Hadis Pilihan

Kepemilikan Harta Melalui Wasiat

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي وَأَنَا بِمَكَّةَ … قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ ؟ قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ، قَالَ: لَا، قُلْتُ: الثُّلُثُ، قالَ: فَالثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ

Saad bin Abi Waqash ra. berkata: Nabi saw. pernah datang menjengukku saat aku di Makkah.. Aku berkata, “Ya Rasulullah, bolehkah aku mewasiatkan seluruh hartaku?” Beliau bersabda, “Tidak.” Aku berkata, “Bagaimana jika separuhnya?” Beliau bersabda, “Tidak.” Aku berkata, “Bagaimana jika sepertiganya?” Beliau bersabda, “Ya, sepertiga saja. Sepertiga itu banyak. Sungguh engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta belas kasihan orang.”

(HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ahmad, dengan redaksi sedikit berbeda. Redaksi hadis ini menurut al-Bukhari).

 

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, an-Nasai dan lainnya dengan redaksi yang sedikit berbeda. Hadis ini merupakan salah satu dalil atas pensyariatan wasiat.

Selain itu Abdullah bin Umar ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:

مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ

Tidak layak seorang Muslim yang punya sesuatu yang ia wasiatkan untuk tidur dua malam kecuali wasiatnya tertulis ada di sisinya (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Menurut Khalil bin Ahmad (w. 170 H) di dalam Al-‘Ayn, al-washiyyah bisa berasal dari fi’il awshâ atau washshâ dan bentuk isim-nya al-washiyyah dan al-wishâyah. Al-Washiyyah adalah apa yang diwasiatkan.

Ibnu Sayidih (w. 458 H) di dalam Al-Muhkam wa al-Muhîth al-A’zham dan Ibnu Manzhur (w. 711 H) di dalam Lisân al-‘Arab menyatakan: awshâ ar-rajula wa washshâhu; artinya ‘ahida ilayhi (mengamanatkan kepada dia).

Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H) di dalam Gharîb al-Hadîts menyatakan, washshaytu asy-syay’a; artinya washaltuhu (menyambung-kannya). Washiyyah adalah apa yang diwasiat-kan. Disebut washiyyah karena ketersambungan-nya dengan perkara si mayit, sebab dengan itu si mayit menyambungkan perkara dalam masa hidupnya dengan perkara setelah kematiannya.

Syaikh Mushthafa bin Saad (w. 1243 H) di dalam Mathâlib Ûlî an-Nuhâ Syarh Ghâyah al-Muntahâ menyatakan, al-washiyyah secara syar’i adalah perintah melakukan tasharruf (tindakan/pengelolaan) pasca kematian. Contohnya: seseorang berwasiat kepada orang lain untuk menikahi putrinya, memandikan dirinya, menjadi imam shalat jenazahnya, atau berupa pesan-pesan kebaikan kepada anak keturunannya, atau perintah tasharruf atas harta peninggalannya, dsb.

Namun, menurut Imam Muhammad al-Khathib asy-Sarbini (w. 977 H) di dalam Mughni al-Muhtâj, dalam istilah para fuqaha, al-wishâyah dibedakan dari al-washiyyah. Istilah al-wishâyah untuk menyebut amanat kepada orang yang mengurusi orang sepeninggal dia. Adapun al-washiyyah adalah at-tabarru’ al-mudhâf (donasi harta yang disandarkan pada waktu akan datang) kepada waktu pasca kematiannya.

Dari sini jelas, perintah atau amanat seseorang agar dilakukan setelah ia meninggal dunia itu, jika terkait dengan tasharruf atas harta yang ia tinggalkan, maka disebut al-washiyyah (wasiat), sedangkan untuk masalah selainnya disebut al-wishâyah. Al-washiyyah dapat juga diartikan, tabarru’ harta (yakni pemindahan kepemilikan harta tanpa imbalan) setelah kematian.

Dalam hal ini, harta milik orang yang mewasiatkan (al-mûshî) itu dipindahkan kepemilikannya setelah dia meninggal kepada orang yang diberi wasiat (al-mûshâ lahu). Bagi orang yang diberi wasiat, dengan wasiat itu dia jadi memiliki harta itu yang sebelumnya tidak dia miliki. Dengan begitu, wasiat menjadi sebab kepemilikan harta bagi orang yang diberi wasiat.

Wasiat itu maksimal sepertiga dari harta yang ditinggalkan, seperti jelas dinyatakan dalam hadis di atas. Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Syarh Shahîh Muslim menyatakan wasiat lebih dari sepertiga boleh dilaksanakan asal dengan persetujuan para ahli waris. Ini merupakan perkara yang mujma’ (disepakati) menurut para ulama.

Wasiat juga tidak boleh ditujukan untuk ahli waris. Wasiat yang ditujukan untuk ahli waris boleh dilaksanakan asal dengan persetujuan para ahli waris. Rasul saw. bersabda:

لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِث إلا أَن يُجِيزَ الْوَرَثةَ

Tidak boleh ada wasiat untuk ahli waris kecuali dibolehkan oleh ahli waris (HR ad-Daraquthni dan al-Baihaqi).

 

Wasiat itu juga tidak boleh memadaratkan ahli waris. Ibnu Abbas ra. Menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda:

اْلإِضْرَارُ فِي الْوَصِيَّة مِن الْكَبَائِر

Memadaratkan dalam wasiat itu termasuk dosa besar (HR al-Baihaqi, an-Nasai dan Sa’id bin Manshur).

 

Seseorang yang membuat wasiat disunnahkan untuk ditulis atau dalam bentuk tertulis. Hal itu sesuai hadis riwayat Ibnu Umar ra di atas.

Wasiat itu disunnahkan dibuat jika orang meninggalkan harta yang banyak. Ini sesuai QS al-Baqarah [2]: 180: in taraka khayr[an]. Menurut al-Alusi (w. 1270 H) dalam tafsirnya h al-Ma’ânî, harta yang ditinggalkan itu haruslah harta yang banyak sebab dalam ’urf, harta tidak disebut khayr[an] kecuali jika banyak.

Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr mengatakan, batasan harta yang banyak itu adalah harta itu masih ada sisa setelah wasiat, yang bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan normal keluarga si mayit. Oleh karena itu penentuan batasan banyak itu memerlukan tahqîq manâth.

Diriwayatkan, Ali bin Abi Thalib ra. menilai harta 600 Dirham tidak termasuk khayr[an]. Aisyah ra. menilai harta 3.000 Dirham dengan keluarga yang ditinggalkan empat orang tidak termasuk meninggalkan khayr[an]. Ibnu Abbas menilai, seseorang meninggalkan khayr[an] jika meninggalkan harta lebih dari 60 dinar. Al-Alusi menyimpulkan, “Zhahir dari riwayat-riwayat itu bahwa batasan banyak itu tidak ditetapkan dengan angka, tetapi berbeda dengan perbedaan kondisi seseorang. Kadang dengan kadar harta tertentu seseorang dikatakan kaya dan yang lain tidak disifati sebagai orang yang kaya karena keluarganya banyak.”

Wallâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − 10 =

Check Also
Close
Back to top button