Muhasabah

Kebangkitan Islam VS Kebangkitan Radikalisme

Dulu, jaman Orde Baru, kita ini dikejar-kejar.  Islam dianggap ancaman.  Pokoknya siapa saja yang berbicara Islam dicap berbahaya,” ungkap Pak Mufti.

“Naskah khuthbah saja harus di-screening.  Bila tidak sesuai dengan selera penguasa, tidak boleh dibacakan,” kenangnya.

Aktifis Islam era 70-an itu segera menambahkan, “Penangkapan aktivis Islam saat itu sudah merupakan kebiasaan.  Ketakutan ditebarkan.  Akhirnya, aktivitas keislaman pun banyak yang dilakukan di bawah tanah.”

Saya masih ingat kondisi seperti itu.  Pada era awal 80-an, saya masih ingat orang yang berjilbab saja dapat dihitung dengan jari.  Bahkan para Muslimah yang berkerudung kala itu sering digelari sebagai ‘ninja’.  Kampus pun dikebiri dengan program normalisasi kehidupan kampus (NKK/BKK).

Pada saat yang hampir bersamaan, pada tahun 1979 M, bertepatan dengan tahun 1400 H, mulai semilir isu ‘Kebangkitan Islam’.  Pengaruh dari Timur Tengah sampai hingga Indonesia.  Dalam kondisi demikian, pada tahun 85-86 mulai ramai mahasiswa berbicara tentang ‘Kebangkitan Islam Abad 15’.  Jilbab menjamur. Pengajian bermunculan. Aktivis Islam mulai menggeliat kembali.  Isu islamisasi sains mencuat.  Kredo dakwah bil hal menggema.  Ma’had ‘Ali Perguruan Tinggi, tempat para alumni perguruan tinggi menggali ilmu keislaman setelah lulus studinya, menyeruak. Ikatan cendekiawan Muslim muncul.  Bank Muamalat berdiri.  Disusul berikutnya dengan perbankan syariah.

Alhasil, kegiatan dan semangat keislaman saat itu muncul dalam berbagai jenisnya.  Kebanggaan umat Islam akan agamanya terus tumbuh. Bukan sekadar di kota, namun juga merambah ke desa-desa. Tak hanya di kalangan mahasiswa dan pelajar, melainkan menggema hingga ke segenap lapisan masyarakat.  Pengaruh spirit keislaman ini terus mengalir hingga kini.

Lain dulu, lain sekarang.  Semua kebaikan itu kini dipandang bahaya.  Digunakanlah kata radikal agar masyarakat takut pada agamanya sendiri.  Orang yang mengenakan kerudung dianggap antikebhinekaan.  Orang yang melarang menikah beda agama juga dituding antikebhinekaan.  Aturan yang dianggap beraroma syariah dicap diskriminatif. Ratusan peraturan daerah (Perda) yang mengatur umat Islam dibatalkan.  Tidak mau mengucapkan selamat natal digelari intoleran.  Orang-orang yang terikat dengan ajaran Islam dijuluki sebagai fundamentalis dan diklaim sebagai pihak yang membahayakan.  Siapa pun yang cinta pada Islam, baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, pegawai negeri dan swasta, bahkan pihak kepolisian dan tentara akan disebut ‘terpapar radikalisme’.  Seakan-akan kata radikal merupakan kata yang sangat buruk.

Padahal di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia makna radikal adalah secara mendasar (sampai pada hal yang prinsip); amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan);  maju dalam berpikir atau bertindak.  Sangat positif.  Tidak heran, dua tahun lalu, Mantan KSAD Jendral (Purn) Tyasno Sudarto mengatakan, “Saya mencoba membuka-buka kamus.  Ternyata, kata radikal itu tidak selalu jelek.  Saya khawatir, cap radikal itu justru menjadikan masyarakat tidak berani melawan penjajahan.”

Saya pikir, ungkapan beliau bukan tanpa alasan.  Sebagaimana kita ketahui, Pangeran Diponegoro disebut penjajah Belanda sebagai orang radikal.  Alasannya, hanya karena beliau melawan penjajah.  Begitu pula, dulu ada gerakan anti penjajahan bernama Radicale Concentratie. Gerakan itu dianggap berbahaya oleh Belanda, namun dipandang pejuang oleh rakyat.

Sekarang, di tengah isu Indonesia tengah dijajah secara politik dan ekonomi oleh asing dan aseng, tuduhan radikal itu mencuat kembali.  Persis serupa. Kata radikal digunakan bagi orang yang melawan penjajahan.  Jadi, upaya menegatifkan makna radikal lebih merupakan upaya ‘radikalisasi kata radikal’.  Dulu, ‘Kebangkitan Islam Abad 15’. Kini para pembenci Islam membahasakannya sebagai ‘kebangkiran radikalisme’.

“Sekarang mah kebalik-balik,” ujar Ustadz Baihaqi.

“Yang salah menjadi benar. Yang benar menjadi salah.  Akibatnya, kebenaran dilarang, sementara keburukan diperintahkan,” tambahnya.

“Ini berarti ciri kemunafikan sedang merajalela,” tegasnya.

Saya sampaikan kepada beliau, “Apa yang Ustadz sampaikan saya sepakat.  Kaum munafik itu memang seperti itu.”

Lalu saya sampaikan surat at-Taubah ayat 67 yang maknanya, “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama. Mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf …”

Namun, hal ini tidak mengherankan.  “Dulu saja Rasulullah saw. yang secara pribadi sangat mereka kagumi, eh mereka tuduh juga.  Jadi, bila umatnya dituding macam-macam, ya wajar saja,” Ustadz Taufik nimbrung.

Beliau melanjutkan, “Dulu Rasulullah saw. dituduh gila karena berbicara tentang masa depan dunia dan akhirat.  Beliau juga dituding ahli sihir karena siapa saja yang mendengarkan al-Quran akan berubah perilakunya 180 derajat.  Nabi saw. juga dituduh sebagai pendusta dan penyebar hoax. Di dalam al-Quran disebutkan (yang artinya): Orang-orang kafir berkata, “Al-Quran ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain.” Sungguh mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar (QS al Furqan [25]: 4).

Bahkan beliau yang mulia mereka tuduh sebagai pembawa “dongengan-dongengan masa lalu.”

Satu hal yang menentukan adalah pemegang kekuasaan.  Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh angin Islam itu berputar. Karena itu berputarlah kalian bersama dengan Islam dimana pun ia berputar.  Ingatlah, sungguh kekuasaan (as-sulthan) dan al-Quran (Kitabullah) itu akan terpisah. Karena itu janganlah kalian berpisah dengan al-Quran.” (HR ath-Thabarani).

Bila kekuasaan menerapkan Islam maka Islam akan hidup.  Sebaliknya, bila kekuasaan jauh dari al-Quran dan tidak menerapkan aturan Islam maka Islam dan para pejuangnya akan menjadi pihak tertuduh.  Yang baik akan dianggap buruk.  “Jadi, bila dulu kita bangga dengan ‘Kebangkitan Islam Abad 15’, kini hal itu dipandang oleh para pembenci Islam sebagai ‘kebangkitan radikalisme’ disebabkan karena kekuasaan sekarang terpisah dari al-Quran,” tegas Pak Arman yang dari tadi menjadi pendengar setia. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 − 7 =

Back to top button