan anak ukhuwah islamiyah sama artinya dengan kita mengajarkan perjuangan membangkitkan kembali Islam. Membentuk generasi yang memiliki kepekaan dan kepedulian serta mampu merumuskan solusi yang tepat dan menyusun langkah yang diperlukan. Jangan sampai mereka menjadi generasi yang tak acuh. Sibuk bersenang-senang dan menumpuk harta. Menghabiskan harta untuk hal-hal tak berguna seperti membeli klub bola, menarik gunung es dari kutub untuk bermain ski, dan sebagainya seperti yang dilakukan para pangeran kaya dari negeri juragan minyak. Jangan pula menjadi seperti para pemimpin dunia Muslim yang duduk manis tanpa berbuat apa-apa untuk membela saudaranya yang teraniaya hanya karena beda negara.
Menumbuhkan Ukhuwah Islamiyah Pada Anak
Pada prinsipnya, pendidikan anak bertumpu pada 3 hal: memahamkan, membiasakan dan memberikan keteladanan. Prinsip ini dalam menumbuhkan kesadaran ukhuwah islamiyah pada anak bisa kita jabarkan sebagai berikut:
Pertama, memahamkan dalil kepada anak, bahwa ukhuwah islamiyah adalah suatu hal yang Allah perintahkan. Dengan demikian anak akan lurus dalam meniatkan.
Dalil-dalil yang bisa kita sampaikan di antaranya:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ ١٠
Kaum Mukmin itu sesungguhnya bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10).
Rasulullah saw. bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dari dalil-dalil ini kita jelaskan kepada anak bahwa persaudaraan seakidah lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Persaudaraan karena nasab bisa terputus karena perbedaan akidah, sementara persaudaraan karena akidah tak akan terputus selamanya sampai ke akhirat.
Kedua, perbanyak cerita-cerita tentang indahnya persaudaraan sesama Muslim, baik dari buku-buku kisah sahabat, atau dari kisah-kisah islami di internet. Bagaimana indahnya persaudaraan Sa’ad bin Rabi’ yang mau membagi setengah hartanya kepada Abdurahman bin Auf, kesediaan Salman al-Farisi menjadi penjamin bagi seorang pemuda Muslim yang dihukum qishash karena membunuh, namun ingin menunaikan amanah lebih dulu kepada kaumnya. Sampai hampir habis waktu 3 hari yang dijadikan Khalifah Umar sebagai batas, pemuda tersebut ternyata muncul dan tidak melarikan diri. Umar lantas bertanya, “Mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?”
“Aku kembali agar jangan sampai ada yang mengatakan, di kalangan Muslim tak ada lagi ksatria, menepati janji…” jawab si pemuda sambil tersenyum.
Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru. Lalu ia bertanya, “Lalu kau, Salman, mengapa mau-maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal”
Kemudian Salman menjawab, “Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslim tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya.”
Seketika dua anak dari yang terbunuh memaafkan si pemuda agar tidak dijatuhi qishash. Mereka mengatakan, “Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslim tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya.”
Ada pula kisah Khalifah al-Mu’tashim yang mendengar permintaan tolong seorang Muslimah yang dilecehkan di Kota Ammuriyah, Turki. Seketika ia menggelar pasukan yang panjangnya tidak putus dari Ammuriyah sampai Baghdad untuk menaklukkan kota tersebut dan menolong sang Muslimah.
Kisah-kisah semacam ini akan menjadikan ukhuwah islamiyah memiliki gambaran yang nyata, bukan sekadar wacana.
Ketiga, menanamkan kepedulian anak pada teman-teman di lingkungannya yang mengalami kesulitan dan mengajak untuk membantunya. Misal ada teman yang sepatunya sudah tidak layak pakai, atau ada teman yang kehilangan pensilnya, atau teman yang hidup kekurangan, dan sebagainya.
Keempat, ketika ada berita-berita tentang musibah yang menimpa kaum Muslim di daerah lain, ajak anak untuk menonton atau membacanya. Diskusikan dengan mereka. Bagaimana sikap kita. Bantuan apa yang bisa kita berikan. Minta mereka untuk mendoakan saudara-saudara mereka tersebut. Bila perlu ajak anak untuk berdoa bersama selesai shalat. Cara ini akan membuat anak terbiasa memperhatikan kondisi dan permasalahan yang terjadi pada kaum Muslim di tempat lain.
Kelima, melibatkan anak dalam aktivitas kemanusiaan, seperti mengumpulkan donasi dan sumbangan untuk kaum muslimin yang terkena musibah. Untuk anak-anak yang masih kecil, bisa diceritakan dengan bahasa sederhana musibah yang menimpa dan ajak anak untuk memilih mana baju, mainan atau buku-buku yang akan ia sumbangkan.
Keenam, menjelaskan kepada anak bahwa persoalan kaum Muslim tidak akan selesai tanpa ada ikatan ukhuwah islamiyah yang menjadi kesadaran bersama umat Muslim sedunia. Sebagai contoh, persoalan bangsa Palestina seharusnya bisa selesai ketika kaum Muslim bersatu untuk melawan Israel bersama-sama.
Ketujuh, musuh-musuh Islam yang memahami urgensitas ukhuwah islamiyah ini akan berusaha dengan segala cara untuk terus memecah belah kaum Muslim. Di antaranya melalui strategi adu domba dan memecah belah kaum Muslim dalam sekat-sekat negara-bangsa. Strategi ini harus kita sampaikan pada anak-anak, terutama yang sudah mulai terbentuk pemikiran politiknya, untuk membuat mereka mengerti hakikat persoalan yang terjadi di dunia Islam adalah hilangnya persatuan di antara mereka sehingga dunia Islam butuh pemersatu, yaitu Khilafah Islamiyah.
Dengan memberikan pemahaman secara bertahap, akan terbentuk pemikiran yang benar pada anak tentang ukhuwah islamiyah dan urgensitasnya dalam kehidupan Muslim di seluruh dunia. [Arini Retnaningsih]