Opini

Jiwasraya, Korupsi dan Demokrasi

Penuntasan skandal korupsi di tubuh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sedang ditonton masyarakat. Kita berharap jangan sampai penuntasan kasus besar ini mandek atau tertutup ‘mendung’.

Perusahaan ini jiwa mengalami tekanan likuiditas. Ekuitas perseroan tercatat negatif Rp 23,92 triliun pada September 2019. Jiwasraya juga membutuhkan uang sebesar Rp 32,89 triliun untuk kembali sehat. Ibarat fenomena gunung es, kasus Jiwasraya baru muncul. Padahal kasus ini termasuk kasus lama.

Hingga ‘meletus’ di November tahun lalu Menteri BUMN, Erick Thohir memaparkan indikasi kecurangan di Jiwasraya ke Kejaksaan Agung (Kejagung), setelah Pemerintah melihat secara rinci laporan keuangan perusahaan yang dinilai tidak transparan.

Kementerian BUMN juga menduga investasi Jiwasraya banyak ditaruh di saham-saham. Hal ini yang menjadi satu dari sekian masalah gagal bayar klaim. Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta juga menaikkan status pemeriksaan dari penyelidikan menjadi penyidikan pada kasus dugaan korupsi.

Pemberantasan korupsi kian hari malah semakin akut. Bahkan semangat untuk menuntaskan agenda besar ini tampaknya kian hari kian meredup. Penerapan sistem demokrasi liberal pasca reformasi justru membuat kasus-kasus korupsi menjadi lingkaran setan yang tak bisa diputus. Persoalan penegakan hukum malah akhirnya semakin ruwet. Ditunjukkan dengan tumpang tindih kewengan antarlembaga penegak hukum. Mekanisme pengadilan sangat tidak efektif dan efisien karena prosesnya begitu rumit dan bertele-tele, dan berujung tanpa kepastian. Politik saling sandera pejabat.

Semacam ada kesan kuat bahwa berbagai kasus seolah disimpan dan tidak diungkap untuk dijadikan alat tawar. Kasus-kasus itu dijadikan alat untuk mencegah pihak lain menggagalkan total kepentingan masing-masing pihak, mencegah berbagai pihak saling mengungkap kasus pihak lainnya, atau mendorong berbagai pihak untuk berkompromi. Akhirnya, ada semacam ‘ancaman’: siapapun yang berani berulah maka cacat dan kasusnya akan diungkap. Itulah politik ‘saling sandera’ satu pihak atas pihak lain.

Di sisi lain, kepentingan rakyat makin terpinggirkan. Rakyat makin sengsara. Alhasil, doktrin demokrasi bahwa dengan pemilihan langsung oleh rakyat akan dihasilkan penguasa dan politisi yang mendengarkan aspirasi rakyat hanyalah ilusi. Politik ‘saling sandera’ dalam demokrasi ini akan terus ada. Pangkal semua ini adalah pemberlakuan sistem demokrasi di negeri ini. [Yuli Sarwanto; Analis FAKTA]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × three =

Back to top button