Fokus

Indonesia Makin Suram Pasca Pemilu?

Perhelatan demokrasi di Tanah Air pada periode ini begitu keras dan ketat. Kerasnya atmosfer kompetisi antar kedua paslon, yakni kubu Jokowi-Maruf & Prabowo-Sandiaga, terasa lebih kuat ketimbang pada Pilpres sebelumnya. Persaingan kedua kubu paslon ini dirasakan di media sosial hingga dunia nyata.

Sebagai petahana, kubu 01 tak jarang memanfaatkan jalur-jalur birokrasi, juga dunia kampus, untuk memenangkan pertarungan. Kubu Jokowi-Maruf beberapa kali mengarahkan kepala daerah dan ASN untuk menyatakan dukungan. Taktik yang sebenarnya melawan aturan Pemilu, tetapi berkali-kali mereka lolos dari sempritan Bawaslu.

Kerasnya kontestasi Pilpres juga dirasakan dari isu-isu politik yang dilontarkan kedua kubu. Kubu 01 kerap menuding lawan politiknya ditunggangi kelompok Islam radikal. Para pendukung 01 menuduh Prabowo ditunggangi kelompok eks HTI yang pro Khilafah. Tudingan ini banyak disanggah oleh para pendukung kubu Prabowo-Sandiaga. Sebaliknya, sebagian pendukung kubu 02 menuding kompetitornya membawa jaringan kelompok liberal, pro komunis dan menguntungkan asing-aseng.

Akibatnya, suhu politik nasional sejak sebelum hingga pasca pencoblosan masih terus memanas. Puncaknya, terjadi aksi demo massa ke Gedung Bawaslu yang diwarnai bentrokan aparat dengan kelompok perusuh yang mengakibatkan ratusan korban terluka dan 8 korban jiwa meninggal. Dalam bentrokan tersebut sejumlah tenaga medis pun mengalami luka-luka diduga akibat serangan aparat.

 

Petahana Melemah

Meskipun KPU telah mengumumkan pasangan Jokowi-Maruf memenangkan Pilpres dengan perolehan 54% suara, sulit untuk mengatakan bahwa petahana mendapatkan legitimasi penuh dari publik. Hal ini disebabkan sejumlah fakta. Pertama: Dugaan kecurangan yang dilakukan oleh kubu petahana hingga melibatkan KPU. Kubu 02 berkali-kali melontarkan temuan manipulasi suara, yakni penggelembungan suara kubu lawan dan pengurangan suara mereka oleh pihak KPU. Secara resmi, kubu Badan Pemenangan Nasional (BPN) 02 menyatakan terjadi 1200 kecurangan, termasuk klaim adanya 17,5 juta data pemilih invalid. Media sosial, terutama twitter, juga riuh oleh para pendukung 02 yang menemukan dugaan banyak kecurangan di sejumlah TPS di daerah, maupun hasil pengamatan mereka di situs milik KPU.

Sebaliknya, kubu Prabowo-Sandiaga juga mengklaim mereka justru mendapat suara terbanyak dengan perolehan suara 54%. Sejumlah lembaga survey seperti Lembaga Survei Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) juga Jurdil 2019 mengumumkan hasil yang menyebutkan kemenangan ada di kubu 02. Karena itu temuan dugaan kecurangan dan perbedaan hasil perhitungan suara berdampak secara politis maupun psikologis pada legitimasi keterpilihan kubu Jokowi-Maruf. Andai mereka tetap dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, kedudukan mereka dipandang sebelah mata oleh rakyat Indonesia.

Kondisi tidak menguntungkan ini disadari betul oleh pihak TKN. Karena itu mereka berulang memperingatkan kubu lawan dan siapa saja yang beroposisi dengan Pemerintah untuk tidak mendelegitimasi KPU maupun hasil Pilpres. Melalui Menkopolhukam Wiran-to, Pemerintah mengancam akan menindak siapa saja yang akan mendelegitimasi penyelenggara Pemilu.

Sikap Pemerintah yang sekaligus menjadi kontestan sebenarnya menjadi blunder demokrasi. Sebab dengan begitu mereka juga menjadi wasit yang cenderung menafsirkan aturan hukum yang menguntungkan kubu sendiri. Berulang para menteri dan aparatur Pemerintah, bahkan Kepolisian, melakukan tindakan yang dinilai merugikan kubu oposisi. Misalnya berkali-kali sejumlah kepala daerah pro Jokowi-Ma’ruf menyatakan dukungan dan kampanye, namun berkali-kali pula lolos dari sanksi.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang seharusnya menjadi ‘polisi’ penyelenggaraan Pemilu hanya menjadi macan kertas. Mereka seperti tak berkutik dan tak digubris oleh kontestan manakala terjadi pelanggaran kampanye. Kubu Prabowo melalui BPN berulang melaporkan terjadinya dugaan kecurangan terstruktur, masif dan sistematis (TSM). Namun, berulang pula Bawaslu menolak dengan alasan bukti kurang kuat. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan netralitas dan manfaatnya Bawaslu dalam hajatan demokrasi.

Kedua: Merosotnya kredibilitas pemerinta-han Jokowi-Ma’ruf tampak kuat pada opini publik yang berkembang di jejaring sosial. Meski kubu 01 sudah mengendalikan media massa mainstream untuk membangun citra dan melawan opini publik, usaha itu tidak bisa mencegah terpuruknya citra petahana di kalangan netizen. Karena itu Pemilu 2019 juga mencatat fenomena baru di Tanah Air, yakni terjadinya pertarungan media massa mainstream – cetak maupun online – melawan netizen.

Jargon pers sebagai kekuatan ke-4 dalam sistem demokrasi, yang berperan sebagai watchdog yang jalankan fungsi kontrol, kritik dan koreksi atas persoalan yang menjadi keprihatinan publik, justru macet dalam Pemilu di Tanah Air. Media massa mainstream malah mengambil posisi sebagai partisan pada kubu yang berkompetisi dalam Pemilu. Ini karena sejumlah media massa dimiliki oleh para petinggi parpol atau tokoh pemenangan Pemilu. Di kubu 01 ada Surya Paloh selaku pemilik jaringan Media Indonesia dan Metrotv, kemudian Hari Tanoe pemilik MNC Grup dan Erick Thohir yang menakhodai Mahaka Grup yang memiliki sejumlah media. Belum lagi media massa lain seperti Detik.com, CNNIndonesia.com dan Tirto.id yang pemberitaannya sarat dengan dukungan pada kubu petahana dan kerap menyerang kaum oposisi. Hal ini dimanfaatkan betul oleh kubu Jokowi dengan menghimbau publik untuk lebih percaya media massa konvensional ketimbang media sosial.

Media massa mainstream atau konvensional itu tidak lagi menjadi pilar ke-4 demokrasi, tetapi sudah berkhianat pada publik. Para jurnalis yang harusnya menjaga netralitas, berpihak pada publik dan berani mengoreksi Pemerintah, justru menjadi menunjukkan sikap partisan. Begitu beraninya sampai mereka berani menurunkan tulisan hoax. Demikian sebagaimana disampaikan Hersubeno Arief, pengamat media massa, dalam tulisan di situs pribadinya, “Pilpres 2019: Hoax-Hoax Resmi Berbayar di Media Massa.”  (https://www.hersubenoarief .com/artikel/pilpres-2019-hoax-hoax-resmi-berbayar-di-media-massa/).

Sikap media massa itu yang menjadi corong petahana justru makin memicu perlawanan sengit publik melalui jejaring sosial atau medsos. Warga dunia maya, atau netizen, membombardir publik dengan mengungkap berbagai temuan mereka di lapangan. Survey Median menyebutkan bila pemerintahan Jokowi kedodoran di media sosial. Hal ini pun diakui oleh Presiden Jokowi bila Pemerintah sulit mengendalikan media sosial.

Massifnya arus informasi langsung dari lapangan oleh netizen akhirnya mendorong Pemerintah melalui Menkopolhukam dan Menkominfo untuk membatasi dan memblokir media sosial dengan alasan melawan berita bohong. Hal ini dilakukan saat terjadi kerusuhan yang mewarnai aksi tuntutan publik ke Bawaslu.

Namun, kebijakan Pemerintah itu sebenarnya menjadi boomerang. Di satu sisi merugikan publik terutama pelaku bisnis online. Di sisi lain dicurigai menjadi cara Pemerintah untuk menutupi berbagai kecurangan dan kebobrokan Pemerintah, seperti tindakan represif aparat dalam menangani kerusuhan di Jakarta. Kebijakan ini membuat kredibilitas Pemerintah semakin anjlok di mata publik.

Ketiga:  Menguatnya politik identitas. Pemilu kali ini mencatat benturan kelompok Islam-liberal-sekular dengan kalangan pemilih yang menyuarakan Islam-politik. Kubu Prabowo-Sandi banyak didukung kelompok Islam, terutama setelah mengantongi keputusan ijtima ulama. Tudingan kubu oposisi ditunggangi kelompok Islam radikal tidak menyurutkan pemilih Muslim yang telah sadar akan Islam sebagai ajaran kâffah untuk terlibat dalam Pemilu dan berseberangan dengan petahana. Terutama setelah mereka melihat kubu petahana lebih mengakomodir kepentingan kaum sekular-liberal dan melakukan sejumlah tindakan represif pada tokoh-tokoh Islam.

Di tengah seruan rekonsiliasi pasca Pemilu, Pemerintah justru makin bertindak represif terhadap tokoh-tokoh Islam. Nama-nama seperti Habib Rizieq Shihab, Ustadz Bachtiar Nasir, Ustadz Haikal Hassan, Mustofa Nahrawardaya, Egy Sudjana bahkan Amien Rais masuk dalam radar Kepolisian dengan tudingan makar. Sebaliknya, nama-nama kalangan sekuler-liberal seperti Ade Armando, Permadi Arya, Viktor Laiskodat, Ulin Yusron, yang sudah dilaporkan karena melakukan sejumlah pelanggaran seperti pencemaran ajaran Islam, ujaran kebencian, atau penyalahgunaan data kependudukan, justru tak tersentuh hukum. Ketimpangan hukum ini justru semakin menguatkan pandangan publik bila Pemerintah memang memiliki pandangan sentimen dan antipati terhadap kelompok Islam, kecuali pada ormas dan tokoh yang sepemikiran dengan mereka.

 

Ulangi Keterpurukan?

Andaipun jadi dilantik kedua kalinya, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dihadapkan pada sejumlah persoalan berat. Dalam bidang ekonomi, Jokowi harus bisa menyelesaikan sekurang-kurangnya lima persoalan besar: kenaikan utang LN, merosotnya mata uang rupiah terhadal dolar, defisit neraca perdagangan, rendahnya target pertumbuhan ekonomi dan lesunya perekonomian sektor riil.

Persoalan utang LN menjadi sorotan banyak pihak. Jokowi harus mampu mengelola utang Pemerintah yang jatuh tempo sebesar Rp 409 triliun, yang harus dibayar pada tahun 2019 ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa tahun depan Pemerintah menghadapi tantangan cukup berat khususnya dalam mengelola anggaran karena utang jatuh tempo yang besar.

Dampak utang yang besar itu membuat Pemerintah mengalami defisit anggaran pada RAPBN 2019 yang diperkirakan mencapai Rp 297,2 triliun. Nilai itu setara dengan 1,84 persen terhadap PDB atau turun dibandingkan outlook APBN 2018 sebesar 2,12 persen terhadap PDB. Adapun keseimbangan primer terus diupayakan mengalami penurunan menjadi negatif Rp 21,7 triliun dari outlook 2018 sebesar negatif Rp 64,8 triliun.

Naiknya utang Pemerintah telah mendapatkan peringatan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir. Memang rasio utang tersebut masih di bawah ambang batas 60 persen dari PDB, namun terus mengalami kenaikan sejak 2015 sampai dengan 2017. Pada 2015 sebesar 27,4 persen, 2016 sebesar 28,3 persen dan 2017 sebesar 29,93 persen.

Kondisi perekonomian di Tanah Air justru tengah terpukul akibat defisit neraca perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bila neraca perdagangan pada April 2019 mencatat defisit hingga US$ 2,5 miliar. Tingginya defisit neraca perdagangan periode ini menjadi ‘prestasi’ tersendiri bagi pemerintahan Jokowi. Menurut BPS kejadian ini merupakan angka terbesar sepanjang 20 tahun terakhir.

Beratnya kondisi perekonomian ini sudah lama dirasakan masyarakat. Target pertumbuhan hingga 7% yang dijanjikan Presiden Jokowi terkoreksi hanya mencapai 5,3%. Sejumlah lembaga internasional justru memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2019 berkisar pada 5,2%. Bahkan Moodys Investor Services meproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 5%.

Lesunya perekonomian di Tanah Air sudah dirasakan rakyat jauh sebelum Pemilu. Industri tekstil lebih awal mengalami keterpurukan. Ada 18 ribu perusahaan tekstil bangkrut dan terpaksa merumahkan hampir 30 ribu karyawan. Hal ini terjadi karena kenaikan tarif listrik, melemahnya rupiah terhadap dolar dan serbuan tekstil impor terutama dari Cina.

Bisnis ritail juga mengalami masa suram di era pemerintahan Jokowi. Pada tahun 2017 Seven Eleven, misalnya, harus menutup bisnisnya di Indonesia yang telah dirintis sejak 2009, karena kalah persaingan. Pebisnis retail raksana Giant terpaksa menutup 26 gerai dan merumahkan sekitar 500-an karyawannya. Melihat tren ekonomi yang tak kunjung membaik, membuat para pebisnis retail cemas tren negatif ini belum akan berakhir.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut total karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam kurun 2015-2018 mencapai hampir 1 juta orang. Beberapa perusahaan yang merumahkan karyawannya antara lain PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, PT Holcim Indonesia Tbk, dan PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk.

Ketua KSPI Said Iqbal menilai sektor semen dan baja tak cukup kuat untuk berkompetisi dengan perusahaan asal Cina sehingga beberapa pabrik ditutup. Baja dan semen asal negara Tirai Bambu membuat penjualan perusahaan dalam negeri merosot. Iqbal juga menyebutkan Pemerintah sengaja menutup-nutupi angka PHK buruh yang amat tinggi ini.

Karena itu secara nyata rakyat sudah mengalami kondisi ekonomi yang setiap hari semakin berat. Loyonya rupiah terhadap dolar membuat sejumlah barang mengalami kenaikan harga dan menyulitkan pedagang maupun konsumen. Di sisi lain rakyat terus dihimpit beban hidup seperti kenaikkan tarif listrik di tahun 2017, dikejar pajak, kenaikan tarif tol, ditambah rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Jelang lebaran 2019, masyarakat juga dipaksa makin mengetatkan keuangan karena kenaikan sembako dan naiknya tarif angkutan umum untuk mudik. Bahkan tarif penerbangan domestik mengalami kenaikan besar-besaran. Sudah pasti kondisi ini makin menekan kehidupan masyarakat.

Pemerintahan Jokowi juga dianggap belum serius dan belum berhasil melakukan pemberantasan korupsi. Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menilai penanganan kasus korupsi di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih jauh dari harapan. Tidak seperti janjinya saat kampanye.

Bahkan jelang akhir periode pertama menjabat presiden, empat menteri tersandung kasus korupsi. Satu sudah menjadi terpidana korupsi yakni, Idrus Marham yang semula menjabat menteri social. Tiga lagi diperiksa sementara sebagai saksi yakni: Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Menteri Olahraga dan Kepemudaan Imam Nahrowi dalam kasus yang berbeda. Selain itu ada Kepala BNP2TKI Nusron Wahid yang juga disidik KPK terkait penyediaan 400 ribu amplop berisi uang yang akan digunakan dalam serangan fajar jelang Pileg lalu.

Dalam kasus yang menyeret Lukman Hakim, tersangka korupsi justru orang yang berada di lingkaran kekuasaan Jokowi, yakni Ketua Umum PPP Romahurmuzy. Romi menjadi tersangka kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama.

Bukan hanya itu, partai pengusung Jokowi dalam pemilu, PDIP, justru menempati peringkat pertama sebagai parpol dengan jumlah politisi terjerat kasus korupsi. Sumber dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Detik.com, sejak Era Reformasi bergulir, tepatnya dari 2002 hingga 2017, tercatat telah terjadi 341 kali perkara korupsi yang dilakukan oleh kader dari 12 partai politik. Kader PDIP menjadi jawara dengan menyumbang 120 kasus, lalu disusul Golkar dengan 82 kasus. Karena itu kampanye pemberantasan korupsi yang pernah dikampanyekan Jokowi kian terasa berat untuk diwujudkan karena korupsi justru terjadi di lingkaran kekuasaan dan sejumlah politisi dari parpol pendukungnya.

Kalau sudah begini, awan gelap sepertinya belum akan beranjak dari langit Indonesia. Bukan tidak mungkin justru akan semakin gelap dan suram di bawah kepemimpinan Jokowi untuk yang kedua kalinya.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen − one =

Back to top button