Keutamaan Mengoreksi Penguasa
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Abu Said al-Khudzri berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang palig afdhal adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa yang zalim (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan ad-Dailami).
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis di atas dengan redaksi di awalnya: Inna min a’zhami al-jihâd kalimatu ‘adl[in] (Sungguh di antara jihad yang palig afdhal adalah menyatakan keadilan)…”
At-Tirmidzi berkomentar: “Dalam bab ini ada dari Abu Umamah. Ini adalah hadis hasan gharîb dari jalur ini.”
Imam an-Nawawi di dalam Riyâdh ash-Shâlihîn menilai hadis ini sebagai hadis hasan. Syaikh Nashiruddin al-Albani menilai hadis ini sahih.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad (hadis no. 11442), al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (hadis no. 8543), Abu Ya’la di dalam Musnad-nya, al-Humaidi dalam Musnad al-Humaydi dan al-Qudha’i dalam Musnad Syihab al-Qudha’i dari jalur Abu Said al-Khudzri al-Baihaqi di dalam Syu’ab al-îmân, ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabir dari jalur Abu Umamah ra. dengan redaksi:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling afdhal adalah menyatakan kebenaran di depan penguasa zalim (Ath-Thabarani).
Ibnu Majah meriwayatkan redaksi ini dari Abu Umamah ra. yang berkata: Seorang laki-laki pernah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah saw. pada jamrah al-ûlâ, “Ya Rasulullah, jihad apakah yang paling afdhal?” Beliau diam. Ketika ia melihat jamrah ats-tsâniyah, ia bertanya lagi, tetapi beliau tetap diam saja. Ketika beliau melempar jamrah al-‘aqabah, beliau meletakkan kaki beliau di injakan kaki pelana untuk naik hewan tunggangan. Beliau lalu bersabda, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Orang itu menjawab, “Saya, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Kalimatu haqq[in] ‘inda sulthân[in] jâ’ir[in] (Menyatakan kebenaran di depan penguasa zalim).”
An-Nasai dan Ahmad juga meriwayatkan dari jalur Thariq bin Syihab al-Ahmasi bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Ayyu al-jihâd afdhal (Jihad apakah yang paling afdhal)? Beliau menjawab, “Kalimatu haqq[in] ‘inda sulthân[in] jâ’ir[in] (Menyatakan kebenaran di depan penguasa zalim).”
Syaikh Nashiruddin al-Albani menilai riwayat an-Nasa’i sahih. Imam an-Nawawi di dalam Riyâdhu ash-Shâlihîn juga mneytakan hal senada.
Al-Munawi di dalam Faydh al-Qadîr menjelaskan hadis di atas. “Afdhalu al-jihâd, yakni termasuk bagian dari jenis afdhal al-jihâd (jihad yang paling afdhal) dengan makna secara bahasa bersifat umum. Kalimatu haqq[in] secara idhâfah dan boleh juga di-tanwin. Dalam riwayat at-Tirmidzi, ‘adl[in] menggantikan kata haqq[in]. Yang dimaksud kalimat adalah al-kalâm (ucapan) dan apa saja yang posisinya seperti posisi al-kalâm seperti tulisan.
Al-Mubarakfuri di dalam Tuhfah al-Akhwadzi menjelaskan riwayat at-Tirmidzi: “…Kalimatu ‘adl[in], yakni kalimatu haqq[in], seperti dalam riwayat. Maksud kalimat itu adalah ungkapan atau apa yang serupa maknanya, seperti tulisan dan semacamnya, yang mengandung perintah tentang kemakrufan atau larangan atas kemungkaran. ‘Inda sulthân[in] jâ’ir[in], yakni penguasa yang keji dan zalim. Al-Khathabi berkata, yang demikian menjadi afdhalu al-jihâd tidak lain karena orang yang memerangi musuh ada di antara harapan dan rasa takut, tidak tahu apakah menang atau kalah. Adapun teman penguasa itu tertindas di tangan penguasa jika ia menyatakan kebenaran dan memerintahkan kemakrufan kepada penguasa itu sehingga ia bisa terancam binasa dan menghadapkan dirinya pada kebinasaan. Karena itu yang demikian menjadi jenis jihad yang paling afdhal. Al-Muzhhar mengatakan, tidak lain lebih afdhal karena kezaliman penguasa berlaku pada semua orang yang ada di bawah pemeliharaannya. Jika ia melarang penguasa dari kezaliman maka ia telah memberikan manfaat kepada banyak orang, berbeda dengan memerangi orang kafir.”
Keutamaan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa juga dinyatakan dalam sabda Rasul saw. yang lain:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إلَى إمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ
Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim lalu ia memerintah penguasa itu (dengan kemakrufan) dan melarangnya (dari kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuh dirinya (HR al-Hakim dan ath-Thabarani).
Al-Munawi di dalam Faydhu al-Qadîr menjelaskan, “Wa rajul[un] qâma ilâ imâm[in] jâ’ir[in] fa amarahu (dan laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim dan memerintah pengusa itu) dengan kemakrufan; wa nahâhu (dan melarang pengusa itu) dari kemungkaran; fa qatalahu (kemudian pengusa itu itu membunuh dirinya) karena perintah dan larangannya itu. Jadi Hamzah adalah pemimpin syuhada dunia dan akhirat, sementara laki-laki yang disebutkan adalah pemimpin syuhada di akhirat karena dia telah membahayakan apa yang ada pada dirinya, yakni nyawanya sendiri.”
Amar makruf nahi mungkar secara umum adalah wajib, termasuk di dalamnya amar makruf nahi mungkar kepada penguasa. Hadis ini menunjukkan keutamaan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa yang zalim. Rasul saw memasukkan aktivitas itu sebagai bagian dari afdhalu al-jihâd. Pasalnya, hal itu menunjukkan kebulatan tekad orang yang melakukannya, kekuatan iman dan ketegarannya di hadapan penguasa zalim yang destruktif dan tiranik uamg kediktatorannya sudah dikenal, tanpa takut terhadap tirani dan kekuasaannya. Dengan itu ia telah menghadapkan jiwanya dalam bahaya tirani penguasa zalim itu. Dengan itu pula ia telah menjual dirinya kepada Allah SWT. Dia mengedepankan perintah dan hak Allah daripada hak dan kepentingannya sendiri.
Selain itu, kebaikan dan keburukan penguasa itu akan menentukan baik dan buruknya masyarakat. Sebabnya, sikap dan kebijakan penguasa itu berpengaruh kepada semua orang yang ada di bawah kekuasaannya. Jika penguasa zalim, rusak dan merusak, niscaya masyarakat juga rusak. Karena itu amar makruf dan nahi mungkar terhadap penguasa juga mengantarkan pada baiknya masyarakat dan mencegah rusaknya masyarakat banyak selain menghindarkan masyarakat dari kezaliman. Dari situ terlihat jelas keutamaan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa zalim. Tidak aneh jika ini termasuk afdhal al-jihâd.
Dalam riwayat Jabir dan Ibnu Abbas dinyatakan, jika orang terbunuh karena melakukan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa zalim maka ia mendapatkan pahala seperti pahala syahid. Bahkan di akhirat termasuk pemimpin para syuhada seperti Hamzah bin Abdul Muthallib.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]