Opini

Dalam Jerat Kemiskinan

Sistem Kapitalisme di Indonesia terasa sangat mahal bagi banyak orang. Padahal, negeri ini dianggap sebagai model demokratis terbaik dari negeri Muslim. Realitas menunjukkan banyak sekali masyarakat Indonesia masih terbelenggu oleh kemiskinan.

Fenomena tingginya angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan kegagalan sistem demokrasi sekular dalam memenuhi hak-hak ekonomi masyarakat. Bahkan dengan alasan hidup miskin, banyak perempuan menjatuhkan pilihan untuk bermigrasi ribuan kilometer hanya demi mempertahankan standar dasar kehidupan.

Demokrasi memiliki konsekuensi yang mahal dan kejam bagi rakyat. Apalagi kondisi ini justru melanda Indonesia, negeri yang dipandang oleh pemerintah AS sebagai negara yang paling berhasil melangsungkan demokratisasi di antara negeri-negeri muslim lainnya.

Pujian terhadap demokratisasi Indonesia jelas hanya propaganda ambisius dari agenda kapitalistik-sekular mereka. Topeng manis demokrasi yang menutupi Indonesia tidak bisa menghapuskan ataupun menyembunyikan belenggu kemiskinan yang menimpa perempuan Indonesia. Wajah sebenarnya dari demokrasi adalah sistem gagal yang tidak mampu untuk memelihara urusan umat manusia secara efektif.

Secara sistemik demokrasi melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang tidak akan pernah berpihak pada rakyat, termasuk perempuan. Sistem ini menjadikan uang atau modal sebagai panglima. Sebagai contohnya, lebih dari 80% migas Indonesia dikuasai perusahaan asing. Begitu pun kekayaan alam Indonesia lainnya. Angka kemiskinan terus meningkat. Angka korupsi yang juga meningkat. Konflik sosial di tengah-tengah masyarakat juga cenderung meningkat.

Kemiskinan di Indonesia bersifat struktural, yakni akibat kebijakan Pemerintah yang kurang berpihak terhadap kepentingan rakyat banyak. Inilah buah dari sistem kapitalistik.

Yang menyesakkan dada, gaya hidup penguasa kaum Muslim saat ini yang menampilkan kemewahan, dari mulai gaji yang tinggi hingga mobil dinas yang mahal, tidak bisa dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap jabatan. Bagi mereka, jabatan identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkan jabatan/kekuasaan.

Sikap mereka ini berbeda dengan para khalifah (kepala negara Khilafah) dulu. Bagi para khalifah, jabatan adalah amanah. Karena itu jabatan/kekuasaan benar-benar dimaksudkan untuk menunaikan apa yang menjadi hak rakyatnya. Bagi mereka, martabat dan kehormatan justru terletak pada ketakwaan. Salah satu ukuran ketakwaan terletak pada sikap amanah dalam mengurus rakyat, bukan pada kemewahan. Karena itu kesederhanaan mereka tidak membuat mereka kehilangan martabat dan kehormatan. Wajar jika kisah kesederhanaan para khalifah kaum Muslim pada masa lalu banyak menghiasi sejarah peradaban Islam nan agung ini. Imam as-Suyuthi menuturkan dalam Tarikh al-Khulafa’– tentang kisah kesederhanaan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya. Namun, di balik kebersahajaan itu, Khalifah Umar dan para khalifah kaum Muslim itu mempunyai prestasi yang luar biasa. Mereka berhasil memakmurkan rakyatnya sekaligus menjadikan Islam dan Khilafah Islam memimpin dunia selama berabad-abad dengan segala kemuliaan dan keagungannya. [Adam Syailindra; Koordinator FAR (Forum Aspirasi Rakyat)]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 + twelve =

Back to top button