Fokus

Kepahlawanan Umat Islam

Tanggal 10 November diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai Hari Pahlawan. Hari Pahlawan diambil dari peristiwa pertempuran besar rakyat Indonesia yang ada di Kota Surabaya dengan tentara Inggris dan sekutunya. Pertempuran tersebut terjadi 3 (tiga) bulan pasca Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Umat Islam memiliki peranan sangat penting baik pada perjuangan di era penjajahan ataupun pada era kemerdekaan. Termasuk pada Peristiwa 10 November 1945.

 

Peran Umat Islam Era Penjajahan

Sebelum era Kemerdekaan, yakni pada era penjajahan, umat Islam di berbagai wilayah Nusantara berjuang untuk mengusir para penjajah. Sebut saja misalnya nama Sultan Agung Hanyokrokusumo yang lahir tahun 1591 di Yogyakarta. Ia adalah cucu dari Sutawijaya. Ia lebih dikenal dengan Panembahan Senopati. Ia adalah pendiri Kerajaan Mataram. Sejak tahun 1613 Sultan Agung berkuasa di Kerajaan Mataram. Dengan keagungan dan kebijaksanaannya ia berusaha mempersatukan seluruh Jawa.

Di Sulawasi, ada Sultan Hasanuddin yang lahir pada tahun 1631 di Ujung Pandang. Ia putra kedua Sultan Malikusaid, Raja Gowa ke-15. Ia melakukan perlawanan terhadap Belanda yang berniat menundukan kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah timur Indonesia.

Di Sumatera Barat, ada Peto Syarif. Ia lebih dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol. Ia lahir pada tahun 1772 di Kampung Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman. Bersama kaum Paderi (kaum Agama), ia melakukan perlawanan terhadap Belanda yang mendukung kaum Adat. Kemudian kaum Paderi dan Kaum Adat bersatu melawan penjajah Belanda.

Di Yogyakarta ada Pangeran Diponegoro. Nama kecilnya Raden Mas Ontowiryo. Ia lahir pada 11 November 1785. Ia melakukan perjuangan melawan Belanda. Perjuangan Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari kalangan bangsawan, ulama maupun petani. Ulama besar Kyai Mojo dan Sentot Ali Basah Prawirodirdjo pun menggabungkan diri dengan barisan Pangeran Diponegoro.

Di Aceh, ada Muhammad Saman. Ia kemudian dikenal dengan nama Teungku Cik Di Tiro. Ia adalah putra dari Teungku Sjech Ubaidillah. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah. Di Aceh juga ada pejuang Muslimah seperti Cut Nyak Dien. Ia berjuang bersama suaminya, Teuku Umar. Ada juga ada Keumalahayati atau akrab disebut Laksamana Malahayati. Ia memiliki perjalanan perjuangannya sendiri. Dalam masa perjuangan melawan Belanda, ia diangkat sebagai laksamana oleh Sultan Aceh dan diamanahkan untuk memimpin pasukan Inong Balee.

Di Kalimantan Selatan ada Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1797.

Di Maluku ada Ahmad Lussy alias Mat Lussy. Ia lebih di kenal sebagai Kapitan Pattimura.

Tentu masih banyak lagi tokoh kepahlawanan Islam yang melakukan perjuangan pada era penjajahan.

Semangat dalam perjuangan ini tidak lepas dari semangat jihad yang dimiliki oleh kaum Muslim untuk membela hartanya, keluarganya, dirinya, bahkan agamanya. Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ أَوْ دُونَ دَمِهِ أَوْ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Siapa yang dibunuh karena membela hartanya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela darahnya atau karena membela agamanya maka ia syahid (HR Abu Dawud dan an-Nasa’i).

 

Peran Umat Islam Era Kemerdekaan

Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 bermula dari kesepakatan gencatan senjata tentara Indonesia dengan tentara Inggris pada 29 Oktober 1945. Meskipun demikian, bentrokan senjata antara rakyat Indonesia dengan tentara Inggris masih saja terjadi di Surabaya. Bentrokan ini pun memakan cukup banyak korban.

Puncaknya adalah bentrokan yang terjadi pada 30 Oktober 1945, yang mengakibatkan tewasnya pimpinan tentara Inggris, yaitu Jenderal Mallaby. Hal ini kemudian membuat marah pihak Inggris, dan semakin agresif dalam menghadapi perlawanan rakyat Surabaya. Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, Panglima Divisi Infantri ke-5, pada 9 November 1945 mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya.

Isi dari ultimatum yang dikeluarkan oleh Mansergh, yakni meminta rakyat Indonesia agar menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) dan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Mansergh juga mengancam akan menggempur penuh Kota Surabaya baik melalui jalur darat, laut dan udara. Ia mengultimatum bahwa rakyat Indonesia dituntut selambat-lambatnya untuk menuruti perintah tersebut pada 10 November 1945 pukul 06.00 pagi di tempat yang telah ditentukan.

Rakyat Surabaya marah dan menolak isi ultimatum tersebut. Dengan semangat jihad, ribuan rakyat Surabaya melakukan perlawanan terhadap pasukan Inggris dan sekutunya tersebut. Inggris mengerahkan 24.000 pasukan dari Divisi ke-5 dengan persenjataan meliputi 21 tank Sherman dan 24 pesawat tempur dari Jakarta untuk mendukung pasukan mereka di Surabaya. Perang besar pun pecah. Ribuan pejuang syahid.

Semangat tempur yang terdapat pada diri rakyat Surabaya adalah buah dari fatwa jihad fi sabilillah dan resolusi jihad fi sabillah yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Pada tanggal 17 September 1945, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Jihad fi Sabililah yang terdiri atas tiga poin yakni:

  1. Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam meskipun bagi orang fakir;
  2. Hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid;
  3. Hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.

 

Fatwa ini merupakan bentuk penjelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.

Kemudian pada tanggal 22 Oktober 1945, dikeluarkan Resolusi Jihad Fi Sabilillah yang berbunyi:

 

Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardlu ’ain yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, Iaki-Iaki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak Iingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di Iuar jarak Iingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (jang cukup, kalau dikerjakan sebagian saja. . .

 

Kemudian sebagai penguat Resolusi Jihad fi Sabililah tersebut dikeluarkan Resolusi Jihad yang ditujukan kepada Pemerintah Indonesia. Di antara poin dari Reolusi Jihad tersebut berbunyi:

 

  1. Seoapaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

 

Semangat jihad fi sabilillah inilah yang kemudian membakar semangat juang kaum santri dan penduduk di Surabaya. Bung Tomo pun, melalui pidatonya yang disiarkan radio, membakar semangat para pejuang rakyat Surabaya dengan pekik takbirnya untuk bersiap syahid di jalan Allah SWT. Tidak aneh jika ada sebagian pihak berkata bahwa tak akan ada hari pahlawan tanpa adanya resolusi jihad. Ini menandakan betapa besarnya peranan umat Islam saat menghadapi gempuran tentara Inggris dan sekutunya di Surabaya yang terjadi pada 10 November 1945 tersebut.

 

Upaya Meminggirkan Peran Umat Islam

Meskipun peran umat Islam dalam perjuangan di era penjajahan dan era kemerdekaan begitu terlihat jelas, masih saja ada upaya untuk meminggirkan perat umat Islam dalam perjuangan tersebut. Imbasnya kemudian mengakibatkan masih cukup banyak masyarakat, khususnya umat Islam, yang keliru dalam memahami bagaimana asal mula perjuangan beberapa para pahlawan nasional yang beragama Islam. Sebut saja misalnya alasan Pangeran Diponogoro dalam berperang melawan Belanda. Dalam sejarah disebutkan bahwa hal itu didasari karena adanya penyerobotan lahan oleh pihak Belanda, yang membongkar patok tanah milik Keraton Dipenogero. Dengan gambaran demikian,  seolah-olah perjuangan Pangeran Dipenogoro dalam menghadapi Belanda adalah karena masalah ekonomi, masalah harta semata.

Padahal perjuangan yang dilakukan oleh Pangeran Dipenogoro bersama rakyat dalam melawan penjajah Belanda bukan semata-mata karena adanya penyerobotan lahan yang dilakukan oleh penjajah Belanda, melainkan karena pembelaan atas hak berupa kepemilikan lahan tersebut. Di dalam Islam, perjuangan membela hak, termasuk hak atas harta tersebut, adalah bagian dari syahid jika terbunuh. Ini sama seperti warga Palestina yang berjuang untuk membela hak atas tanah yang diserobot oleh Zionis Israel.

Dengan demikian hal yang memotivasi Pangeran Diponogoro dan ulama lainya adalah karena semangat jihad, yakni perjuangan dalam rangka mempertahankan hak atas kepemilikan lahan tersebut.  Hal lain yang membuat Pangeran Diponogoro melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah karena kezaliman terhadap rakyat di sana, termasuk orang-orang Cina yang menjadi suruhan kolonial Belanda yang kerap melakukan pelecehan terhadap para wanita pribumi. Hal tersebut membuat Pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan kolonial Belanda.

Dengan demikian perang di Diponogoro adalah perang yang didasari oleh semangat jihad. Tidak aneh jika banyak ulama yang bergabung dalam tersebut. Bahkan disebutkan ada 15 syaikh yang bergabung dalam barisan Diponogoro.

Begitu pula terkait narasi kebangkitan di era penjajahan, seolah tidak ada peran umat Islam. Misalnya terkait Hari Kebangkitan Nasional yang diperangati setiap tanggal 20 Mei. Tanggal tersebut merupakan hari berdirinya Boedi Oetomo (B0) pada 20 Mei 1908. Budi Utomo dianggap organisasi penggerak kebangkitan nasional.

Padahal secara politik, tiga tahun sebelumnya telah berdiri organisasi politik seperti Serikat Dagang Islam (SDI) pada 1905. SDI kemudian menjadi Sarekat Islam (SI) yang oleh Mohammad Roem disebut perjuangan politik pertama yang memperjuangkan nasib rakyat. Dalam perjuangan melawan Jepang dan merebut kemerdekaan, ulama berada di garda terdepan. Demikian pula saat mempertahankan kemerdekaan.

Bahkan sebagian kalangan menganggap organisasi Boedi Oetomo itu lebih cocok untuk kebangkitan di Jawa, bukan secara nasional. Ini karena Gerakan Boedi Oetomo lebih Jawa sentris. Tidak melibatkan pemuda dari wilayah lain. Bagi rakyat Jawa jelata ada perasaan sungkan untuk begabung dengan (Priyayi dan ningrat) Budi Utomo.

Perkumpulan Sarekat Islam yang awalnya disebut Sarekat Dagang Islam (SDI) awalnya sebagai upaya untuk mengimbangi pedagang Cina pada masa itu. Tahun 1912, organisasi ini tumbuh semakin besar. Dengan jumlah 4.500 orang anggotanya, dalam beberapa kasus, anggota Sarekat Dagang Islam berkonflik dengan orang-orang Cina, sebagai bagian dari pembelaan terhadap sesama anggota SDI. Jumlah yang semakin membesar ini membuat pemerintah kolonial mencekal organisasi tersebut dan melarang mereka untuk mengadakan pertemuan.

Akibat pencekalan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, SDI akhirnya melebur dengan cabang Surabaya dan membentuk nama baru, yaitu Sarekat Islam (SI). Dengan lahirnya Sarekat Islam, arah pergerakan di Hindia Belanda tak lagi sama. Sarekat Islam meroket dan merebut hari masyarakat pribumi ketika itu. Jumlah anggotanya meledak, Dari 35 ribu orang di Agustus 1914, pada tahun 1915, Sarekat Islam telah memiliki 490.120 anggota. Bahkan pada tahun 1919, anggota Sarekat Islam telah mencapai 2 juta orang.

SI berhasil menyatukan seluruh masyarakat pribumi dengan perjuangan perkumpulannya. Menyatukan semua lapisan masyarakat mulai dari rakyat jelata, bangsawan  hingga ulama. Ini karena Sebagian besar rakyat jelata adalah beragama Islam. SI tidak menjadikan Islam sebagai “jualan” sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian peneliti, melainkan sebagai pengikat atau asas gerakannya.

 

Umat Islam Disudutkan

Meskipun peranan umat Islam dalam perjuangan begitu nyata, dalam kehidupan sekarang kita menyaksikan bagaimana umat Islam disudutkan dalam berbagai hal. Bahkan saat ada kelompok umat Islam yang berdakwah menawarkan konsep penerapan syariah Islam secara kâffah, mereka dianggap merongrong kedaulatan dan persatuan negara. Mereka dituduh merusak nasionalisme bangsa, bahkan dicap radikal.

Padahal yang dilakukan hanyalah bagian dari dakwah. Sebagai bentuk kecintaan terhadap negeri ini. Tidak ingin negeri ini hancur akibat penerapan sistem ideologi kapitalisme-sekuler yang membuat kerusakan di berbagai bidang. Dengan penerapan syariah Islam secara kâffah akan terwujud keberkahan di negeri ini. Allah SWT berfirman:

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ  ٩٦

Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) sehingga Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka (QS al-A’raf [7]: 96).

 

Hal ini diperjelas oleh QS al-Baqarah [2]: 216 dan QS al-Anbiya’ [21]: 107 yang menjadi dalil kaidah syar’iyyah:

حَيْثُمَا يَكُونُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ الْمَصْلَحَة

Di mana ada syariah maka di situ pasti ada maslahat.

 

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Adi Victoria; (Penulis & Aktivis Dakwah Islam)]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 − eight =

Back to top button