Hiwar

dr. Fuad A. Rahman: Negara Lepas Tanggung Jawab

BPJS sedang dirundung masalah. Masalahnya akut. Antara lain mengalami defisit puluhan triliun dalam beberapa tahun terakhir ini. Belum lagi iuran (premi) yang harus dibayarkan masyarakat terus naik. Sebaliknya, pelayanan kesehatan oleh BPJS semakin dikurangi. Tentu masyarakat makin terbebani.

Pertanyaannya: Mengapa semua ini bisa terjadi? Apa akar penyebabnya? Betulkah karena BPJS salah kelola? Ataukah justru persoalan BPJS menyangkut persoalan mendasar, yakni paradigma Negara yang keliru dalam memandang pelayanan kesehatan kepada masyarakat?

Itulah di antara pertanyaan Redaksi kepada dr. Fuad A. Rahman, seorang dokter sekaligus pengamat kesehatan. Berikut hasil wawancara Redaksi dengan beliau dalam rubrik ‘Hiwar’ kali ini.

 

BPJS saat ini sedang carut marut. Bagaimana realitasnya ?

Betul. Saat ini BPJS Kesehatan menjadi isu yang dibahas hampir setiap hari dan dalam setiap perbincangan. Bahkan di setiap level sosial.

Kesehatan itu mahal. Ia butuh sumberdaya dan pembiayaan yang besar. Dari data yang ada, tahun 2014 saja, total belanja kesehatan kita mencapai 3,4% dari PDB kita (USD 890,8 M). Sebagai perbandingan, negara kecil Vietnam porsi belanja kesehatannya 7,1% dari PDB. Bahkan Amerika mencapai 12% PDB (USD 17,43T).

Belanja kesehatan yang mahal inilah mengakibatkan banyak teori yang dimunculkan untuk menanggulanginya. Salah satunya adalah model pembiayaan melalui asuransi sosial, yang dikenal dengan model Bismarck.

Dalam model pembiayaan ini, tagihan kesehatan dibayarkan oleh rakyat (pekerja dan majikan berbagi porsi) melalui asuransi sosial. Seluruh rakyat dibebani iuran yang dibayar kepada Pemerintah (tanpa motif mencari keuntungan bisnis) sesuai dengan ketentuan Pemerintah.  Jerman, Jepang, Belanda, Vietnam lebih dulu menggunakan model ini.

BPJS  Kesehatan yang diberlakukan di negri kita ini mencontoh model asuransi sosial model Bismarck ini. Tentu dengan penyesuaian pada beberapa hal, seperti iuran (premi) untuk orang miskin dibayarkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan Pemerintah (bukan sesuai dengan kebutuhan riil belanja kesehatan)

Masalahnya kemudian, anggaran yang dibayarkan Pemerintah untuk rakyat miskin (Penerima Bantuan Iuran, PBI) sangat rendah, sementara jumlahnya cukup besar. Inilah penyebab anggaran BPJS ini defisit.

Defisit anggaran ini menyebabkan  BPJS Kesehatan gagal membayar tagihan ke Rumah Sakit yang menurut Wamen Keuangan, Mardiasmo, diprediksi mencapai 32 Trilyun Rupiah

Defisit ini diikuti dengan banyak masalah turunan sebagai akibatnya. Salah satunya adalah Kualitas Pelayanan yang menurun dan kebijakan mempersulit akses rujukan ke fasilitas rujukan tingkat lanjut.

 

Apa yang menjadi masalah mendasar BPJS?

Umumnya masyarakat dan stake holder saat ini melihat, bahwa masalah BPJS ini adalah kekurangan dana untuk membayar klaim terhadap pihak ketiga (Rumah Sakit).

Solusinya adalah bagaimana mendapatkan dana untuk menutupi hutang (bayar klaim Rumah Sakit), juga bagaimana cara agar tagihan terhadap pihak ketiga ini diminimalisir.

Pilihan kebijakan yang diambil Pemerintah adalah menaikan besaran iuran premi (peserta BPJS ) agar tersedia dana yang cukup.  Di sisi lain, juga menghembuskan isu untuk mengurangi manfaat terhadap BPJS, yakni hanya diarahkan untuk menanggulangi/membiayai kesehatan dasar saja.

Yang paling menyedihkan bagi para dokter dan tenaga kesehatan lain adalah munculnya opini yang menuduh bahwa dokterlah yang menjadi biang keladi penyebab defisit BPJS Kesehatan ini. Akibatnya, memunculkan opini buruk yang bisa membuat konflik di tengah masyarakat.

Padahal faktanya kan tidak seperti itu. Bahkan sebaliknya, RS dan profesi kesehatan banyak dirugikan dengan program ini.

Bagaimana mau korupsi uang BPJS, sementara BPJS membayar RS dengan sistem paket yang sudah ditetapkan sendiri oleh BPJS, bukan berdasarkan tagihan Rumah Sakit.

Contoh sederhananya, pasien-A, misalnya, sakit usus buntu, dirawat dan dilakukan operasi di RS B, misalnya. Dalam merawat pasien A ini, tentu RS mengeluarkan biaya tertentu. Mulai biaya makan-minum, obat-obatan, penggunaan air, cairan infus, pembiusan dan lain sebagainya.  Berapapun biaya yang dikeluarkan oleh RS untuk merawat pasien A ini, pihak BPJS kesehatan hanya akan membayar sesuai paket. Dari sini, mana RS mau korupsi, apalagi para dokter. Yang ada, pihak RS menekan para dokter untuk menggunakan obat-obatan dan alat kesehatan semurah mungkin.

 

Benarkah masyarakat merasakan manfaatnya?

Kebijakan atau program apapun tentu tidak bisa dinilai hanya dengan ada atau tidaknya manfaat yang didapatkan oleh rakyat. Apalagi manfaat yang terbatas. Mengapa? Karena kebijakan apapun pasti ada sisi manfaatnya sekecil apapun itu. Bahkan pada zaman Pemerintahan Kolonial sekalipun.  Apalagi menyangkut kebijakan publik.

Karena itu bila ada yg menanyakan manfaat, tentu ada manfaat, terutama bagi pasien.  Hanya saja, apakah kebijakan ini bermanfaat atau menyenangkan semua orang? Apakah mesti membayar iuran, baru boleh mendapatkan hak untuk berobat? Apakah kebijakan ini menyenangkan pemberi pelayanan (RS, Tenaga Kesehatan dll). Berapa banyak RS harus tutup di era BPJS ini ? Ini yang mesti dipikirkan dan disadari oleh masyarakat, terutama pengambil kebijakan.

 

Benarkah dengan realitas yang ada BPJS itu layanan Pemerintah menjamin kesehatan masyarakat?

Tidak. Karena BPJS Kesehatan (JKN) ini dikelola dengan prinsip asuransi, maka yang dijamin adalah peserta yang terdaftar dan aktif keanggotaan asuransinya, bukan seluruh rakyat secara universal. Jadi, yang dijamin oleh Pemerintah hanyalah kelompok masyarakat tertentu saja yakni penerima bantuan iuran (premi).

 

Jika bukan jaminan kesehatan, lalu apa? Apakah asuransi?

Sebagaimana yang telah disampaikan tadi, program jaminan kesehatan ini adalah asuransi sosial (social insurrance) yang diadopsi dari negara lain. Hanya saja masyarakat sedikit bias dalam memahaminya karena asuransi ini diterjemahkan secara tekstual dengan kata “jaminan”. Harusnya digunakan sesuai makna aslinya, yakni asuransi sosial, agar sejak awal masyarakat paham akan faktanya.

 

Jika demikian, sejatinya Pemerintah sedang berbisnis dengan rakyatnya kah?

Kurang tepat jika dikatakan demikin. Kalau kita merujuk pada Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Jaminan Kesehatan Nasional, di situ disebutkan bahwa  JKN ini, adalah lembaga nir-laba. Seharusnya tidak menjadi lembaga bisnis. Tentu ini berbeda dengan asuransi komersial (private) yang didirikan untuk mencari keuntungan.

Karena itu, menurut saya, lebih tepat dikatakan bahwa sistem ini dibentuk sebagai upaya untuk melepaskan tanggung jawab Negara dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Ini tentu bertentangan dengan UUD Negara. Pasalnya, salah satu tujuan negara ini dibentuk adalah memajukan kesejahteraan umum.

 

Bolehkah asuransi dalam Islam?

Secara fikih, kita mesti membedakan antara asuransi komersial (privat) dan asuransi sosial, karena fakta antara keduanya berbeda.

Kalau asuransi privat, sudah jelas batil, karena dibangun berdasarkan akad yang bertentangan dengan syariah Islam. Bahkan pengelola asuransi-pun sadar akan keharamannya. Karena itu mereka mencoba menawarkan asuransi dengan embel-embel syariah. Jadi, seharusnya mayoritas umat Islam sudah paham keharamannya.

Kalau asuransi sosial (seperti BPJS Kesehatan) yang digagas oleh Negara sepertinya tidak memenuhi syarat untuk diterapkan hukum sebagaimana batilnya asuransi komersial. Namun, MUI pernah mengeluarkan fatwa bahwa BPJS ini tidak sesuai syariah.

Kalau melihat faktanya, memang BPJS ini melanggar syariah Islam. Pasalnya, pelayanan kesehatan yang seharusnya diberikan secara cuma-cuma oleh Negara, menjadi berbayar. Artinya, Negara melepaskan kewajiban mengurus rakyat.

 

Jika demikian, problem utama BPJS itu apa? Apakah liberalisasi atau lepas tanggungjawab Pemerintah terhadap jaminan kesehatan masyarakatnya?

Dua-duanya. Negara abai dan melepaskan tanggung jawabnya melayani rakyat. Ini terjadi karena logika yang dibangun adalah logika liberalisme. Negara bertindak hanya sebagai pengawas dalam interaksi sosial dalam masyarakat.

 

Namun, Pemerintah mengatakan bahwa iuran BPJS  masih lebih murah dibanding beli rokok atau pulsa. Tepatkah logika tersebut?

Logika ini tidak tepat. Malah bisa dibilang ngawur. Ini hanya tepat bila logikanya memang liberal. Merasa tidak mempunyai tanggung jawab dalam melayani rakyat.

 

Tepatkah adanya sanksi terhadap BPJS yang tidak bayar/nunggak membayar iuran dengan tidak dilayani dalam layanan publik lainnya? Ini bentuk layanan atau justru pemalakan?

Di dalam Konstitusi Negara disebutkan bahwa salah satu tujuan bernegara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Salah satu komponen kesejahteraan umum itu adalah kesehatan, juga pendidikan. Jadi mestinya kan kesehatan ini jadi tanggung jawab negara dong.

Masa sesuatu yang menjadi kewajiban negara dibebankan ke rakyat. Malah diberikan sanksi lagi. Ini kan logika yang aneh.

 

Bagaimana Islam mengatur jaminan kesehatan masyarakatnya?

Dalam Islam, pendidikan, kesehatan dan keamanan adalah kebutuhan sosial dasar masyarakat. Karena itu Negara menyediakan pemenuhan ketiga hal ini pada batas yang optimal tanpa membedakan ras dan agama warga negaranya.  Semua konsekuensi anggaran ditanggung sepenuhnya oleh Negara dan diberikan kepada rakyat secara cuma-cuma.

 

Bagaimana Islam mencukupi sumberdana yang dipakai untuk menjamin kesehatan masyarakat sehingga semua terbayar dengan baik?

Islam ini kan ad-din, pandangan hidup yang mengatur urusan ritual sebagimana lazimnya agama. Juga mengatur interaksi sosial, seperti laiknya ideologi mengatur negara.

Karena itu berbicara masalah bagaimana Islam menutaskan problem kesehatan harus dilihat dalam konteks Islam sebagai ideologi dengan sejumlah perangkat sistem tertentu. Ketika membahas pembiayaan kesehatan, tentunya ini terkait erat dengan sistem ekonomi.

Coba kita mengambil salah satu contoh aturan Islam tentang kepemilikan. Dalam Sistem Ekonomi Islam, kepemilikan atas kekayaan dibagi atas tiga bagian: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

Simpelnya, kepemilikan umum adalah kepemilikan atas kekayaan yang menjadi hajat/kebutuhan bersama masyarakat seperti: lautan, sumber air, udara, sumber energi, hutan, barang tambang dan mineral, gelombang udara dan cahaya, gelombang elektromagnetik, panas bumi, jalan umum, fasilitas publik, dan lain sebagainya.

Harta kekayaan ini dalam Sistem Islam tidak boleh diberikan kepada individu (swasta) baik lokal, apalagi asing. Semuanya wajib dikelola oleh negara. Bila menguntungkan, hasilnya dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk pemenuhan pelayanan publik.

Inilah salah satu sumber utama pembiayaan sektor pelayanan publik dalam Islam (termasuk kesehatan).

Jadi dalam Islam anggaran untuk pelayanan kesehatan akan sangat memadai.  Berbeda dengan kondisi kita saat ini. Negara tidak memiliki dana yang cukup untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ini terjadi karena mayoritas kekayaan publik diserahkan pada swasta, baik lokal maupun asing.

Hal lain yang terjadi ketika Islam dijadikan sebagai landasan interaksi sosial adalah tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga wakaf dalam masyarakat. Islam berhasil menumbuhkan kesadaran sosial dalam masyarakat untuk berlomba dalam kebaikan dan amal shalih.

Pada masa lalu Negara dan masyarakat berlomba membangun dan mengelola lembaga pendidikan dan RS pda taraf yang nyaris belum bisa disaingi oleh peradaban saat ini.

Kita ambil satu contoh, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab ‘Min Rawa’i Hadharatina, halaman 110, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia.  Di sana disebutkan:

Orang sakit adalah manusia yang sedang mengalami krisis. Mereka butuh pendamping. Tidak hanya medis, tetapi juga psikologis, sosial, ekonomi dan lain sebagainya.”

“Semua pasien dilayani gratis, bahkan ketika sembuh diberi sejumlah harta yang mencukupi hingga dia sanggup bekerja. Agar tidak memaksakan diri untuk bekerja sebelum sembuh.”

Rumah sakit-rumah sakit ini dibangun dan dikelola dari dana wakaf umat Islam. WalLahu a’lam. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 3 =

Back to top button