Belajar Dari Penaklukan Konstantinopel
Penaklukan Konstantinopel oleh Panglima Perang Muhammad al-Fatih adalah salah satu sejarah penting dalam perjalanan peradaban keemasan Islam. Futuhat Konstantinopel menjadi pintu bagi masuknya Islam ke daratan Eropa. Dari sinilah Kekhilafahan Utsmani yang berpusat di Isntanbul Turki menjadi negara adidaya yang disegani dunia saat itu.
Sultan Muhammad al-Fatih, sang panglima perang terbaik ini, mengepung Konstantinopel selama dua bulan. Mulai 26 Rabiul Awal sampai bisa ditaklukkan pada fajar Hari Selasa 20 Jumada al-Ula 857 H.
Untuk memperingati Penaklukan Konstantinopel 857 H-1453 H, Hizbut Tahrir mengadakan acara secara serentak pada pertengahan Januari 2020 di seluruh dunia dengan mendengarkan pidato Amir Hizbut Tahrir. Dalam pidatonya, Amir Hizbut Tahrir al-‘Alim al-Jalil Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah menyampaikan tujuan dari peringatan ini, “…Memperingati Penaklukan Konstantinopel berarti mengembalikan ingatan agar setiap orang yang punya dua mata melihat keagungan Islam dan kaum Muslim ketika Islam mereka diterapkan. Ketika itu kekufuran tidak bisa berdiri. Bahkan kebenaran menjulang tinggi dan meninggi layaknya kumandang adzan, AlLâh Akbar…!”
Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari penaklukan yang dipimpin Muhammad al-Fatih, pemuda istimewa yang saat itu baru berusia 21 tahun. Pertama: Keyakinan akan janji kemenangan dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Bukan sembarang keyakinan, tetapi keyakinan yang muncul dari keimanan akan kemahakuasaan Allah SWT. Inilah kunci kemenangan kaum Muslim saat menaklukkan Konstantinopel. Sultan Muhammad al-Fatih dan pasukannya sangat yakin akan janji Allah SWT bahwa umat Islam akan dimenangkan. Ia yakin akan kabar gembira dari Rasulullah saw. bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan.
Ketika Rasulullah saw ditanya, “Kota manakah dari dua kota yang ditaklukkan lebih dulu, Konstantinopel atau Roma?” Rasulullah saw. bersabda, “Kota Heraklius ditaklukkan lebih dulu, yakni Konstantinopel.”
Muhammad al-Fatih bukan sekedar yakin akan janji Allah ini. Akan tetapi, ia berusaha keras menjadi orang yang dijanjikan kemuliaan saat menaklukkan Konstantinopel. Meraih gelar kebaikan sebagaimana yang disampaikan Rasulullah saw., “Sungguh Konstantinopel pasti ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin penaklukkan itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.”
Jelas, keyakinan dan kerinduan untuk meraih kemuliaan dalam Islam membutuhkan amal yang sungguh-sungguh dengan mengikuti sunnatullah dan kaidah kausalitas (sababiyah).
Kedua: Tidak cukup yakin. Tidak cukup berdoa. Harus ada ikhtiar terindra untuk meraih tujuan mulia ini. Inilah yang dilakukan oleh Muhammad al-Fatih dan kaum Muslim sebelumnya. Ketika pasukannya mengeluhkan cuaca yang dingin karena lapangan terbuka di sekitar tembok Konstantinopel, Sultan yang mulia ini membangun benteng kokoh tempat berlindung dari dingin kalau dibutuhkan.
Muhammad al-Fatih paham, karena penguasaannya terhadap sains dan teknologi, bahwa dinding Konstantinopel sangatlah kokoh. Tiga lapis yang masing-masing berjarak beberapa meter. Senjata terkuat mereka saat itu manjaniq (pelontar) tidak akan bisa menembusnya. Dibutuhkan senjata yang lebih besar lagi kemampuannya. Berkat pengetahuannya yang mendalam terhadap konstelasi persenjataan di dunia saat itu, Muhammad al-Fatih mengundang seorang insiyur Hungaria, Urban. Diketahui, ia memiliki gagasan besar tentang persenjataan untuk membuat senjata hebat yang bisa menembus dinding berlapis tiga itu. Urban pun mulai membuat meriam itu dengan dibantu oleh para insinyur Utsmani. Sultan al-Fatih mengawasi sendiri kerja mereka. Senjata canggih inilah yang terbukti bisa menjebol dinding tebal Konstantinopel yang selama ini tak pernah berhasil ditembus.
Kesungguhan Muhammad al-Fatih untuk melaksanakan amal sababiyah juga tampak ketika berpikir di mana titik terlemah pertahananan Konstantinopel. Ternyata ada di dinding sisi Teluk Tanduk Emas. Ia tidak berputus asa hanya karena hampir mustahil kapal melawati Teluk yang dipasang rantai penghalang. Ia lalu memerintahkan dalam satu malam untuk membawa 70 kapal melewati Bukit Galata. Ketika pagi menjelang dan musuh melihat kapal-kapal kaum Muslim berada di teluk, hati mereka pun penuh dengan rasa ngeri. Singkat kata, terjadilah kemenangan dan penaklukan. Segala pujian hanya milik Allah, Tuhan semesta alam.
Ketiga: Muhammad al-Fatih juga menyadari, untuk meraih kemenangan Allah dibutuhkan ketaatan dan kedekatan dengan Allah SWT (taqarrub ila Allah). Inilah jalan turunnya kemenangan dari Allah SWT (nashrulLah). Ia mulai dari dirinya sendiri. Sang Panglima tidak pernah berhenti berdoa agar dirinya, pasukannya dan umat Islam agar diberi kemenangan. Shalat tahajud menghiasi malam-malamnya. Pasukannya pun ia pastikan sendiri agar tidak berbuat maksiat, yang bisa menghalangi datangnya pertolongan Allah SWT; tidak meninggalkan shalat wajib; dan memperbanyak amalan-amalan sunnah. AlLahu Akbar.
Sultan Muhammad al-Fatih telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah kaum Muslim. Ia telah sukses menjadikan pasukan kaum Muslim sebagai yang terbaik seperti yang dijanjikan Rasulullah saw.
Sungguh giliran berikutnya ada di tangan kita. Di tangan generasi-generasi kita. Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk mewujudkan dua janji yang tersisa: menaklukkan Kota Roma dan membebaskan Palestina.
Untuk itu kita harus mengikuti apa yang telah dilakukan oleh pendahulu kita: Rasulullah saw., para sahabat dan generasi Muhammad al-Fatih. Kita selalu yakin akan janji kemenangan, menjadi bagian dari yang bersungguh-sungguh mewujudkan janji itu dengan istiqamah tanpa putus asa dan senantiasa membangun kedekatan dengan Allah SWT (taqarrub ila Allah).
Inilah pesan penting Syaikh Abu Rasytah yang perlu kita perhatikan. Dulu Persia dan Bizantium telah menyaksikan kemenangan Islam dan kaum Muslim. Dalam waktu dekat insya’a Allah akan diikuti oleh saudara Bizantium, yakni Roma, sebagai pembenaran atas bagian akhir dari kabar gembira Rasululah saw., yakni berupa Penaklukan Roma. Rasulullah saw. pun telah memberikan kabar gembira dengan bakal kembalinya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, perang terhadap Yahudi dan kekalahan mereka (Yahudi) secara telak. Syaikh Atha’ menegaskan, Rasul saw. tidak berbicara dari hawa nafsunya, tetapi berdasarkan wahyu yang Allah wahyukan kepada beliau. Tiga kabar gembira Rasul saw. yang tersisa akan terealisasi dengan izin Allah SWT. Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]