Takrifat

Kinayah

Al-Kinâyah merupakan bentuk mashdar dari kanâ–yaknî–kinâyah. Secara bahasa artinya satara (menutupi). Jadi al-kinâyah artinya mâ istatara (apa yang disembunyikan). Ini diambil dari ucapan, kanaytu jika satartuhu (aku menutupinya).

Al-Kinâyah dalam penggunaannya menjadi istilah terkait uslûb bahasa. Dalam istilah para ahli bahasa, al-kinâyah di antaranya diartikan, an tatakallama bi syay’in wa turîdu bihi ghayrahu (Anda membicarakan sesuatu, sementara yang Anda inginkan adalah yang lain) (Abu Bakar ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm. 274).

Al-Fairuz al-Abadi (w. 817 H) di dalam al-Qâmûs al-Muhîth (hlm. 1329) menyatakan, kinâyah adalah Anda berbicara sesuatu, sementara yang Anda inginkan selainnya; atau Anda mengatakan satu lafal yang ditarik ke arah satu sisi hakikat dan majaz.

Hal lain yang diinginkan itu adalah apa yang di-kinayah-kan (al-maknî). Ahmad bin Muhammad Abu al-Abbas al-Fayumi (w. 770 H) di dalam Mishbâh al-Munîr fî Gharîb asy-Syarh al-Kabîr (II/542) mengatakan, al-kinâyah adalah Anda membicarakan sesuatu untuk menunjuk al-maknî (apa yang ditutupi/dikinayahkan) seperti ar-rafats dan al-ghâ’ith.

Menurut Asy-Syarif al-Jurjani (w. 816 H) di dalam At-Ta’rifât, al-kinâyah adalah apa yang maknanya tersembunyi, tidak diketahui kecuali dengan qarinah (indikasi) tambahan. Karena itu mereka menyebut huruf at-tâ‘ dalam ucapan mereka anta dan huruf al-hâ‘ dalam ucapan mereka innahu merupakan huruf kinâyah.

Ada perbedaan pengertian al-kinâyah antara para ulama ushul dan para ulama bahasa, yakni bayân. Imam Nizhamuddin asy-Syasyi (w. 344 H) di dalam Ushûl as-Syâsyi dan ‘Alauddin al-Bukhari (w. 830 H) di dalam Kasyf al-Asrâr Syarh Ushûl al-Bazdawi menyebutkan al-kinâyah adalah apa yang maknanya atau yang dimaksudkan tersembunyi.

Az-Zarkasyi di dalam Bahr al-Muhîth fî al-Ushûl menyatakan, al-kinâyah menurut para ulama ushul adalah sebutan untuk apa yang diinginkan oleh orang yang berbicara tersembunyi dari sisi lafal. Misal, ucapan dalam jual-beli, “Ini aku jadikan milikmu dengan sekian.” Atau dalam talak, “Engkau bebas.”

Menurut ulama bayân, al-kinâyah adalah penyebutan lafal yang menunjukkan pada sesuatu secara bahasa dan yang diinginkan bukan yang disebutkan itu karena hubungan di antara keduanya secara khusus. Tujuannya, ada kalanya karena tercelanya penyebutan yang sharih semisal “aw jâ`a ahadun minkum min al-ghâ’izh” (QS an-Nisa’ [4]: 43) atau menyembunyikan apa yang di-kinayah-kan dari orang yang mendengar.

Syaikh Muhammad bin Ali (w. 1367 H) mufti Malikiyah di Makkah di dalam Tahdzîb al-Furûq wa al-Qawâ’id as-Sunniyah fî al-Asrâr al-Fiqhiyah menjelaskan al-kinâyah itu bisa bermakna lafal yang digunakan pada selain yang ditetapkan karena memperhatikan hubungannya disertai dengan adanya kebolehan makna hakikat bersamanya; atau lafal yang digunakan pada apa yang ditetapkan, tetapi bukan karena itu sebagai makna yang dimaksudkan secara hakiki, tetapi untuk beralih darinya kepada lazimnya.

Penjelasan para ulama menunjukkan bahwa makna lafal secara kinâyah berbeda dengan maknanya secara hakiki. Artinya, lafal yang dimaknai secara kinâyah itu termasuk lafal yang manqûl (dialihkan) maknanya dari makna hakiki. Pengalihan makna ke makna lain itu karena adanya hubungan dengan makna asal atau makna hakiki. Ini merupakan ciri dari majaz. Dari sini al-kinâyah lebih tepat termasuk majaz sebagaimana pendapat para ulama ushul, fuqaha dan sebagian ulama bayan.

Pengalihan makna secara kinâyah dari makna hakiki itu menjadi persamaan al-kinâyah dengan jenis majaz lainnya. Persamaan lainnya, maknanya diketahui dengan adanya qarînah dan konteks kalimat. Namun ada perbedaaan dalam hal itu. Dalam majaz al-isti’ârah dan majaz mursal, qarînah itu menghalangi makna hakikat. Adapun dalam al-kinâyah, makna hakiki tidak terhalang bersamaan dengan makna al-kinâyah. Az-Zarkasyi di dalam Bahru al-Muhîth fî al-Ushûl menyatakan, zhâhir ucapan pengarang al-Kasyâf (Imam az-Zamakhsyari) bahwa di dalam al-kinâyah itu disyaratkan adanya kemungkinan makna hakiki. Sebabnya, ia menyebutkan dalam makna firman Allah SWT:

وَلَا يَنظُرُ إِلَيۡهِمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ ٧٧

Allah tidak akan melihat kepada mereka pada Hari Kiamat (QS Ali Imran [3]: 77).

 

Kata di atas merupakan majaz dari penghinaan dan kemurkaan. Pandangan kepada seseorang dengan makna perhatian dan berbuat baik kepada dirinya merupakan kinâyah jika disandarkan kepada orang yang boleh memandang dan merupakan majaz jika disandarkan kepada orang yang tidak boleh memandang.

Al-Kinâyah dilihat dari sisi apa yang dimaksudkan dari pembicaraan ada tiga macam (lihat: Abu al-Biqa’ al-Hanafi, al-Kulliyât; Abu Malik, Mazju ath-Thâqah al-‘Arabiyah bi athThâqah al-Islâmiyyah;  Ali al-Jarim dan Mushthafa Utsman, al-Balâghah al-Wâdhihah), yaitu: Pertama, yang dimaksudkan adakalanya adalah apa yang disifati (al-kinâyah ‘an al-mawshûf). Contohnya, na`ûmu adh-dhuhâ. Kelaziman makna yang dimaksud adalah berbicara tentang seorang perempuan yang dibantu oleh pembantu di rumahnya. Bisa juga dimaknai makna hakikinya, yaitu perempuan yang tidur terlalu larut malam sehingga kebablasan hingga waktu dhuha.

Kedua, adakalanya yang dimaksudkan adalah mengungkapkan tentang sifat (al-kinâyah ‘an ash-shifat). Contohnya, al-Khansa menggambarkan saudaranya ash-Shakhr dengan syair: thawîl an-najâd rafî’u al-‘imâd–katsîru ar-ramâd idzâ mâ syatâ (Ia panjang sarung pedangnya, tinggi tiangnya, banyak abunya jika dia bermukim). Ini adalah al-kinâyah bahwa saudaranya itu seorang pemberani, punya kedudukan di tengah kaumnya dan pemurah atau dermawan. Namun, tidak terhalang jika dimaknai makna hakikinya.

Ketiga, adakalanya yang dimaksudkan adalah menisbatkan sifat atau keadaan tertentu kepada seseorang atau sesuatu (al-kinâyah ‘an an-nisbah). Contohnya, ungkapan al-majdu bayna tsawbayhi wa al-karmu bayna yadayhi (keagungan ada di pakaiannya dan kemuliaan ada di kedua tangannya). Ini kinâyah, memuji orang itu sebagai orang yang mulia dan agung. Namun, dengan cara kinâyah ini, pujian itu tidak secara norak.

Hakikat dan majaz dalam hal faedahnya terhadap hukum sama. Hukum yang dipahami menggunakan makna-makna majaz termasuk di dalamnya al-kinâyah adalah mu’tabar, sama seperti hukum yang dipahami melalui makna hakikat.

Di dalam nas al-Quran dan as-Sunnah banyak terdapat penggunaan al-kinâyah. Misalnya, Allah SWT berfirman:

أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ

… atau datang dari tempat buang hajat… (QS an-Nisa’ [4]: 43; al-Maidah [5]: 6).

 

Al-ghâ’ith makna hakikinya adalah tempat rendah di sebuah area. Dulu biasanya orang Arab buang hajat di tempat seperti itu. Lalu secara majaz mursal lafal al-ghâ’ith dimaknai tempat buang hajat, baik tempat rendah atau bukan tempat rendah. Lalu kalimat “jâ`a min al-ghâ’ith (datang dari tempat buang hajat)” merupakan kinâyah dari buang hajat itu sendiri.

Al-Quran mengungkapkan persenggamaan secara kinâyah menggunakan beberapa lafal:

أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ [البقرة: ١٨٧]؛ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ [النساء: ٢١]؛ فَلَمَّا تَغَشَّىٰهَا [الأعراف:١٨٩]: دَخَلۡتُم بِهِنَّ [اليساء: ٢٣]؛ فَأۡتُواْ حَرۡثَكُمۡ [البقرة: ٢٢٣]؛ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَد[البقرة: ٢٣٧]؛ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ [اليساء: ٢٤]؛ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ [البقرة: ٢٢٢]؛ وَلَمۡ يَمۡسَسۡنِي بَشَرٞۖ [آل عمران: ٤٧ ؛ مريم: 20]

Lafal ar-rafatsu, bâsyirû (mubâsyarah), afdhâ, ghasyâ, dakhala, atâ (ityân), massa, masasa, istamta’a, qaraba, semuanya merupakan kinâyah dari persenggamaan.  Itu digunakan untuk persenggamaan yang halal. Adapun untuk persenggamaan yang haram yakni zina, nas syariah menyatakannya secara kinâyah dengan lafal al-fuhsyu, hisyah dan al-fujûr.

Contoh kinâyah lainnya di dalam al-Quran, Allah SWT juga berfirman:

وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid (QS al-Baqarah [2]: 222).

 

Lafal al-adzâ secara kinâyah bermakna al-qadzar (kotoran) dan yang dimaksudkan adalah haid. Meski lafal adzâ itu bisa juga dimaknai secara hakiki, yakni gangguan, sebab wanita itu dan orang lain dapat terganggu oleh bau darah haid (lihat Tafsîr al-Qurthubi). Hanya saja, qarînah dan konteks kalimat dalam ayat tersebut me-râjih-kan makna kinâyah itu, bukan makna hakikatnya.

Contoh lain kinâyah di dalam al-Quran, Allah SWT berfirman:

مَا كَانَ لَهُمۡ أَن يَدۡخُلُوهَآ إِلَّا خَآئِفِينَۚ

Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah) (QS al-Baqarah [2]: 114).

 

Imam Asy-Syaukani di dalam Fathu al-Qadîr menjelaskan, dan di dalam ayat ini ada petunjuk dari Allah SWT untuk para hamba, bahwa mereka sepatutnya menghalangi (melarang) masjid-masjid Allah dari orang kafir. Ini merupakan kinâyah dari, kita hendaknya melarang atau menghalangi mereka (orang kafir) dari memasuki masjid kita.

Menurut Syaikh Atha’ bin Khalil di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, makna ayat ini adalah “haram bagi kalian, hai kaum Mukmin memberikan peluang kepada orang-orang yang menghalangi masjid-masjid Allah dan berusaha merobohkan-nya untuk memiliki kekuasaan atas masjid.”

Masih banyak penggunaan lafal-lafal secara al-kinâyah di dalam nas baik al-Quran maupun as-Sunnah baik dalam konteks hukum atau selain hukum.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 3 =

Back to top button