Dari Redaksi

Wajib Membela Muslim Uighur

Sebagaimana dilansir oleh bbc.com (24/11/2019), sejumlah dokumen rahasia Pemerintah Cina dibocorkan kepada Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (International Consortium of Investigative Journalists – ICIJ), yang bekerjasama dengan 17 mitra media, termasuk BBC Panorama dan Surat Kabar The Guardian Inggris. Di antara dokumen itu adalah memo sembilan halaman yang dikirim pada tahun 2017 oleh Zhu Hailun, yang saat itu menjabat wakil sekretaris Partai Komunis Xinjiang dan merupakan pejabat keamanan tertinggi di kawasan tersebut, kepada para pengelola kamp.

Metro.co.uk (8/10/2019) melansir, wanita Muslim di kamp-kamp penjara Tiongkok menjadi sasaran pemerkosaan sistematis, sterilisasi dan aborsi paksa, kata para korban. Para pelarian yang membawa pengungsi ke luar negeri kini berbagi kisah hidup mereka di dalam pusat-pusat penahanan Xinjiang. PBB mengatakan lebih dari 1.000.000 et

Radio Free Asia-RFA (3/8/2017) melaporkan, Pemerintah Cina mengubah masjid menjadi pusat propaganda. Masjid harus mengibarkan bendera Cina dan memasang slogan partai seperti “Cintai Partai (Komunis), Cintai Negara”. Shalat kini harus didahului dengan upacara bendera, menyanyikan lagu partai dan kuliah tentang patriotisme.

Koran The Sun (29/9/2017) dan Radio Free Asia (27/9/2017) memberitakan, polisi Cina menyuruh kaum Muslim Uighur menyerahkan sajadah, semua copy al-Quran  dan benda-benda yang mengandung simbol Islam. Jika tidak, mereka akan menghadapi hukuman yang keras.

Aljazeera (17/1/2018) dan Reuters memberitakan, Cina melarang anak-anak belajar al-Quran dan ikut dalam kegiatan keislaman.

Bloomberg (27/4/2017) memberitakan, Pemerintah Cina melarang daftar nama islami, termasuk Muhammad, sebagai bagian kampanye untuk mencairkan pengaruh agama di dalam kehidupan.

Asia Times (29/5/2018) melansir, Pemerintah Cina menikahkan paksa Muslimah Uighur dengan laki-laki Han yang kafir. Kelompok HAM menyatakan, Pemerintah Cina melakukan penghapusan ras (racial cleansing), menarget Muslim Uighur, dengan dalih inklusi budaya dan asimilasi.

The Guardian (18/1/2018) melaporkan, Cina mengujicoba penggunaan kamera untuk mengenali wajah. Human Right Watch -HRW- (1/5/2019) menurunkan laporan penggunaan kamera itu dengan judul, “Chinas Algorithms of Repression -Algoritma Represi China”.

Human Right Watch (HRW) dalam laporannya (1/5/2019) menyatakan, sejak akhir 2016, Pemerintah Cina telah menundukkan 13 juta etnis Uyghur dan Muslim Turki lainnya di Xinjiang untuk penahanan sewenang-wenang massal, indoktrinasi politik paksa, pembatasan pergerakan dan penindasan agama. Perkiraan yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa di bawah penindasan yang meningkat ini, hingga satu juta orang ditahan di kamp “pendidikan politik”.

Semua itu barulah sebagian dari fakta yang terungkap. Tak terbantahkan bahwa tengah terjadi persekusi dan penindasan dalam aneka bentuk terhadap kaum Muslim Uighur di Turkistan Timur yang oleh Cina disebut Xinjiang. Fakta sesungguhnya sangat mungkin jauh-jauh lebih besar dan mengerikan dari semua yang terungkap itu.

Menyikapi semua itu, kaum Muslim, terutama para penguasa, wajib menunjukkan pembelaan riil. Sebab, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw., “Perumpamaan kaum Mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh yang lain ikut merasakan dengan berjaga atau merasakan demam.” (HR Muslim).

Apalagi Allah SWT berfirman (yang artinya): Jika mereka (kaum Muslim yang tidak bisa berhijrah dan ada di darul kufur) meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan (TQS al-Anfal [8]: 72).

Rasulullah saw dan para Khalifah telah memberikan teladan. Rasulullah saw., dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, langsung mengerahkan pasukan untuk membela Muslimah yang auratnya disingkap oleh orang Yahudi Bani Qainuqa. Khalifah Harun ar-Rasyid mengerahkan pasukan untuk menindak Nakfur yang melecehkan seorang Muslimah. Ujung pasukannya telah tiba di tempat Nakfur Romawi, sementara ekornya masih di ibukota Khilafah. Begitu juga Khalifah al-Mutasim Billah. Ia segera memenuhi jeritan permintaan tolong seorang Muslimah yang dilecehkan di Amuriah hingga berujung pembebasan Amuriah.

Sayang, para penguasa tidak berbuat apa-apa. Sekadar kecaman saja tidak keluar dari mereka. Ikatan iman dan ukhuwah islamiyah yang mengharuskan pembelaan kepada Muslim Uighur dikalahkan oleh ikatan nasionalisme yang bercokol dalam diri para penguasa itu. Mereka menganggap urusan Muslim Uighur bukan urusan mereka, melainkan urusan dalam negeri Cina. Atas dalih “tidak boleh ikut campur urusan dalam negeri negara lain,” mereka bungkam dan tidak berbuat apa-apa. Kalaupun keluar kecaman, itu pun setelah didesak oleh umat Islam. Sungguh benar ketika Rasul saw mensifati ikatan ashabiyah termasuk nasionalisme sebagai hal busuk dan harus ditinggalkan.

Sebagian lagi jadi berdiam diri bahkan membisu setelah ada gelontoran utang, investasi atau bantuan dari Cina. Bahkan kalimat puja-puji dan pembelaan terhadap apa yang dilakukan oleh Pemerintah Cina atas kaum Muslim di Xinjiang meluncur dari mereka.

Kenyataan itu makin menegaskan bahwa Umat Islam sangat memerlukan hadirnya sosok penguasa, seorang imam/khalifah, yang akan bertindak menjaga kemuliaan Islam dan melindungi kaum Muslim. Sebagaimana sabda Rasul saw.: “Sesungguhnya seorang imam/khalifah itu laksana perisai, rakyat (kaum Muslim) berperang di belakangnya dan menjadikan dia pelindung.” (HR al-Bukhari, Muslim dan an-Nasai).

Karena itu, pembelaan kepada kaum Muslim Uighur dan di tempat lainnya harus disempurnakan dengan melakukan perjuangan untuk merealisasi adanya imam/khalifah itu di tengah-tengah umat Islam.

WalLâh alam bi ash-shawâb. [Farid Wadjdi]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five − two =

Back to top button