Hadis Pilihan

Cakupan Al-Musâqah, dan Tanggung Jawab آmil Al-Musâqâh

عَنْ عَبْدِ الله بْن عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَفَعَ إِ لى يَهُودِ خَيْبر نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُولِ الله شَطْرُ ثَمَرِهَا

Dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi saw. pernah menyerahkan kepada Yahudi Khaibar pohon kurma dan tanah Khaibar dengan ketentuan agar mereka menggarapnya dari harta mereka dan untuk Rasulullah saw. separuh buahnya.  (HR Muslim no. 1551, Abu Dawud no. 3409, an-Nasai no. 4646 dan 11737 di Sunan al-Kubrâ, Ibnu Zanjawayh no. 1976 di al-Amwâl li Ibni Zanjawayh).

 

Imam an-Nawawi rahimahulLaah menyatakan di dalam Syarh Shahîh Muslim (10/209), “Di dalam hadis-hadis ini ada ketentuan tentang kebolehan al-musâqâh. Ini menjadi pendapat Malik, ats-Tsawri, al-Laits, asy-Syafi’i, Ahmad, semua muhadditsin, ahlu azh-zhahir dan jumhur ulama.”

Di dalam hadis ini dinyatakan bahwa akad al-musâqah itu dilakukan atas pohon-pohon kurma Khaibar dan tanahnya. Hanya saja, akad atas tanahnya bukanlah akad terpisah, melainkan akad ikutan atas akad al-musâqah atas kurma Khaibar. Sebabnya, yang dominan di Khaibar adalah pohon kurma, sedangkan tanah untuk pertanian hanya sedikit. Abdullah bin Umar ra. menuturkan: “…Lalu Rasul saw. memberi istri-istri beliau setiap tahun 100 wasaq, terdiri dari 80 wasaq kurma dan 20 wasaq barley” (HR Muslim).

Menjelaskan riwayat ini Imam an-Nawawi mengatakan, “Para ulama berkata: Ini adalah dalil bahwa area tanah di Khaibar yang menjadi area pertanian lebih sedikit dari syajar (pepohonan).” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim).

Dalam hadis Ibnu Umar di atas disebutkan bagian Rasul saw. adalah tsamarihâ. Lafal tsamar yang di-idhaafah-kan pada dhamîr yang kembali pada nakhlu Khaibar merupakan lafal umum. Meski diucapkan terkait nakhlu (kurma) Khaibar, itu tidak hanya berlaku atas kurma Khaibar, tetapi berlaku secara umum untuk semua kurma. Dalam satu riwayat disebutkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَر بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْ النَّخْلِ وَالشَّجَرِ

Nabi saw. pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan separuh dari hasil kurma dan syajar (HR ad-Daraquthni).

 

Dalam hadis ini, setelah lafal an-nakhl dilanjutkan dengan lafal wa asy-syajar. Ungkapan an-nakhl wa asy-syajar ini bersifat lebih umum dari topiknya, yaitu kurma. Keumuman itu berlaku atas semua asy-syajar. Artinya, al-musâqah itu berlaku pada asy-syajar dan hasilnya. Ibnu Manzhur di Lisân al-‘Arab menyatakan bahwa ats-tsamar (buah) adalah apa yang dihasilkan oleh syajar. Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi di dalam Al-Mishbâh al-Munîr menyebutkan al-hamlu (kandungan) yang dikeluarkan oleh asy-syajar baik bisa dimakan atau tidak.

Asy-Syajar memiliki karakteristik berbuah tiap tahun atau tiap musim, seperti kurma yang disebutkan di dalam hadis. Setelah buahnya dipetik maka akan berbuah lagi pada musim atau tahun berikutnya. Begitu seterusnya.

Jadi al-musâqâh boleh dilakukan pada semua asy-syajar yang memiliki ats-tsamar (buah) atau al-hamlu, baik itu bisa dimakan atau tidak dimakan, selama itu diinginkan, yakni dapat dimanfaatkan. Untuk asy-syajar yang memiliki buah hukumnya jelas. Adapun asy-syajar yang tidak punya buah seperti cedar, atau memiliki buah yang tidak diinginkan (tidak dicari/dibutuhkan) seperti pinus dan cemara, maka tidak boleh dilakukan al-musâqâh padanya. Sebabnya, al-musâqâh itu tidak lain dengan imbalan bagian dari buahnya, sementara asy-syajar seperti jenis ini tidak memiliki buah yang diinginkan; kecuali jika berupa asy-syajar yang diinginkan/dicari daunnya seperti mulberi, atau diinginkan bunganya seperti mawar dan melati. Ini boleh dilakukan al-musâqâh atasnya.  Sebabnya, daun dan bunga itu statusnya sama dengan buah karena tumbuh berulang-ulang setiap musim/tahun dan mungkin dilakukan al-musâqâh atasnya dengan imbalan sebagian dari hasil bunga atau daun itu. Dengan demikian  dalam hal ini berlaku hukum tsamar padanya (Lihat: Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, “Kitâb al-Musâqât”).

Jadi, akad al-musâqâh boleh dilakukan untuk pohon kurma, anggur, zaitun, jeruk, mangga, apel, jambu, kelapa, sawit, dsb.  Bisa juga dilakukan untuk pohon cengkeh, karet, dsb.  Namun, al-musâqâh tidak bisa dilakukan untuk semangka, padi, melon, palawija, bunga cabut, sayur-mayur, atau tanaman sekali panen, dsb.

Namun, harus diingat, al-musâqâh itu bukan al-muzâra’ah.  Sebabnya, al-musâqâh itu adalah ta’jîr asy-syajar atas prosentase dari buahnya atau ta’jîr asy-syajar bersama tanah yang menjadi ikutannya atas prosentase dari ats-tsamar dan zar’un, dengan ketentuan, syajar harus lebih banyak/dominan dari tanah pertanian.  Adapun ta’jîr al-ardhi (penyewaan tanah) agar ditanami asy-syajar maka itu adalah al-muzâra’ah, bukan al-musâqâh, sehingga tidak boleh. Di dalam Anîs al-Fuqahâ’ disebutkan bahwa az-zar’u adalah tharhu al-badzri (melempar benih).  Di dalam al-Mughrib disebutkan az-zar’u adalah tanaman yang ditumbuhkan dari benih.  Jadi tidak boleh menyerahkan tanah kepada orang lain agar ditanami asy-syajar.

Terkait aktivitas dan tanggung jawab as-sâqiy atau ‘âmil al-musâqah, hal itu telah dijelaskan di dalam hadis Ibnu Umar di atas. Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, “Ini adalah penjelasan tugas ‘âmil al-musâqâh,  yaitu semua yang diperlukan dalam memperbaiki tsamar dan meningkatkan hasilnya di antara apa saja yang diperlukan secara berulang tiap tahun seperti pengairan, pembersihan saluran, perbaikan tempat tumbuh syajar, memupuknya, menyiangi rumput, membersihkan tangkai, menjaga buah, memanen, mengeringkan, dsb. Adapun apa yang untuk menjaga pokoknya seperti membangun pagar, menggali saluran air, dsb, maka itu menjadi kewajiban pemilik pohon.”

Dengan demikian tanggung jawab âmil al-musâqâh meliputi mengairi dan semua aktivitas yang diperlukan dalam hal perawatan dan pemeliharaan asy-syajar supaya ats-tsamar atau hasilnya banyak. Biaya, alat dan apa saja yang diperlukan untuk itu menjadi tanggungan dia, termasuk benih zar’u, tanaman sela atau tanaman tumpangsarinya.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12 + 15 =

Check Also
Close
Back to top button