Dari Redaksi

Cinta Nabi Saw.: Tegakkan Syariah, Lawan Kezaliman

Salah satu pesan penting dalam peringatan kelahiran Rasulullah saw. adalah membangun kecintaan kita kepada beliau. Kecintaan ini tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan kecintaan kita kepada Allah SWT. Inilah cinta yang tertinggi bahkan tidak boleh disandingkan dengan cinta kepada siapa dan apapun, termasuk diri kita sendiri. Firman Allah SWT (yang artinya): Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya.” Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum fasik (TQS at-Taubah [9]: 24).

Rasulullah saw. pun bersabda, “Tidak beriman seorang hamba hingga aku lebih dia cintai daripada keluarganya, hartanya dan seluruh manusia lainnya.” (HR Muttafaq ‘alayh).

Bahkan Rasulullah saw. pun menasihati Umar bin al-Khaththab ra., yang masih menyisakan cintanya kepada diri sendiri sejajar dengan cintanya kepada beliau. Rasulullah saw. baru membenarkan sahabatnya ini ketika ia menyatakan, “Sekarang, demi Allah, sungguh engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Sekarang (engkau benar), wahai Umar!”

Cinta tentu tidak cukup dengan komitmen atau kata-kata. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya wajib kita buktikan dengan amal perbuatan. Firman Allah SWT (yang artinya): Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.”  (TQS Ali Imran [3]: 41).

Imam Ibnu Katsir, tentang ayat ini, dalam tafsirnya menjelaskan bahwa siapapun yang mengaku dirinya mencintai Allah, namun tidak terikat dengan thariqah (metode) Rasulullah saw., maka dia berdusta dalam perkara itu hingga mau mengikuti syariah dan agama beliau.

Inilah bukti keimanan yang sejati: cinta pada syariah Allah SWT dan terikat pada seluruh hukum-hukum Allah dan Rasulul-Nya. Ini perlu kita tegaskan. Pasalnya, tidak sedikit di tengah-tengah umat yang mengakui cinta kepada Rasulullah saw., tetapi tidak mau terikat pada aturan-Nya. Dengan berbagai dalih yang dicari-cari, mereka menolak penerapan syariah Islam secara total. Ada yang menyatakan sudah ada kesepakatan sebelumnya. Bagaimana mungkin hukum Allah dan Rasul-Nya bisa ditolak dengan alasan kesepakatan (konsensus) manusia. Sungguh kesepakatan manusia itu bisa saja berubah-ubah. Yang terpenting, tidak ada nilainya kesepakatan manusia di depan Allah SWT  kalau kesepakatan itu bertentangan dengan syariah Islam atau menjadi alasan untuk menolak hukum-hukum Allah SWT.

Apalagi kalau perkara itu merupakan Ijmak Sahabat, seperti kewajiban penegakan Khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam. Terkait tentang hal ini Imam Syahrastani (w. 548 H) dalam Nihâyah al-Iqdam ‘an Ilm al-Kalâm, berkata, “Tidak pernah terlintas dalam hati dia (Abu Bakar Shiddiq ra.) dan juga hati seseorang (Sahabat) bahwa bumi ini boleh kosong dari seorang imam (khalifah). Semua itu menunjukkan bahwa para Sahabat semuanya tanpa kecuali—sedangkan mereka adalah generasi awal—sepakat bahwa harus ada seorang imam (khalifah). Ijmak dalam bentuk seperti ini (Ijmak Sahabat) adalah dalil yang pasti mengenai kewajiban nenegakkan Imamah (Khilafah).”

Yang lebih batil lagi adalah ketika syariah Islam dan perjuangan penegakan syariah Islam dikriminalisasi. Dianggap sebagai sebuah kejahatan. Bagaimana mungkin memperjuangkan hukum-hukum Allah SWT, termasuk ajaran jihad dan Khilafah, dianggap sebuah kejahatan?

Di sisi lain, mereka yang mengkriminalisasi syariah Islam, termasuk di antaranya ajaran Islam, sistem pemerintahan Khilafah, membela mati-matian aturan kehidupan yang berasal dari hawa nafsu manusia. Habis-habisan membela ideologi Kapitalisme, sekulerisme, liberalisme, hukum-hukum warisan penjajah. Padahal Kapitalisme merupakan ideologi penjajah yang telah membawa kerusakan dan kehancuran bukan hanya bagi umat Islam tapi juga umat manusia.

Alhasil, kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya juga harus terwujud dalam upaya sungguh-sungguh memperjuangkan Islam untuk menegakkan seluruh syariah Islam secara total. Termasuk perjuangan menegakkan Khilafah Islam ‘ala minhâj an-nubuwwah. Pasalnya, bagaimana mungkin kita menerapkan syariah Islam secara total kalau tidak ada institusi politiknya, yaitu Khilafah yang berdasarkan Islam. Sama halnya bagaimana mungkin menerapkan ideologi kapitalisme berikut hukum-hukumnya, tanpa ada negara kapitalis yang berdasarkan sekularisme ?

Perjuangan penegakan syariah Islam sesungguhnya juga perjuangan melawan kebatilan dan kezaliman. Dengan menerapkan syariah Islam ini, kita bisa benar-benar mewujudkan kebaikan pada seluruh umat manusia. Penegakan syariah Islam juga akan menghilangkan kezaliman yang telah menindas manusia. Bukankah Islam memerintahkan kita untuk melawan setiap kebatilan dan kezaliman? Termasuk melakukan perlawanan terhadap penguasa yang zalim. Rasulullah saw. bahkan memberikan gelar yang mulia pemimpin para syuhada (sayyid asy-syuhadâ’)  untuk menunjukkan pahala yang besar bagi siapapun yang berani melawan penguasa yang zalim, meluruskannya, meskipun harus mati karenanya.

Rasulullah saw. pun menyatakan jihad yang paling utama adalah melontarkan kata-kata yang haq di depan penguasa yang zalim. Inilah bukti cinta kepada kepada Rasulullah saw. dan umatnya dengan menegakkan syariah Islam, mewujudkan keadilan dan siap melawan setiap penindasan dan kezaliman.

Allahu Akbar!  [Farid Wadjdi]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × five =

Back to top button