Fokus

Derita Dunia Islam 2020

Memasuki tahun 2020, kondisi dunia Islam tak menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Berbagai konflik belum mengindikasikan akan selesai. Bahkan demi dominasinya di kawasan Timur Tengah, awal Januari lalu Amerika Serikat membunuh Komandan Brigade Al Quds Iran Letnan Jenderal Qassem Suleimani di Baghdad, Irak.  Iring-iringan mobil Suleimani dihujani rudal dari Drone MQ-9 Reaper milik AS. Serangan ini memicu pembalasan dari militer Iran yang meluncurkan rudal balistik Katyusha ke dua basis militer Amerika di Baghdad. Iran mengklaim serangan itu menewaskan puluhan tentara Amerika, namun itu dibantah oleh Gedung Putih.

Presiden Iran Hassan Rouhani mengancam akan mengusir militer AS dari Irak dan wilayah sekitarnya sebagai pembalasan terhadap pembunuhan Qassem Soleimani. “Jawaban terakhir kami untuk pembunuhannya adalah menendang semua pasukan AS keluar dari wilayah ini,” katanya seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (8/1/2020).

Situasi ini memanaskan kondisi Timur Tengah yang masih terus bergolak. Selama ini diketahui Iran adalah sekutu Amerika. Peran Iran sangat menentukan dalam membantu Amerika mempertahankan rezim-rezim di Timur Tengah.  Iran berada di balik pendudukan Amerika di Irak. Hasilnya, banyak pasukan Garda Revolusioner Iran bisa berada di negara kaya minyak itu hingga sekarang. Demikian pula Iran berperan penting di Suriah. Militer Iran masuk ke wilayah konflik itu untuk membantu Presiden Bashar Assad mempertahankan kekuasaannya, melawan rakyat Suriah.  Iran juga andil di Yaman. Semua atas restu Amerika.

Belum diketahui ekskalasi konflik AS-Iran ini akan membesar atau hanya temporal saja. Sejauh ini banyak pengamat menganalisis bahwa serangan Amerika ini hanyalah cara Presiden Donald Trump mengalihkan isu pemakzulan dirinya oleh DPR Amerika. Trump berusaha meraih dukungan rakyat Amerika dengan menciptakan konflik baru. Di pihak lain, Iran dianggap hanya main-main saja sebab banyak kepentingan Iran terkait Amerika di kawasan.

 

Konflik Tak Surut

Tindakan Amerika menyerang sekutu dekatnya [baca: Iran] di Ibukota Irak Baghdad menunjukkan besarnya eksistensi Amerika di kawasan tersebut. Amerika masih mengendalikan seluruh wilayah Timur Tengah secara politik.

Irak belum bisa melepaskan diri dari cengkeraman Amerika yang menjajahnya secara militer sejak 2003. Pangkalan-pangkalan militer Amerika berdiri kokoh di sana dengan dibiayai oleh sumber-sumber minyak Irak. Pemilu demokrasi yang terjadi hanyalah jalan untuk melegitimasi pemimpin yang sudah disiapkan oleh Amerika. Negara Paman Sam itu masih terus memanaskan suhu politik Irak dengan membiarkan bara konflik antar kelompok yang berlawanan di sana yakni Suni, Syiah dan Kurdi. Perpecahan menjadi jalan bagi Amerika melemahkan negara kaya minyak itu untuk merdeka.

Tetangga Irak, Suriah, masih terus dalam konflik. Presiden Bashar Assad kian kokoh di posisinya setelah mendapat dukungan dari Amerika, Rusia dan Iran.  Keinginan rakyat Suriah untuk melepaskan diri dari cengkeraman Bashar Assad belum menemui hasil.  Kelaparan dan kemiskinan melanda negeri itu. Bashar tak peduli. Sekira 128 ribu orang ditahan dan dihilangkan secara paksa oleh rezim Bashar dengan berbagai tuduhan. Lebih dari 14 ribu orang tewas dalam konflik yang berlangsung sejak 2011 itu. Tercatat beberapa kali militer Bashar membombardir rakyatnya sendiri dengan senjata kimia yang mematikan.

Di Yaman, konflik kepentingan negara-negara besar terus menjadikan rakyat negeri itu korban sia-sia.  Sejak 2014, puluhan ribu orang mati sia-sia akibat perang dan kelaparan. Saat itu kelompok Houthi yang didukung Iran mengusir Pemerintah Yaman keluar dari ibukota Yaman, Sanaa. Koalisi negara-negara Muslim Sunni yang dipimpin Arab Saudi turun tangan tahun berikutnya untuk memulihkan pemerintah yang digulingkan.  Bukannya menyelesaikan konflik, masuknya kekuatan asing itu mengakibatkan penderitaan berkepanjangan rakyat Yaman. PBB mencatat lebih dari 7 juta anak-anak kelaparan—belum termasuk orang tua. Lembaga internasional itu menuding, Amerika, Inggris dan Prancis terlibat dalam kejahatan perang di sana.

Kondisi yang lebih parah terjadi di Palestina. Israel dengan dukungan Amerika tak kenal henti menunjukkan kebiadabannya. Rumah-rumah warga Palestina dihancurkan dan diambil paksa. Penghuninya diusir. Wilayah Palestina terus menyempit. Saat ini Israel telah menguasai 85 persen wilayah Palestina. Kota suci umat Islam Al-Quds sebentar lagi akan menjadi bagian dari Israel. Hal itu ditandai dengan perpindahan Kedubes Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem. Sangat mungkin, ibukota Israel pun ke depan akan berpindah ke sana. Ini artinya, aneksasi Israel ke wilayah Palestina menuju sempurna.  Tercatat 42 persen penduduk Palestina mengungsi ke berbagai negara. Korban tewas dan terluka tak terhitung jumlahnya. Warga yang masih berada di Tepi Barat dan Jalur Gaza dalam kondisi memprihatinkan. Bukannya membebaskan penjajahan, Barat pimpinan Amerika berusaha memaksa Palestina mengakui eksistensi Israel. Inilah yang dikenal sebagai solusi dua negara. Rakyat Palestina yang tetap melawan Israel dicap sebagai teroris dan dihabisi, tanpa pandang bulu, anak-anak maupun orang tua. Dunia internasional membiarkan kebiadaban berpuluh-puluh tahun itu.

 

Muslim Minoritas

Di belahan dunia lain, kaum Muslim yang menjadi minoritas di negaranya tak kalah pedih penderitaannya.  Mereka mendapat perlakuan semena-mena dari negara dan penduduk non-Muslim hanya gara-gara keislamnnya.

Muslim Uighur di Xinjiang (Turkistan Timur) dipaksa menghilangkan identitas kemuslimannya oleh pemerintah komunis Cina. Jutaan orang saat ini berada dalam kamp-kamp konsentrasi dalam rangka mengubah pemikiran mereka agar sejalan dengan ideologi komunis. Mereka dipaksa meninggalkan ajaran Islam.  Rezim komunis Cina telah puluhan tahun diduga mengontrol ruang gerak etnis Uighur hingga membatasi hak mereka melakukan aktivitas keagamaan. Mereka dilarang berpuasa hingga memakai nama ‘Muhammad’. Wanita berkerudung dan laki-laki berjenggot dimata-matai dan dianggap sebagai ekstremis. Uighur yang dulu menjadi mayoritas di Xinjiang berubah menjadi minoritas akibat kebijakan sistematis rezim komunis melalui migrasi besar-besaran suku Han ke wilayah itu.  Belum ada tanda-tanda rezim Cina melepaskan cengkeraman mereka.

Nasib yang sama dialami oleh Muslim Rohingya di Myanmar. Mereka yang ratusan tahun hidup di kampung halamannya harus menghadapi kenyataan terusir dari tempat kelahirannya itu karena dianggap penduduk haram oleh rezim Budha Myanmar.  Mereka tak boleh memperoleh kewarganegaraan. Bukan hanya rezim, Budha Myanmar pun mengobarkan perang kepada mereka. Puluhan ribu Muslim harus lari dari rumahnya dan mengungsi ke perbatasan karena serangan militer yang dibantu ekstremis Budha.  Mereka hidup ala kadarnya di perbatasan, sementara dunia internasional hanya melihatnya saja.

Di Kashmir, Muslim terus ditekan oleh pemerintah India.  Wilayah yang berada di dua administrasi pemerintahan, yakni India dan Pakistan, menjadi korban konflik kepentingan.  Keinginan mereka untuk melepaskan diri dari India dan membangun negara merdeka selalu ditentang oleh India. PBB sempat merekomendasikan referendum bagi penduduk Kashmir, tetapi ditentang oleh India. Padahal, wilayah Jammu dan Kashmir penduduknya mayoritas Muslim. Wilayah ini adalah satu-satunya negara bagian di India yang penduduknya mayoritas Muslim.  Cengkeraman India ini menyebabkan kehidupan Muslim tertekan. Apalagi baru saja India mencabut status daerah istimewa bagi Jammu dan Kashmir. Berbekal keistimewaan itu, negara bagian tersebut berhak membuat aturan sendiri. Dengan status yang baru, Kashmir benar-benar di bawah ketiak India.

 

Islamophobia

Minoritas Muslim di benua Eropa mengalami nasib yang agak lebih baik dibandingkan saudara-saudara mereka di negara yang otoriter. Hanya saja, permusuhan terhadap komunitas Muslim itu ini masih saja berlangsung. Ini sangat bertentangan dengan warga Eropa yang notabene katanya menjunjung tinggi penghormatan kepada hak asasi manusia dan kebebasan.

Komunitas Muslim di sana menghadapi teror jenis baru yang berakar pada rasisme anti Islam dan supremasi ideologi putih. Berdasarkan laporan Islamophobia di Eropa, tercatat, gerakan sayap kanan, nasionalis dan populis mulai meningkatkan pengaruh di sepanjang Eropa. Saat mereka mendapat kekuasaan maka minoritas Muslim mendapat perlakuan tak mengenakan. Hal ini terjadi di Italia, Austria, Hungaria dan Polandia sejak 2018 dan mengarah pada kekerasan kepada Muslim.

Bahkan di negara di mana kelompok itu tak mendapat kekuasaan, gerakan sayap kanan terus menekan Muslim. Mereka berusaha menerapkan ideologi agar Islamophobia terus menguat.

Kasus Islamophobia di Austria saja sudah naik hingga 74 persen sepanjang 2018. Di Prancis, kebijakan anti teror malah seolah membuat polisi serupa militer. Kebijakan di Prancis itu merusak hak-hak dasar masyarakat.

Italia juga menjadi negara dengan tingkat intoleransi kepada Muslim yang terus melonjak. Ujaran kebencian di media sosial juga naik tiga kali lipat di tahun 2018 dari 2017.

Di Jerman, serangan terhadap masjid meningkat tajam. Hal yang sama terjadi di Belanda. Ada yang mencorat-coret masjid dengan tulisan rasis.  Serangan fisik terbesar terhadap jamaah masjid terjadi di Selandia Baru.  Brenton Tarrant secara membabi buta menembaki para jamaah Masjid Noor di kota Christchurch, menewaskan 49 orang dan melukai puluhan lainnya.

Di Belanda, partai sayap kanan pimpinan Geert Wilders terus mengampanyekan anti-Islam. Di akhir 2019,  politikus sekaligus anggota parlemen kembali menggelar kompetisi gambar kartun Nabi Muhammad saw. Kicauannya di Twitter kerap berisi ujaran kebencian hingga mendiskreditkan Islam dan umat Muslim.

Di Amerika Serikat sendiri, Muslim menjadi kelompok yang paling banyak mengalami diskriminasi.  Berdasarkan survei, delapan dari sepuluh warga Amerika percaya bahwa Muslim menghadapi lebih banyak diskriminasi daripada kelompok lain di AS, menurut sebuah jajak pendapat oleh Pusat Riset Pew.

 

Radikalisme

Dalam situasi terjepit tersebut, Muslim di seluruh dunia menjadi sasaran perang melawan radikalisme. Amerika Serikat berada paling depan dalam perang global ini. Bahkan secara terang-terangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyerukan kepada negara-negara mayoritas Muslim untuk memimpin upaya memerangi radikalisme.

Berpidato di hadapan para pemimpin 55 negara Muslim dalam pertemuan di Riyadh, Arab Saudi pada Ahad (21/5/19), Trump berkata, “Usir mereka dari muka bumi ini.”

Amerika meminjam tangan antek-anteknya untuk melawan mereka yang mereka tuding radikal. Amerika meminta para pemimpin Muslim mengambil inisiatif, tanpa menunggu perintah Amerika untuk memerangi kelompok-kelompok ekstrem.

“Ini adalah pertempuran antara penjahat barbar yang berusaha membinasakan kehidupan manusia dan orang-orang layak dari semua agama yang berusaha melindunginya,” jelas Trump.

Kebencian penguasa negara adidaya itu begitu besar hingga pernah berinisiatif membuat bank data tentang semua Muslim yang tinggal di Amerika Serikat dan mengaitkan agama Islam dengan kekerasan. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan, “Saya pikir Islam membenci kita.”

Ia sempat menyerukan agar semua orang Islam untuk sementara dilarang masuk ke Amerika Serikat terkait dengan kekhawatiran keamanan. Peraturan yang bertujuan untuk membatasi masuknya penduduk dari sejumlah negara yang mayoritas penduduknya Muslim masih diperkarakan di berbagai pengadilan di Amerika Serikat.

 

Antek Barat

Para penguasa negara-negara Muslim sendiri tak bisa berkutik terhadap program global Amerika itu. Ini terjadi karena mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Amerika atau mendapat restu Amerika. Kebijakan dalam negerinya tak bisa dilepaskan dari kepentingan global Amerika.

Jenderal Abdul Fatah Al Sisi, Presiden Mesir, misalnya. Ia sepenuhnya mengabdi kepada Amerika karena keberadaannya sebagai penguasa Mesir tidak lepas dari dukungan Amerika atas dirinya ketika menggulingkan Presiden Muhammad Mursi. Demikian pula penguasa Kerajaan Saudi, Raja Salman. Ia adalah mitra utama Amerika di Timur Tengah. Di kawasan Asia, Presiden Indonesia Joko Widodo pun menjadi bagian dari kepentingan Amerika  di negeri Muslim terbesar di dunia ini. Bisa dikatakan, tak ada penguasa negara Muslim yang mandiri dan bebas dari kepentingan Amerika, Turki sekalipun.

Melalui tangan-tangan para penguasa inilah kekayaan alam negeri-negeri Muslim dirampok oleh Barat. Langkah ini dilakukan secara tidak langsung, baik melalui mekanisme utang luar negeri maupun melalui bercokolnya perusahaan-perusahaan multinasional Barat. Kapitalisme global menancapkan kukunya secara legal atas legitimasi para penguasa itu.

 

Penyesatan Politik

Dominasi Barat atas Dunia Islam mengakibatkan berbagai penderitaan yang tak pernah henti.  Sudah jutaan kaum Muslim menjadi korban kebiadaban Barat yang mengorbankan perang demi meraih kepentingan politik dan ekonominya. Kaum Muslim menjadi tumbal kerakusan sistem Kapitalisme global yang ditopang oleh kekuatan politik  dan militer Barat.

Namun, bukannya mengakui kesalahannya, Barat yang dipimpin oleh Amerika justru menimpakan kegagalan mereka mewujudkan dunia yang adil dan sejahtera kepada kaum Muslim.  Mereka menuding umat Islamlah yang mengganggu stabilitas dunia. Untuk kepentingan itu, mereka membangun narasi seolah-olah umat Islam biang kehancuran  dunia sehingga harus dimusuhi oleh warga dunia.

Strategi Barat ini terus berlangsung hingga sekarang, demi menutupi sistem mereka yang sudah menjelang ajalnya. Kapitalisme global akan hancur sebagaimana hancurkan Komunisme. Dengan memanfaatkan kontrol mereka atas informasi, Barat mencoba menutupinya dan mencitraburukkan Islam—ideologi alternatif yang kini sedang berkembang.

Namun demikian, pada akhirnya waktu yang akan membuktikan bahwa Islam akan kembali menjadi mercusuar peradaban. [Mujiyanto]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four + twelve =

Back to top button